Bulan Agustus selalu membawa Beni Abdul Fattah pada satu ingatan yang tak pernah pudar. Setiap kali bendera merah putih berkibar di halaman rumah warga, ia teringat pada sosok ayahnya, Soembono Achmadin Usman Surapati. Lelaki yang di matanya bukan sekadar ayah, tapi saksi hidup sejarah kemerdekaan.
"Bapak itu masuk tentara bukan lewat jalur resmi. Waktu itu rumah di Cibiru sudah tak utuh, Bandung masih perang. Keluarga tercerai-berai. Beliau kabur ke markas batalion," kenang Beni kepada detikJabar.
Di markas itu, Soembono hanyalah bocah kurus yang menyiapkan makanan dan minuman untuk para pejuang. Ia belum berseragam, belum memegang senjata, dan belum punya identitas tempur. Hingga suatu hari, menjelang peristiwa Bandung Lautan Api pada 23-24 Maret 1946, pertempuran pecah di sekitar Bandung.
Soembono turun ke medan perang tanpa perintah. Ia bersembunyi di dalam got, mendengar desing peluru memantul di tanah dan dinding parit. Barisan tentara Belanda bergerak menyisir setiap sudut. Salah satu dari mereka terkena tembakan, terhuyung, lalu terjatuh tepat ke dalam got tempat Soembono berdiam. Tanpa ragu, ia membabat tentara itu hingga tak berdaya, merampas pistol dan senjata laras panjang, lalu membalas serangan.
Suara tembakannya memecah formasi Belanda. Dalam hitungan menit, ia berhasil menyingkirkan ancaman di sekitarnya. Senjata rampasan itu ia bawa ke markas. Para prajurit senior terdiam melihat bocah kurus dari Cibiru membawa dua senjata lengkap hasil rampasan.
"Sejak itu bapak diakui jadi tentara sungguhan," tutur Beni.
Meski nyalinya membawanya masuk ke dunia militer, nama Soembono tak tercatat di ensiklopedia, tak muncul di arsip digital Angkatan Bersenjata, bahkan nyaris tak terlacak di mesin pencarian.
Bukti keberadaannya kini hanya tersimpan di lemari kayu tua keluarga, foto hitam putih yang mulai pudar, lembar stambuk tentara yang menguning, catatan tanda jasa Bintang Gerilya, surat keputusan pensiun berstempel resmi, dan kesaksian rekan seperjuangan.
Itulah titik awal yang membawanya ke lingkungan prajurit Siliwangi bersama nama-nama besar seperti Abdul Haris Nasution, perancang strategi perang gerilya yang kelak menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, dan Alexander Evert Kawilarang, pendiri Kesko TT cikal bakal Kopassus.
"Bapak cerita, mereka itu sosok yang berbeda tapi sama-sama keras. Pak Nasution tegas dan penuh perhitungan. Pak Kawilarang punya wibawa yang membuat orang segan sekaligus hormat. Dan bapak merasa beruntung bisa tumbuh di lingkungan seperti itu," ujar Beni.
Soembono lahir di Cibiru, Bandung, 27 November 1929. Tahun 1944, saat usianya belum genap 15 tahun, ia sudah bertugas di Jakarta. Setelah proklamasi 1945, ia kembali ke Bandung.
Setahun kemudian, Bandung bergolak dengan peristiwa Lautan Api, diikuti Agresi Militer Belanda I pada Juli-Agustus 1947. Awal 1948, pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta sesuai Perjanjian Renville. Perjalanan long march itu memakan waktu berminggu-minggu, penuh penderitaan dan korban jiwa.
(sya/mso)