Soembono Achmadin, Perwira Sunyi dari Cibiru

Lorong Waktu

Soembono Achmadin, Perwira Sunyi dari Cibiru

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 16 Agu 2025 14:30 WIB
Selain kerap menenteng senjata di medan tempur, Soembono dikenal memiliki hobi menenteng kamera dan gemar memotret, menjadikannya saksi sekaligus pendokumentasi momen bersejarah di masa perang
Selain kerap menenteng senjata di medan tempur, Soembono dikenal memiliki hobi menenteng kamera dan gemar memotret, menjadikannya saksi sekaligus pendokumentasi momen bersejarah di masa perang (Foto: Repro Syahdan Alamsyah/Arsip Keluarga Soembono).
Sukabumi -

Bulan Agustus selalu membawa Beni Abdul Fattah pada satu ingatan yang tak pernah pudar. Setiap kali bendera merah putih berkibar di halaman rumah warga, ia teringat pada sosok ayahnya, Soembono Achmadin Usman Surapati. Lelaki yang di matanya bukan sekadar ayah, tapi saksi hidup sejarah kemerdekaan.

"Bapak itu masuk tentara bukan lewat jalur resmi. Waktu itu rumah di Cibiru sudah tak utuh, Bandung masih perang. Keluarga tercerai-berai. Beliau kabur ke markas batalion," kenang Beni kepada detikJabar.

Di markas itu, Soembono hanyalah bocah kurus yang menyiapkan makanan dan minuman untuk para pejuang. Ia belum berseragam, belum memegang senjata, dan belum punya identitas tempur. Hingga suatu hari, menjelang peristiwa Bandung Lautan Api pada 23-24 Maret 1946, pertempuran pecah di sekitar Bandung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soembono turun ke medan perang tanpa perintah. Ia bersembunyi di dalam got, mendengar desing peluru memantul di tanah dan dinding parit. Barisan tentara Belanda bergerak menyisir setiap sudut. Salah satu dari mereka terkena tembakan, terhuyung, lalu terjatuh tepat ke dalam got tempat Soembono berdiam. Tanpa ragu, ia membabat tentara itu hingga tak berdaya, merampas pistol dan senjata laras panjang, lalu membalas serangan.

Selain kerap menenteng senjata di medan tempur, Soembono dikenal memiliki hobi menenteng kamera dan gemar memotret, menjadikannya saksi sekaligus pendokumentasi momen bersejarah di masa perangSelain kerap menenteng senjata di medan tempur, Soembono dikenal memiliki hobi menenteng kamera dan gemar memotret, menjadikannya saksi sekaligus pendokumentasi momen bersejarah di masa perang.

Suara tembakannya memecah formasi Belanda. Dalam hitungan menit, ia berhasil menyingkirkan ancaman di sekitarnya. Senjata rampasan itu ia bawa ke markas. Para prajurit senior terdiam melihat bocah kurus dari Cibiru membawa dua senjata lengkap hasil rampasan.

ADVERTISEMENT

"Sejak itu bapak diakui jadi tentara sungguhan," tutur Beni.

Meski nyalinya membawanya masuk ke dunia militer, nama Soembono tak tercatat di ensiklopedia, tak muncul di arsip digital Angkatan Bersenjata, bahkan nyaris tak terlacak di mesin pencarian.

Bukti keberadaannya kini hanya tersimpan di lemari kayu tua keluarga, foto hitam putih yang mulai pudar, lembar stambuk tentara yang menguning, catatan tanda jasa Bintang Gerilya, surat keputusan pensiun berstempel resmi, dan kesaksian rekan seperjuangan.

Itulah titik awal yang membawanya ke lingkungan prajurit Siliwangi bersama nama-nama besar seperti Abdul Haris Nasution, perancang strategi perang gerilya yang kelak menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, dan Alexander Evert Kawilarang, pendiri Kesko TT cikal bakal Kopassus.

"Bapak cerita, mereka itu sosok yang berbeda tapi sama-sama keras. Pak Nasution tegas dan penuh perhitungan. Pak Kawilarang punya wibawa yang membuat orang segan sekaligus hormat. Dan bapak merasa beruntung bisa tumbuh di lingkungan seperti itu," ujar Beni.

Soembono lahir di Cibiru, Bandung, 27 November 1929. Tahun 1944, saat usianya belum genap 15 tahun, ia sudah bertugas di Jakarta. Setelah proklamasi 1945, ia kembali ke Bandung.

Setahun kemudian, Bandung bergolak dengan peristiwa Lautan Api, diikuti Agresi Militer Belanda I pada Juli-Agustus 1947. Awal 1948, pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta sesuai Perjanjian Renville. Perjalanan long march itu memakan waktu berminggu-minggu, penuh penderitaan dan korban jiwa.

Sesampainya di Yogyakarta, ia terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Sepulang dari sana, ia bersama pasukan Siliwangi menghadapi pemberontakan DI/TII Kartosoewirjo di Tasikmalaya dan Garut sejak akhir 1949.

"Bapak bilang, berperang melawan bangsa sendiri itu habis-habisan. Bukan hanya tenaga, tapi hati," tutur Beni.

Tahun 1957, Soembono dipindahkan ke sektor sipil sebagai pegawai perkebunan negara untuk mengisi kekosongan setelah Belanda hengkang. Ia ditempatkan di berbagai lokasi, mulai dari Pangalengan, Palabuhanratu, Pasir Talaga Cisolok, Rangkasbitung, Tambleg, Tangerang, hingga akhirnya kembali ke Sukabumi. Pangkat terakhirnya Letnan Dua.

"Dia tidak pernah menuntut diakui negara. Bagi bapak, tugas sudah selesai. Kalau bisa memilih, katanya lebih baik mengurus perkebunan daripada mengurus perang," ucap Beni.

Dalam hidup pribadinya, Soembono menikah dua kali. Pertama dengan Soemiyati, perempuan asal Wirasana, Purbalingga, dan kedua dengan Aminah binti M. Djupri pada 7 April 1967. Dari pernikahan terakhir lahir empat anak, Dewi Darmayanti Amisari Pratiwi, Beni Abdul Fattah Usman Surapati, Triana Diah Kusumawati, dan Dian Ario Ganjar Usman Surapati.

Bagi Dian, anak bungsunya, figur sang ayah bukan hanya prajurit, tapi teladan. "Waktu kecil, saya ingat bapak selalu bangun sebelum subuh, menata seragam kerjanya di perkebunan, seolah masih tentara. Disiplin itu menular ke kami, bukan lewat kata-kata, tapi dari caranya hidup," ujarnya.

"Dia jarang memeluk, tapi sikapnya melindungi kami dari segala macam kesulitan," tambahnya.

Soembono wafat pada 19 Oktober 2008 dan dimakamkan di TPU Batu Sapi, Palabuhanratu. Beberapa tahun kemudian, Aminah menyusulnya. Meski tak diabadikan dalam buku sejarah, bagi keluarganya ia tetap seorang saksi hidup masa perang, pengawal transisi negara, dan lelaki yang menyimpan sejarah di balik arsip senyapnya.

Bagi Beni, setiap Agustus bukan sekadar perayaan. Dentum drum paskibraka, kibaran merah putih, dan gema lagu perjuangan selalu membangkitkan bayangan ayahnya yang muda, kurus, dan bersimbah peluh di tengah desing peluru.

"Kalau 17 Agustus, bapak selalu duduk diam. Matanya menerawang, seperti kembali ke masa perang. Saya yakin, di kepalanya itu terputar semua kenangan yang tidak pernah ia ceritakan ke orang lain," ucap Beni pelan.

Bulan kemerdekaan menjadi ruang perjumpaan antara masa kini dan masa lalu. Di dalamnya, kisah Soembono tetap hidup, bukan di buku sejarah atau arsip resmi, melainkan di ingatan keluarga, di foto-foto yang mulai pudar, dan di cerita yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Halaman 2 dari 2
(sya/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads