Long March Siliwangi, Serangan Umum dan Perang Melawan Bangsa Sendiri

Lorong Waktu

Long March Siliwangi, Serangan Umum dan Perang Melawan Bangsa Sendiri

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 17 Agu 2025 08:00 WIB
Selain kerap menenteng senjata di medan tempur, Soembono dikenal memiliki hobi menenteng kamera dan gemar memotret, menjadikannya saksi sekaligus pendokumentasi momen bersejarah di masa perang.
Selain kerap menenteng senjata di medan tempur, Soembono dikenal memiliki hobi menenteng kamera dan gemar memotret, menjadikannya saksi sekaligus pendokumentasi momen bersejarah di masa perang.Foto: Repro Syahdan Alamsyah/Arsip Keluarga Soembono
Sukabumi -

Catatan resmi sejarah mencatat nama-nama besar seperti AH Nasution atau AE Kawilarang dalam babak long march Divisi Siliwangi, Serangan Umum 1 Maret 1949, hingga perang melawan DI/TII. Namun, di antara mereka ada derap langkah prajurit muda yang nyaris tak pernah ditulis, R Soembono Achmadin Usman Surapati.

Kisahnya tidak ada di ensiklopedia, tidak tercatat di arsip digital Angkatan Bersenjata, bahkan tak muncul di daftar perwira tempur. Satu-satunya bukti keberadaannya tersimpan di sebuah map lusuh berwarna cokelat milik keluarga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di dalamnya ada foto-foto hitam putih yang warnanya mulai memudar, memperlihatkan wajah Soembono muda berseragam tempur. Ada pula lembar dokumen stambuk yang kertasnya menguning dimakan usia, catatan tanda jasa Bintang Gerilya yang sudah retak di lipatan, surat keputusan penempatan bertulisan mesin ketik, hingga surat resmi penyesuaian pensiun purnawirawan ABRI tahun 1974 yang mencatat pangkat terakhirnya sebagai letnan dua.

Putra kedua Soembono, Beni Abdul Fattah menegaskan ayahnya adalah pelaku sejarah yang ikut merebut kemerdekaan dan mempertahankannya bersama pasukan Siliwangi. Hal itu ia kisahkan kepada detikJabar, Senin (11/8/2025).

ADVERTISEMENT

"Bapak terlibat langsung sejak masa perang kemerdekaan sampai mempertahankan kedaulatan dari ancaman baru setelah Belanda pergi. Jadi beliau bukan hanya saksi, tapi pelaku sejarah," ungkap Beni.

Beni menceritakan, perjalanan panjang itu dimulai ketika Perjanjian Renville (17 Januari 1948) memaksa pasukan Siliwangi meninggalkan Bandung dan Jawa Barat untuk hijrah ke Yogyakarta.

Long march itu bukan sekadar perpindahan pasukan, melainkan perjalanan penuh penderitaan. Pasukan berjalan kaki ratusan kilometer melewati hutan lebat, perbukitan, dan sungai-sungai besar, sering kali tanpa jembatan.

Mereka hanya membawa perbekalan seadanya, tidur di tanah terbuka, dan kerap berpindah pada malam hari untuk menghindari patroli Belanda.

"Bapak bilang itu perjalanan paling berat. Jalan kaki berminggu-minggu, makan seadanya, tidur di mana saja. Ada yang gugur di perjalanan, ada yang sakit dan tak bisa melanjutkan," tuturnya.

Bahkan, kata Beni, desa-desa yang mereka lewati sering diliputi rasa takut. Warga khawatir memberi bantuan karena tekanan militer Belanda.

"Kadang makan daun singkong rebus saja sudah syukur. Tapi bapak cerita, semangatnya tidak pernah padam," tambahnya.

Menurut Beni, saat masih bertugas di Yogyakarta pasca Renville, ayahnya ikut dalam penugasan yang berdekatan waktunya dengan momentum Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, unsur-unsur Siliwangi yang berada di wilayah Yogya diperbantukan dalam operasi pengamanan sektor kota dari gerak balik Belanda.

"Bapak cerita, waktu itu kota berhasil dikuasai enam jam penuh. Itu jadi bukti ke dunia kalau Indonesia masih berdaulat," kata Beni.

Namun, kepulangan pasukan Siliwangi ke Jawa Barat membawa tantangan baru. Musuh kali ini bukan lagi tentara asing, melainkan sesama anak bangsa, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Kartosoewirjo.

"Bapak bilang, melawan bangsa sendiri itu berat sekali. Kalau melawan Belanda, jelas musuhnya. Tapi ini saudara sendiri, orang kampung, bahkan kadang ada kerabat. Tapi mereka angkat senjata dan merampas wilayah," ujar Beni.

Pertempuran melawan DI/TII berlangsung bertahun-tahun. Operasinya penuh risiko karena wilayah lawan adalah pegunungan dan hutan lebat.

"Kadang bapak berbulan-bulan tidak pulang, dan kami tidak tahu beliau masih hidup atau tidak," kenang Beni.

Tahun 1957, setelah lebih dari satu dekade berperang, Soembono dipindahkan ke sektor sipil sebagai pegawai perkebunan negara. Penugasannya berpindah-pindah: Pangalengan, Palabuhanratu, Pasir Talaga Cisolok, Rangkasbitung, Tambleg, Tangerang, hingga kembali ke Sukabumi. Pangkat terakhirnya Letnan Dua (Letda).

"Bapak bilang tugasnya sudah selesai. Tidak menuntut apa-apa dari negara. Bagi dia, yang penting negara berdiri dan kita bisa hidup tenang," kata Beni.

Bagi keluarga, kisah long march, Serangan Umum, dan perang melawan DI/TII itu adalah warisan yang lebih berharga daripada tanda jasa. "Itu bukan cuma sejarah bapak, tapi sejarah kita juga," ujar Beni.

(sya/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads