Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 seharusnya menjadi refleksi atas nasib anak-anak yang belum sepenuhnya terlindungi. Di Kabupaten Sukabumi, sebagian besar korban kekerasan anak justru berasal dari keluarga miskin yang kesulitan mengakses layanan pendampingan maupun keadilan.
"Sebagian korban memang termasuk keluarga yang tidak mampu," kata Ketua P2TP2A Kabupaten Sukabumi, Yani Jatnika Marwan, dalam keterangan tertulisnya kepada detikJabar, Selasa (23/7/2025).
Sepanjang tahun ini, P2TP2A menangani 51 kasus kekerasan terhadap anak dengan total 55 korban. Dari jumlah tersebut, 41 kasus merupakan kekerasan seksual, sisanya berupa kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Korban dari keluarga miskin menghadapi tantangan lebih besar dalam proses pemulihan. Tak hanya karena faktor ekonomi, tapi juga karena keterbatasan layanan psikologis yang tersedia di tingkat daerah.
"Untuk di tahun 2025 tidak ada. Jadi kalau untuk pemeriksaan psikolog, minta bantuan psikolog dari luar," ujar Yani.
Meski begitu, P2TP2A tetap memberikan layanan pendampingan visum, hukum, dan asesmen awal terhadap setiap kasus yang masuk. Penentuan rujukan ke shelter atau bentuk pendampingan lanjutan disesuaikan dengan kebutuhan korban.
Pendampingan Terbatas
Terkait kondisi psikologis korban, Yani menyebut belum ada laporan resmi mengenai trauma berkepanjangan. Namun ia tidak menutup kemungkinan ada korban yang mengalami dampak psikologis tapi tak kembali melapor.
"Selama ini belum ada laporan yang mengalami trauma berkepanjangan. Kalaupun ada, mereka tidak melaporkannya kembali," imbuhnya.
Untuk mencegah kekerasan terhadap anak, P2TP2A terus menggencarkan edukasi ke sekolah-sekolah tingkat SLTP. Sosialisasi ini sudah dijalankan sejak tahun lalu dan terus dilanjutkan di 2025.
"Kami dari tahun kemarin, dilanjutkan di tahun sekarang, mengadakan sosialisasi ke sekolah tingkat SLTP. Kalau di tahun sebelumnya ke kecamatan-kecamatan dan desa," kata Yani.
P2TP2A menekankan pentingnya keberanian anak untuk bersuara, khususnya saat menjadi korban atau saksi kekerasan. Dukungan lingkungan menjadi kunci.
"Memberikan support system kepada korban, bahwa dia tidak sendiri dan jangan takut mengungkap kebenaran. Karena kalau tidak berani bicara, si pelaku akan terus melakukan hal serupa baik kepada dirinya ataupun kepada orang lain," tegasnya.
Sebagian Kasus Tidak Dilanjutkan ke Jalur Hukum
Dalam menangani kasus, P2TP2A bekerja sama dengan Polres Sukabumi serta dua rumah sakit daerah, yakni RSUD Palabuhanratu dan RSUD Sekarwangi. Kerja sama tersebut sudah berjalan sejak tahun sebelumnya.
"Di tahun sebelumnya kami memang sudah ada MoU dengan pihak kepolisian dan RSUD (Palabuhanratu dan Sekarwangi)," ujarnya.
Namun tidak semua kasus kekerasan anak yang masuk ke P2TP2A diproses melalui jalur hukum. Sebagian besar disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan korban.
"Ada yang diproses hukum, ada juga yang tidak. Jadi sesuai kebutuhan dari korban itu sendiri," jelasnya.
Meski koordinasi sudah berjalan, Yani menyebut kendala di lapangan tetap banyak. "Faktor yang ditanyakan semua ada," ucapnya, merujuk pada tantangan anggaran, keterbatasan tenaga, dan tekanan dari lingkungan korban.
(yum/yum)