Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap anak-anak masih menjadi pekerjaan rumah serius, termasuk di Kabupaten Sukabumi.
Data mencatat, sepanjang Januari hingga Juli 2025, Polres Sukabumi mencatat sebanyak 65 anak menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun seksual.
"Kasus yang paling dominan adalah kekerasan seksual," ujar Kasat Reskrim Polres Sukabumi Iptu Hartono, saat dikonfirmasi detikJabar, Rabu (23/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data yang dihimpun, 32 kasus merupakan kekerasan seksual, sedangkan 33 kasus lainnya kekerasan fisik. Meski jumlahnya mengkhawatirkan, Hartono menyebut, tidak ada tren peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
"Mulai dari usia 5 hingga 17 tahun, korban paling banyak didominasi usia 14-17 tahun," ungkapnya.
Pelaku adalah Orang Dekat
Polisi menemukan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak justru sebagian besar berasal dari lingkungan terdekat korban. Bahkan, dalam sejumlah kasus, pelakunya adalah orang yang seharusnya dipercaya.
"Dalam kasus persetubuhan dan atau perbuatan cabul, yang paling sering menjadi pelaku adalah pacar. Tidak jarang juga ayah tiri, juga (oknum) guru ngaji," beber Hartono.
Ia menambahkan, sebagian besar pelaku memiliki hubungan emosional atau sosial yang cukup dekat dengan korban, sehingga banyak kasus sulit terdeteksi lebih awal.
Hartono menjelaskan, saat laporan masuk, korban biasanya datang ke Polres bersama orang tua atau pendamping. Setelah berkonsultasi dengan penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), jika ditemukan indikasi pidana, laporan resmi segera dibuat.
"Setelah terbit laporan polisi, korban akan diantarkan untuk visum oleh petugas, lalu dilakukan pemeriksaan terhadap korban dan pelapor. Setelah itu laporan didisposisikan ke penyidik dan ditangani sesuai SOP," katanya.
Soal durasi penanganan, menurutnya bervariasi. Proses bisa cepat jika semua pihak kooperatif. Namun, bukan berarti tanpa tantangan. Salah satu kesulitan terbesar adalah ketika korban masih sangat kecil atau memiliki keterbatasan.
"Tantangan saat ini lebih ke penanganan korban di bawah umur dengan usia 3-7 tahun. Dalam pengambilan keterangan, korban belum bisa sepenuhnya menjawab pertanyaan penyidik dengan baik. Juga pada korban disabilitas mental, intelektual, tuna rungu, atau tuna wicara yang memerlukan bantuan dari profesional," jelasnya.
Hartono tak menampik bahwa ada kasus yang tidak bisa dilanjutkan karena pihak keluarga memilih berdamai di luar jalur hukum. Hal itu berimbas pada lemahnya alat bukti.
"Ada, sebagai contoh adanya perdamaian di luar dari proses penyelidikan atau penyidikan. Sehingga hal tersebut membuat keluarga korban mencabut laporan atau keterangan, dan kasus menjadi minim alat bukti," pungkasnya.
(sya/mso)