Di sebuah kecamatan di Kota Sukabumi kehidupan seorang anak perempuan berusia 8 tahun berubah menjadi mimpi buruk. Bunga (bukan nama sebenarnya) menjadi korban pencabulan oleh ayah kandungnya sendiri. Tragedi ini tidak hanya menghancurkan masa kecilnya, tetapi juga meninggalkan trauma yang mendalam pada dirinya.
Anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu mengalami kekerasan seksual hingga ancaman dari ayahnya. Saat ini, kondisi Bunga mengalami trauma dan berada dalam perlindungan ibunya.
"Sampai saat ini (korban) trauma dan masih tinggal bersama ibu korban," kata Kasat Reskrim Polres Sukabumi Kota AKP Bagus Panuntun kepada detikJabar, Selasa (14/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, pihak kepolisian pun mendampingi korban. Bagus mengatakan, koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Sukabumi untuk pemulihan psikis.
"Kondisi anak masih dalam pemeriksaan, kami juga lakukan pendampingan, kami juga laporkan ke UPTD PPA untuk segera melakukan pemulihan psikis yang dialami anak tersebut. Sudah divisum dan hasil betul-betul terjadi pencabulan tersebut," ujarnya.
Tenaga Psikolog UPTD PPA DP3A Kota Sukabumi Dikdik Hardy menambahkan, kabar mengenai kasus korban sudah ia terima. Ada beberapa penanganan pemulihan yang akan dilakukan mulai dari asesmen kondisi korban hingga konseling atau terapi.
Menurutnya, pengalaman traumatis seperti ini sering kali meninggalkan luka emosional yang membutuhkan waktu lama untuk sembuh. Dukungan keluarga dan lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk membantu korban memulihkan kepercayaan dirinya.
"Biasasanya yang dilakukan adalah pemeriksaan psikologi untuk melihat efek pencabulan. Setelah itu dilakukan upaya pemulihan, baik melalui konseling atau terapi (tergantung efek yang dialami korban) dan meminta pihak keluarga juga pihak sekolah untuk ikut memberikan support system dalam proses pemulihan korban," kata Dikdik.
"Kita menunggu kesediaan korban untuk di asesmen. Jangan sampai korban merasa terpaksa atau dipaksa saat di asesmen karena asesmen dilakukan untuk kebaikan korban, artinya niat baik harus dilakukan dengan cara baik juga," jelasnya.
Sebelumnya, tak puas dilayani istri, anak kandung jadi pelampiasan nafsu setan. Tindakan amoral itu dilakukan TS alias A (45), warga Gunungpuyuh, Kota Sukabumi. Tak puas sekali, tindakan mesum itu dilakukan berulang-ulang.
TS alias A tega menyetubuhi salah satu anak kembarnya yang masih berusia delapan tahun dan masih duduk di bangku sekolah dasar. Peristiwa itu terungkap pada 28 Desember 2024 lalu dan baru dilaporkan ke Polres Sukabumi Kota pada 2 Januari 2025.
"Awalnya mengancam kemudian dari ancaman tersebut korban sangat ketakutan ketika ketemu sama bapaknya karena dia diancam jangan sampai melapor. Anak tersebut sudah tidak kuat, melaporkan kepada ibunya," kata Bagus.
"Ibunya nggak berani melaporkan karena pelaku ini cenderung kasar, diduga juga sering melakukan KDRT. Ibu (korban) melapor ke kami dan kami menindaklanjuti. Sempat tidak pulang akhirnya kami lakukan pengejaran dan kita amankan dalam kurun waktu 3x24 jam," sambungnya.
Berdasarkan keterangan pelaku kepada polisi, perbuatan biadabnya itu sudah dilakukan selama tiga bulan dan terjadi di lingkungan sekolah. Selain mengancam korban, tersangka juga mengiming-imingi korban uang dan handphone.
"Ironis sekali yang notabene bapaknya harusnya menjaga anaknya. Ini anak terakhir anak bungsu, anak kembar juga, anaknya lima, ini (korban) anak terakhir yang harusnya dia menjaga pulang sekolah mengantarkan pulang namun dilakukan pencabulan tersebut," ungkapnya.
Tersangka berdalih melakukan pencabulan tersebut lantaran sang istri yang tak bisa melayani kebutuhan biologisnya. "Pelaku mengaku sakit hati kepada istrinya karena istrinya tidak bisa memenuhi hasrat biologisnya sehingga dia melampiaskan kepada korban karena korban tersebut merupakan anak kembar," kata dia.
Tersangka dijerat dengan pasal berlapis yaitu pasal 81 dan atau 82 UU nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU nomor 01 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU dengan ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
(mso/mso)