Masjid Pusdai, Kota Bandung, pagi ini begitu ramai dengan agenda pesantren kilat yang diikuti anak-anak. Mereka tak hanya mendapat pemahaman agama, tapi juga mengikuti berbagai macam keseruan seperti mewarnai hingga menggambar.
Namun yang menariknya, peserta yang mengikuti agenda ini bukanlah anak-anak biasa. Mereka merupakan anak-anak istimewa penyandang disabilitas, mulai dari anak disabilitas mental, autisme hingga down syndrome.
Diinisiasi Yayasan Biruku Indonesia, pesantren kilat ini tercatat diikuti total 370 orang. Sebanyak 150 terdiri dari anak disabilitas, 150 orang tua selaku pendampingnya, dan 70 panitia yang terdiri dari para generasi muda untuk berinteraksi langsung dengan anak-anak istimewa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sudah jadi agenda rutin kami setiap tahun, terhitung sudah tahun ke-10. Sejatinya ini sudah ke-14 kalinya, cuma saat itu belum digarap secara resmi sama yayasan," kata Founder Yayasan Biruku Indonesia, Djulaiha Sukmana mengawali perbincangannya dengan detikJabar, Sabtu (15/3/2025).
Perempuan yang akrab disapa Bunda Juju itu mengatakan, agenda ini awalnya terinspirasi dari kondisi di lingkungan keluarganya sendiri. Sebagai seorang ibu yang punya anak autis, Juju akhirnya memiliki kepekaan sosial agar sang anak perlahan bisa mandiri dalam menjalani kehidupan.
Awalnya, cerita Juju, ia turut merasakan kesulitan dari para orang tua ketika mencari tempat terapi bagi anak disabilitasnya. Yayasan Biruku Indonesia lalu diinsiasi untuk bisa membantu proses terapi anak-anak disabilitas itu supaya kondisinya jadi lebih baik dengan lingkungan sosialnya.
Perlahan, Juju bahkan bisa merasakan dampak positifnya. Tiga bulan terakhir, anak lelaki keduanya yang mengalami autisme sekarang sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan internasional di Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar).
"Ketika dalam perjalanan mendampingi anak saya terapi, banyak warga yang tidak bisa mendapatkan layanan itu karena mahal dan jarang tempatnya. Saya sendiri merasakan kesulitan dapat sekolah, jadi hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan itu kurang pada saat itu," tutur Juju.
![]() |
Seiring perjalannya, Juju kemudian banyak berinteraksi dengan sejumlah orang tua yang memiliki anak disabilitas. Dalam interaksinya saat itu, Juju menangkap sebuah fenomena jika para orang tua masih banyak yang belum berani mengajarkan aktivitas agama kepada anak-anaknya, salah satunya mengajak anak disabilitas untuk pergi ke masjid terdekat.
Kebanyakan orang tua, kata Juju, menganggap kehadiran anak disabilitas di tempat umum nantinya malah akan mengganggu aktivitas orang lain. Sehingga kemudian, ia melalui Yayasan Biruku Indonesia berinisiatif membuat agenda pesantren kilat saat Ramadan.
"Tidak semua memang, tapi kebanyakan yang punya anak disabilitas memandang penanaman nilai agama itu kurang. Karena pikirnya, ah anak saya enggak ngerti. Padahal, anak-anak itu, terutama yang disabilitas mental, autis, disabilitas intelektual itu dari hati mereka, mereka itu paham dan tahu bahwa ada Sang Pencipta di dunia ini," ucapnya.
Dari keresahan ini, agenda pesantren kilat lalu menjadi acara rutin yang digagas Yayasan Biruku Indonesia setiap Ramadan. Selain memberikan pemahaman agama, anak-anak juga diajarkan berinteraksi dengan lingkungan sosial dalam agenda tersebut.
"Saya ingin bawa mereka ke tempat umum, agar masyarakat tahu ada loh sekelompok masyarakat yang punya kebutuhan sosial. Dengan mereka hadir ke masjid, kan ada banyak orang, jadi mereka bisa berinteraksi dengan yang lain. Kalau mereka di dalam rumah saja, kan masyarakat juga enggak tahu. Istilahnya tak kenal maka tak sayang," kata Juju.
Pada agenda itu, anak-anak disabilitas tak hanya diajarkan tentang pemahaman agama. Mereka juga diajak berbaur lewat bermacam kegiatan dari mulai menggambar, mewarnai, hingga menjalankan aktivitas olahraga memanah.
Selain itu, Yayasan Biruku Indonesia turut melibatkan para anak-anak muda yang mayoritas masih sekolah SMA. Generasi muda ini diajak supaya bisa berinteraksi dengan anak disabilitas dan mendapat pengalaman bagaimana caranya mengenal kehidupan mereka.
![]() |
Di balik itu, ada tujuan yang ingin Juju terapkan. Bagaimana pun kata dia, anak-anak muda tersebut nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa yang diharapkan tidak melupakan kehadiran para penyandang disabilitas dalam kehidupan sosialnya.
"Jadi mereka tahu bagaimana penanganannya. Dan saya harapkan, refensinya akan lebih ngena, daripada pengalaman secara tekstual dibanding bersentuhan langsung. Dan saya berharap, generasi muda ini kan akan jadi orang sukses ke depannya. Mudah-mudahan mereka tidak melupakan kelompok disabilitas dan keberpihakannya akan terus ada. Jadi ada kampanyenya, ada muatan sosialnya di acara ini," kata Juju.
Mengakhiri perbincangannya dengan detikJabar, Juju menyatakan pemenuhan hak-hak disabilitas memang membutuhkan peran banyak orang. Selain pemerintah, masyarakat yang berada di lingkungan si anak tersebut juga perlu diedukasi supaya tidak terus-terusan punya stigma negatif terhadap kehadiran para anak-anak disabilitas tersebut.
"Kita tetap berjuang menghilangkan stigma di masyarakat bahwa disabilitas itu tidak berdaya, merepotkan, jadi beban, ini yang harus kita hilangkan. Karena ketika kita mendampingi secara hati dan profesional, itu perkembangan mereka luar biasa terasa perubahannya," ucap Juju.
"Tapi kalau tidak, memang itu akan jadi beban. Jadi saya berharap pemerintah dan masyarakat bisa care, memang terapinya tidak bisa selesai 2-3 tahun, tergantung hambatan pada dirinya. Tapi ketika diterapi secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati, profesional, ini anak-anak improve-nya bisa luar biasa," pungkasnya.
(ral/orb)