Komisi Nasional Disabilitas (KND) mengungkapkan ada sekitar 4 juta anak tidak sekolah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 26 persen di antaranya merupakan difabel.
Hal itu diungkapkan Komisioner KND Republik Indonesia, Eka Prastama Widiyanta, saat memantau Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) inklusi di Kota Semarang bersama Ombudsman Jateng di Unit Layanan Disabilitas (ULD) Kota Semarang, Kecamatan Ngaliyan.
"Secara nasional, dari angka tidak sekolah sekitar 4 juta, itu 26 persennya adalah anak disabilitas," kata Eka di ULD Kota Semarang, Selasa (3/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, berdasarkan catatan KND RI, ditemukan rata-rata lama sekolah anak difabel masih jauh dari rata-rata anak nondifabel. Hal ini menurutnya harus jadi perhatian seluruh pihak terkait.
"Rata-rata lama sekolah anak disabilitas itu hanya sampai kelas 5 SD, anak nondisabilitas rata-rata hingga kelas 9. Gap-nya cukup jauh, sementara kita mengejar SDGs, no one left behind," ungkapnya.
Eka mengaku sudah bersurat ke seluruh kepala daerah untuk memastikan agar anak-anak disabilitas diakomodasi dalam SPMB.
"SPMB harus memastikan setiap anak disabilitas bisa mengakses pendidikan. Karena memang saat ini angka anak disabilitas yang sekolah masih jauh di bawah target, kesenjangannya dengan yang nondisabilitas masih begitu tinggi," kata Eka.
Menurut Eka, Kota Semarang telah menerapkan sistem pra-SPMB yang cukup baik. Anak difabel bisa mendaftar ke Dinas Pendidikan sebelum masa pendaftaran resmi dibuka.
Kota Semarang pun disebut telah memiliki Unit Layanan Disabilitas (UL) sesuai mandat Permendikbud No 48 Tahun 2023 dan PP No 13 Tahun 2020. ULD berperan penting dalam menjamin setiap anak disabilitas mendapat hak pendidikannya.
ULD juga disebut telah melakukan asesmen dan pendataan, termasuk kondisi psikologis dan kebutuhan pendampingan anak, sehingga membantu orang tua dengan anak disabilitas untuk menyekolahkan buah hatinya.
"Karena tidak bisa disamakan dengan anak nondisabilitas, mereka harus cek kesehatan dulu, belum lagi stigma mereka apakah bisa sekolah di dekat rumah, ini harus didukung pemerintah," ujar Eka.
Ia menduga ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya anak difabel yang tidak sekolah ataupun mengundurkan diri usai diterima di sekolah umum. Termasuk karena adanya stigma dari lingkungan terhadap anak difabel tersebut.
"Pertama mungkin faktornya mereka sendiri, mereka bisa jadi mundur karena sambil mencari-cari, sekolah mana yang cocok buat mereka. Ada yang ke sekolah lain atau ke pondok pesantren," tuturnya.
"Kedua, mungkin karena ada pilihan lain, yang mungkin masih ditimbang-timbang sehingga mengundurkan diri," lanjutnya.
Selain itu, menurut Eka, proses pendaftaran sekolah kadang terlalu rumit dan mempersulit orang tua dengan anak disabilitas.
"Sudah ikut online, afirmasi nggak diterima, bingung, buat aduan baru diterima. Kemudian orang tua banyak yang tidak tahu bisa mengakses jalur afirmasi," tuturnya.
"Kemudian untuk SMA, karena dari provinsi, butuh asesmen. Besok daftar, hari ini harus siap berkasnya, kalau untuk disabilitas tidak mudah. Ada surat keterangan sehat, kartu disabilitas," lanjutnya.
Sementara itu, Koordinator ULD Pendidikan Disdik Kota Semarang, Putri Marlenny menjelaskan sudah ada 209 siswa difabel yang diterima di sekolah umum di Kota Semarang melalui jalur afirmasi inklusi pada tahun ajaran 2024/2025.
"Sebanyak 209 murid difabel itu sah diterima dan mereka sudah dapat SK-nya. Jadi jauh sebelum SPMB ini mulai mereka sudah diterima di sekolah tujuan pilihan pertamanya," kata Putri.
Namun, diketahui masih ada 17 siswa SMP dan 3 siswa SD yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan mundur itu, kata Putri, biasanya datang dari orang tua yang masih ragu atau takut akan stigma.
"Ada yang takut anaknya tidak diterima baik di sekolah, ada juga yang tiba-tiba mendaftar ke jalur reguler. Bahkan ada yang memilih pesantren atau sekolah swasta karena merasa lebih cocok," jelas Putri.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Meski begitu, pihak ULD tetap mencatat seluruh anak difabel dalam sistem dan berkomitmen untuk mendampingi mereka, apapun sekolah yang dipilih. Sekolah-sekolah negeri juga diajak bekerja sama untuk menyusun strategi layanan inklusi yang tepat.
"Kalau tenaga pendidiknya ditanya siap atau nggak, realitanya kita terus bersiap diri. Siap secara kognitif, afektif, sudah menyiapkan, dan secara perilaju mereka belajar untuk inklusi," tuturnya.
"Pendidikan inklusi ini, para guru juga sedang belajar. Mereka jadi sarjana umum, belajar untuk training pendidikan inklusi, sudah ditraining, mereka sedang proses sambil jalan," lanjut Putri.
Kepala Ombudsman Jateng, Siti Farida menambahkan, setiap tahun pihaknya selalu mendapat laporan terkait SPMB dari orang tua dengan anak disabilitas.
"Jumlahnya memang nggak banyak, tapi setiap tahun pasti ada dan masalahnya berulang. Jadi masalah difabel ini seperti fenomena gunung es. Kadang penyikapan dari dinas terkait juga hampir sama, 'kami sudah berusaha'," ucap Farida.
Menurutnya, usaha dari dinas terkait tidak terukur, karena masalah yang dirasakan terus berulang. Beberapa masalah tersebut di antaranya seperti tak diterima saat sudah mendaftar lewat jalur afirmasi, hingga kurangnya layanan klinis.
"Karena begitu usia 7 tahun, seorang anak dihentikan layanan BPJS kesehatannya untuk terapi klinis. Ini jadi problem yang perlu kami atensi juga dengan BPJS kesehatan," ungkapnya.