Lantunan ayat suci Al-Qur'an menggema dari sebuah masjid di Kota Sukabumi. Suaranya lirih, namun penuh ketulusan. Yang berbeda, jemaah yang bertadarus tidak membaca dari mushaf biasa, melainkan dari lembaran Al-Qur'an Braille.
Dengan jari-jemari yang teliti menyusuri titik-titik timbul di atas kertas, mereka melafalkan ayat demi ayat dengan penuh kesabaran. Inilah kegiatan yang dijalankan oleh komunitas Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kota Sukabumi selama Ramadan.
Kegiatan tadarus ini sudah menjadi rutinitas bagi para penyandang tunanetra di Sukabumi. Setiap sore menjelang azan Magrib, mereka berkumpul di masjid untuk mengaji bersama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain memperlancar bacaan Al-Qur'an, tadarus ini juga menjadi sarana mempererat kebersamaan di antara mereka. Dengan metode saling menyimak dan mengoreksi bacaan, mereka berharap bisa mengkhatamkan 30 juz sebelum Lebaran tiba.
Bagi komunitas ini, Ramadan adalah momen yang sangat istimewa. Mereka memanfaatkannya tidak hanya untuk berpuasa, tetapi juga untuk memperbanyak ibadah, termasuk membaca Al-Qur'an. Dengan segala keterbatasan, mereka tetap bersemangat mengikuti kegiatan keagamaan yang bagi sebagian orang mungkin terasa sulit dilakukan.
Ketua Pertuni Kota Sukabumi, Erman mengatakan bahwa tadarus ini bukan hanya sekadar membaca Al-Qur'an, tetapi juga sebagai bentuk pembelajaran dan pendalaman ilmu agama.
"Ramadan ini kami mengisi kegiatan dengan pengajian dan diteruskan dengan kegiatan tadarus Al-Qur'an. Alhamdulillah, ini kegiatan rutinan kami yang setiap bulan dilaksanakan," kata Erman, Kamis (13/3/2025).
Menurut Erman, Al-Qur'an Braille memiliki tantangan tersendiri dalam membacanya. Dibutuhkan ketelitian dan latihan agar bacaan tetap lancar. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat para penyandang tunanetra untuk terus belajar. Mereka yakin bahwa dengan usaha dan kesabaran, keterbatasan bukanlah penghalang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
![]() |
"Maknanya tentu banyak, kita bisa mendapatkan ilmu, menambah keimanan dan ketakwaan, serta menjalankan ibadah sesuai yang dicontohkan Rasulullah," ujarnya.
Selain mengaji di masjid, beberapa anggota komunitas juga melanjutkan tadarus di rumah masing-masing. Mereka membagi waktu antara ibadah dan aktivitas sehari-hari agar tetap bisa menyelesaikan target bacaan sebelum Ramadan berakhir. Meski tanpa penglihatan yang normal, mereka memiliki ketajaman hati yang luar biasa dalam memahami makna Al-Qur'an.
Kegiatan ini juga menginspirasi masyarakat sekitar. Beberapa dari mereka bahkan merasa termotivasi untuk lebih rutin membaca Al-Qur'an, menyadari bahwa jika para tunanetra bisa melakukannya dengan penuh kesabaran, mereka yang memiliki penglihatan sempurna tentu tidak memiliki alasan untuk malas mengaji.
"Semangat komunitas tunanetra ini menjadi bukti bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk beribadah. Mereka menjalani Ramadan dengan penuh makna, menjadikan setiap ayat yang dibaca sebagai cahaya dalam kehidupan mereka," kata Ridwan, salah satu guru agama di masjid tersebut.
Menurutnya, Ramadan bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga waktu yang tepat untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. "Dengan jari-jemari yang menyusuri huruf Braille, mereka terus mencari cahaya dalam gelap, menemukan ketenangan dalam lantunan ayat suci, dan merasakan nikmatnya menjalankan ibadah dengan sepenuh hati," tutupnya.
(orb/orb)