Hendrik yang Hidup dalam Pengusiran, dari Pantai hingga Cagar Alam

Kabupaten Sukabumi

Hendrik yang Hidup dalam Pengusiran, dari Pantai hingga Cagar Alam

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 08 Feb 2025 13:00 WIB
Hendrik dan ibundanya kini tinggal di Batu Kenit CA Sukawayana
Hendrik dan ibundanya kini tinggal di Batu Kenit CA Sukawayana. Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar
Sukabumi -

Kebijakan pembongkaran demi memperindah kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pesisir Sukawayana oleh tim terpadu Pemerintah Kabupaten Sukabumi terasa tidak adil bagi Hendrik (37), warga asli Kecamatan Cikakak yang telah tinggal selama 30 tahun di lokasi tersebut.

Di sepanjang tepian pantai yang dulu ramai dengan warung-warung kecil, kini hanya tersisa puing-puing dan tiang kayu yang tercerabut dari tanah. Salah satunya adalah warung sekaligus rumah yang dihuni oleh Hendrik bersama istri, empat anaknya, dan ibunya yang sudah renta.

Warung itu dibangun oleh almarhum ayahnya pada 1980-an. Kini, bangunan yang menjadi satu-satunya tempat mereka berteduh telah rata dengan tanah. Video sang istri viral beredar di media sosial, soal permintaan tolong mereka untuk mendapat tempat tinggal yang layak selepas pembongkaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bapak meninggal, saya sama ibu, istri, dan anak tinggal di warung itu. Tapi tiba-tiba kemarin kena gusuran. Enggak ada pilihan, terpaksa pindah ke Batu Kenit, kawasan Cagar Alam (CA) Sukawayana," ungkap Hendrik kepada detikJabar, Sabtu (8/2/2025).

Terusir Berulang Kali, Tak Punya Tempat untuk Pulang

ADVERTISEMENT

Bagi Hendrik, pengusiran bukan hal baru. Selama hidupnya ia tidak pernah benar-benar memiliki tempat tinggal yang tetap.

"Saya dahulu kehilangan rumah karena ada masalah keluarga, ayah saya kalah, lalu terusir. Pindah ke TWA Sukawayana, tinggal puluhan tahun, sekarang terusir lagi. Terpaksa ke Cagar Alam. Baru sebentar di sini, sudah ada surat peringatan lagi. Sekarang saya enggak tahu harus ke mana," tuturnya, suaranya terdengar berat.

Kini, sebuah surat peringatan dari BBKSDA Jawa Barat yang dibagikan oleh Gakkum Kementerian Kehutanan kembali mengancam Hendrik dan keluarganya. Mereka diberi waktu dua minggu untuk segera keluar dari kawasan itu.

"Hilang rumah karena ada masalah keluarga, saya terusir. Pindah ke pantai, terusir lagi. Sekarang di cagar alam juga disuruh pergi," ulangnya, menunduk dalam diam.

Di tengah ketidakpastian, Hendrik hanya bisa berusaha bertahan. Ibunya, seorang perempuan tua dengan kaki yang sakit, tinggal terpisah di sebuah saung kecil yang berdiri seadanya. Di warung tempatnya berteduh kini, istrinya dan anaknya yang masih berusia 1,5 tahun terbaring lemah.

"Istri mungkin kecapekan, ya. Karena kemarin itu kita serentak diminta pergi. Anak juga sempat ikut-ikutan begadang, akhirnya sekarang keduanya sakit," ujarnya, lirih.

Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa keluarganya semakin kelelahan, bukan hanya secara fisik tetapi juga batin.

Hendrik tidak banyak meminta. Ia tidak menuntut rumah mewah atau kompensasi besar. Ia hanya ingin kepastian, agar ia dan keluarganya bisa bertahan hidup tanpa harus terusir lagi.

"Harapan saya, kita diberi tempat usaha yang layak. Bisa difasilitasi. Dari dulu pihak pemerintah dan pengembang enggak pernah ada janji soal kios. Dapat kerohiman tidak seberapa, terus diusir," katanya, pasrah.

Malam semakin larut. Di kejauhan, suara ombak Pantai Sukawayana berpadu dengan deru angin kencang yang menggoyang tenda-tenda warga yang masih bertahan.

Tak ada yang tahu sampai kapan Hendrik dan keluarganya bisa bertahan di tempat itu namun hanya satu yang pasti, untuk kesekian kalinya, mereka kehilangan tempat untuk pulang.

(sya/sud)


Hide Ads