Mengikis Stigma Penyandang Disabilitas di Jawa Barat

Mengikis Stigma Penyandang Disabilitas di Jawa Barat

Bima Bagaskara - detikJabar
Rabu, 08 Jan 2025 14:00 WIB
Djumono, penyandang disabilitas di Kota Bandung saat menggunakan hak pilihnya di Pilkada Jabar 2024
Djumono, penyandang disabilitas di Kota Bandung saat menggunakan hak pilihnya di Pilkada Jabar 2024. Foto: Istimewa
Bandung -

'Semua orang, siapapun dan apapun jabatannya bisa menjadi disabilitas'. Kalimat itu terucap dari bibir Djumono, seorang penyandang disabilitas fisik yang harus mengandalkan kursi roda dalam kesehariannya.

Pria 57 tahun asal Kota Bandung ini adalah satu dari sekian banyak penyandang disabilitas yang masih mengharapkan adanya perhatian serius dari pemerintah agar mereka bisa hidup setara. Bagi Djumono, disabilitas masih dianggap sebelah mata oleh beberapa warga.

Djumono merasakan betul diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar. Pada momen Pilkada serentak 2024 misalnya, dia mengalami sendiri bagaimana perlakuan orang-orang membuatnya hatinya terluka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya pakai kursi roda harus diangkut-angkut, buat kita malu kadang, jadi minder dengan perlakuan seperti itu dengan fasilitas yang tidak ramah untuk kami," ucap Djumono saat berbincang dengan detikJabar.

"Untuk tunarungu atau wicara, ketika dipanggil mereka hanya bisa diam, karena petugasnya tidak tahu dia adalah disabilitas rungu wicara," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Penyandang disabilitas memang kerap dipandang lemah karena keterbatasan yang mereka miliki. Padahal sebaliknya, penyandang disabilitas tidaklah selemah yang dibayangkan, mereka bisa melakukan berbagai hal seorang diri meski terlihat sulit.

Menurut hasil survei persepsi publik yang diungkap Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Baharudin di peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2024, pengetahuan masyarakat soal disabilitas masih terbilang rendah yakni di angka 52%.

Masyarakat sudah seharusnya memahami tentang hak-hak disabilitas dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan partisipasi mereka di masyarakat. Pemahaman itulah yang akan mengurangi hambatan bagi disabilitas menjalani kesehariannya.

Di Jawa Barat, pemerintah dan DPRD juga telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelenggaraan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas pada 27 Desember 2024 lalu. Djumono berharap, Perda tersebut bisa diimplementasikan dengan menggunakan hati dan perasaan.

Karena menurut Djumono, apa yang dilakukan bagi disabilitas saat ini bukan hanya untuk mereka yang mengalami, namun juga untuk semua orang yang memiliki 'kesempatan' menjadi disabilitas.

"Bagaimana mengimplementasikan undang-undang dan merasakan dari hati bahwa siapapun bisa jadi disabilitas. Gubernur terpilih bisa jadi disabilitas, wakil gubernur bisa, siapapun bisa. Jadi hak disabilitas bukan untuk saya dan teman-teman, tapi untuk semua," tegas Djumono.

Pembuktian Diri

Di tengah batasan dan anggapan tak bisa melakukan banyak hal, Popon Siti Latipah, penyandang disabilitas netra asal Cidadap, Kota Bandung memilih jalan yang berbeda. Ia berupaya menepis stigma yang melekat pada keterbatasan fisiknya, dengan membuktikan bahwa ketidakmampuan fisik bukanlah hambatan.

Popon mengisahkan bahwa sejak masa sekolah hingga kini ia bekerja, ketidakpercayaan terhadap kemampuannya dalam menjalani aktivitas sehari-hari, seperti mengenakan pakaian atau makan sendiri, terus dirasakan.

"Ketidakpercayaan itu sebenarnya juga bagian dari stigma. Meskipun tidak ekstrem, hal itu tetap ada. Tapi saya bersyukur karena orang-orang terdekat, terutama keluarga, sangat mendukung saya," tutur Popon.

Dukungan dari orang tua dan saudara menjadi fondasi kuat yang membantu Popon menjalani kehidupannya dengan lebih percaya diri. Bagi Popon, melawan stigma tidak dilakukan dengan kata-kata, melainkan lewat tindakan nyata.

"Saya tidak pernah bilang ke orang, 'Saya bisa kok melakukan ini.' Tapi saya lebih suka membuktikannya. Awalnya mereka meragukan, tapi setelah melihat sendiri apa yang saya lakukan, akhirnya mereka percaya," ucapnya bangga.

Sikap ini menjadi kunci keberhasilannya dalam menghadapi pandangan skeptis, baik di lingkungan kerja maupun dalam pertemuan dengan orang baru. Meskipun masih merasakan keraguan di awal, ia percaya bahwa waktu dan bukti nyata akan mengubah pandangan tersebut.

"Jangan sempit pikirannya. Masyarakat harus mau memberi kesempatan sekaligus kepercayaan. Memberi kesempatan tanpa kepercayaan atau sebaliknya tidak akan ada artinya," kata Popon.

Melawan Stigma, Tanggung Jawab Bersama

Stigma terhadap penyandang disabilitas masih menjadi tantangan besar di Jawa Barat. Yurisman, Sekretaris Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), menggambarkan stigma ini sebagai bias yang lebih banyak disebabkan oleh ketidakpercayaan masyarakat dan lingkungan yang tidak inklusif.

"Hasil riset menunjukkan, sering kali penyandang disabilitas dianggap tidak mampu. Padahal bukan mereka yang tidak mampu, tapi lingkungan yang tidak mendukung," ungkap Yurisman.

Menurutnya, stigma ini diperkuat oleh kurangnya dukungan sosial yang membuat disabilitas terlihat seperti keterbatasan absolut. Karenanya, upaya melawan stigma itu tidak bisa hanya mengandalkan satu atau dua lembaga. Masyarakat secara keseluruhan harus ikut berperan.

Ia mencontohkan Malaysia, di mana meskipun regulasi terkait disabilitas lebih sedikit dibanding Indonesia, pemerintahnya aktif membangun kesadaran masyarakat untuk peduli, termasuk peran media untuk menyuarakan hak-hak disabilitas.

"Semua lapisan masyarakat harus berpartisipasi penuh terhadap kepedulian kepada disabilitas, termasuk media yang harus peduli kepada aksesibilitas, peduli inklusifitas," ujarnya.

Lebih jauh, Yurisman mengingatkan bahwa setiap orang memiliki peluang menjadi penyandang disabilitas, baik karena kecelakaan maupun faktor usia. "Sebelum jadi disabilitas, pedulilah. Jangan rusak sarana umum yang ada. Semua orang punya peluang menjadi disabilitas," tegasnya.

Harapan untuk Pemimpin Baru Jawa Barat

Tahun baru membawa harapan baru, terlebih Jawa Barat juga bakal memiliki pemimpin baru. Yurisman berharap gubernur baru dapat menjalankan amanah peraturan daerah yang telah ada dan mewujudkan program-program yang berpihak pada penyandang disabilitas.

"Banyak program di daerah yang belum terealisasi. Mudah-mudahan gubernur baru ini amanah terhadap peraturan daerah tentang penyandang disabilitas yang terkait disabilitas," harap Yurisman.

Ia menutup dengan optimisme bahwa dengan kepedulian masyarakat, dukungan pemerintah, dan implementasi regulasi yang lebih baik, stigma terhadap disabilitas bisa terkikis. "Tinggal tunggu waktu, kalau semua pihak berpartisipasi penuh," tandasnya.

Sementara Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan yang bakal ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat terpilih hasil Pilkada serentak 2024, menawarkan visi Jabar Istimewa dan berkomitmen mengistimewakan masyarakat, baik istimewa dalam memberikan pelayanan, maupun istimewa dalam pelaksanaan pembangunan.

Visi Jabar Istimewa itu kemudian dijabarkan dalam 4 misi Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan. Hanya saja, dalam visi misi itu tidak ditemukan gagasan maupun istilah terkait pemenuhan hak-hak difabel, seperti inklusi sosial, dan sejenisnya.

(bba/sud)


Hide Ads