Di rumahnya yang berada di pinggiran Kota Bandung, Rizal (29) sibuk melayani pelanggan yang membeli pulsa. Tangan kanannya cekatan mengetik nomor di layar ponsel, sementara senyumnya tak pernah surut meski hari itu sepi pembeli.
Rizal adalah seorang penyandang disabilitas yang kehilangan kemampuan berjalan. Keterbatasan yang dimilikinya tak membuat Rizal menyerah pada kerasnya hidup. Berjualan pulsa jadi cara terakhir Rizal di tengah sulitnya mencari peluang kerja.
"Saya sudah coba melamar ke berbagai tempat, tapi selalu mentok. Alasannya macam-macam, kadang karena fisik saya, kadang alasan yang lain," ujar Rizal dengan nada getir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rizal terakhir kali melamar kerja di 2017. Bermodal sertifikat pelatihan, dia mencoba melamar kerja di salah satu kampus swasta di Bandung. Sejak awal, Rizal sudah pesimis, namun dia tetap mencoba berusaha untuk mendapat kehidupan yang lebih layak.
"Sudah pesimis dari awal, jadi hanya coba-coba aja keterima Alhamdulillah nggak juga nggak apa-apa," tuturnya.
Dari situlah, Rizal seakan kapok melamar kerja. Meski banyak lowongan yang ada, Rizal mengaku minder dengan kondisinya. Bagi dia, lowongan kerja untuk disabilitas memiliki standar yang begitu tinggi. Untuknya yang hanya lulusan SD, standar itu tak mungkin dijangkau.
"Kalau banyak sih banyak, ya cuma saya tuh jarang mengikuti gitu. Suka ada sih lowongan kerja, kebanyakan ya lulusan SMA sama S1, D2 yang dibutuhkan kayak gitu masalahnya di situ," kata Rizal.
"Standarnya terlalu tinggi, sama usia juga suka dimasukin paling umur 18 sampai 25 kayak gitu," imbuhnya.
Bukan cuma sekedar sulitnya mencari kerja, Rizal juga menceritakan soal tidak seriusnya pemerintah memberi pendampingan bagi masyarakat disabilitas, salah satunya terkait pelatihan yang sering diadakan.
Menurutnya, pemerintah memang sering mengadakan pelatihan bagi penyandang disabilitas. Hanya saja, pelatihan itu sebatas seremonial yang berhenti setelah selesai dilakukan. Padahal bagi Rizal, yang terpenting dari pelatihan adalah pendampingan setelahnya.
"Kebanyakan enggak berkelanjutan, kayak pelatihan dari Disnaker dari Dinsos ataupun dari lembaga yang lain, terpotong tengah jalan. Jadi sebatas latihan aja udah nggak ada kelanjutan. Misal dilatih 1, 2 hari ada yang 12 hari, juga ada yang bertahun-tahun juga sama aja, dilepas gak didampingi," keluh Rizal.
Kini, Rizal hanya fokus untuk berjualan pulsa meski penghasilannya tak seberapa. Bagi Rizal, usaha sekecil apapun tak membuatnya menyerah dengan kondisi yang ada sembari berharap ada perhatian serius dari pemerintah.
"Semoga ada kemajuan ajalah diaksesibilitas untuk pengguna kursi roda di kota Bandung, ramah gitu soal peluang kerja juga semoga sih dipermudah gitu, gak terpatok pendidikan, tanpa ada syarat pendidikan ataupun umur," tandasnya.
Sedikit Berpendidikan Tinggi
Di Indonesia, akses terhadap pekerjaan bagi penyandang disabilitas masih menjadi tantangan besar. Sekretaris Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Yurisman Tanjung mengungkapkan berbagai kendala yang dihadapi, mulai dari implementasi regulasi hingga hambatan pendidikan dan keterampilan.
Menurut Yurisman, Indonesia sebenarnya memiliki regulasi yang cukup memadai untuk mendukung penyandang disabilitas, yakni lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 hingga konsep buku saku Unit Layanan Disabilitas. Namun, permasalahan muncul pada implementasi di lapangan.
"Konsep sudah ada, tinggal bagaimana pemerintah dan pihak terkait berkolaborasi bersama, baik dengan disabilitas, perusahaan, maupun pelaksana sistem," ujarnya.
Salah satu hambatan terbesar dari serapan tenaga kerja disabilitas saat ini menurutnya adalah rendahnya tingkat pendidikan penyandang disabilitas yang mana mayoritas disabilitas di Indonesia hanya lulusan SMA.
Hal itulah yang membuat banyak penyandang disabilitas sulit bersaing di pasar kerja formal karena kerap mensyaratkan kualifikasi minimal SMA atau sarjana. Sehingga kata Yurisman, penyandang disabilitas lebih banyak bekerja di sektor informal.
"Yang pendidikan tingginya sedikit loh mas, pendidikan menengah juga sedikit ya, bisa SMA itu sudah luar biasa ya. Jadi hanya SD, SMP kebanyakan ya. Apakah perusahaan yang lebih mengutamakan profit oriented ini mau enggak dia nerima SD, SMP," tegasnya.
Di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 juga menjelaskan, pemerintah wajib memperkerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2% dari jumlah pegawai, sementara untuk pihak swasta paling sedikit 1%. Tapi lagi-lagi, ijazah menjadi kendala untuk mereka penyandang disabilitas.
"2% pemerintah misalnya untuk ASN, SMA itu kan sekarang sudah mulai enggak laku, tapi juga bisa dihitung berapa orang disabilitas yang menjadi sarjana. Sebenarnya bukan malas kuliah, enggak punya duit," tuturnya.
Penempatan Kerja Disabilitas Merosot
Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, penempatan tenaga kerja disabilitas menurun dari tahun ke tahun. Di tahun 2021 misalnya, penempatan tenaga kerja disabilitas mencapai angka 1.486 orang di 27 kabupaten/kota.
Namun di tahun 2022, angka itu menurun jadi hanya 804 orang saja, ditambah lagi hanya 11 daerah yang terdapat penempatan kerja untuk penyandang disabilitas. Sedangkan di 2023, penempatan hanya ada di 6 daerah dengan jumlah 542 orang.
Kepala Bidang Penempatan Perluasan Tenaga Kerja Disnakertrans Jabar, Hendra Kusuma menerangkan, data tersebut tidak menggambarkan situasi sebenarnya soal penempatan kerja. Menurutnya, banyak daerah yang tidak melaporkan datanya.
Sementara hanya 4 daerah yang benar-benar tidak ada penempatan kerja disabilitas, yakni Ciamis, Depok, Sukabumi dan Pangandaran.
"Yang merah itu dari Depok, Pangandaran, Sukabumi, Ciamis itu menyatakan memang tidak ada penempatan. Berbeda kalau misalnya yang tidak ada laporan dan ada kemungkinan di daerah itu ada penempatannya," ucap Hendra.
Meski datanya menurun, namun menurut Hendra perusahaan khususnya swasta sudah mulai terbuka menerima penyandang disabilitas sebagai karyawan. Rata-rata, perusahaan swasta yang menerima disabilitas berada di sektor manufaktur dan retail.
Hendra juga mengungkap, penyandang disabilitas sering kali menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses pekerjaan di sektor formal. Salah satu alasan utama rendahnya minat dari beberapa penyandang disabilitas untuk masuk ke dunia kerja formal.
"Kemungkinannya memang tidak ada pembukaan lapangan pekerjaannya, atau memang tidak ada disabilitas yang mau bekerja," bebernya.
Bahkan bagi penyandang disabilitas yang berhasil mendapatkan pekerjaan, tantangan baru muncul di tempat kerja. Banyak dari mereka yang memilih berhenti dengan alasan ketidaknyamanan di lingkungan kerja, baik dari sisi manajemen maupun rekan kerja. Namun, lebih jauh lagi, ada faktor lain yang mengemuka.
"Setelah kami mendalami lebih jauh, ternyata isu ini tidak sepenuhnya berasal dari manajemen atau lingkungan kerja. Informasi yang kami dapat menunjukkan bahwa sebagian besar masalah justru berasal dari mentalitas penyandang disabilitas itu sendiri, ditambah hambatan yang datang dari pihak keluarga," tandasnya.
Karena itu, menurutnya diperlukan peningkatan kualitas soft skill dan mental dari penyandang disabilitas. Hal itu dianggap jadi kunci untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut.
"Selain membuka akses kerja, pembinaan juga penting. Kami berusaha melakukan kolaborasi untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia kerja, tetapi soft skill ini memang perlu terus ditingkatkan," tutup Hendra.
Sayangnya, di momen Pilgub Jabar 2024 yang telah diketahui pemenangnya, tidak ada kontestan yang secara spesifik menyampaikan komitmennya untuk mendukung pelayanan akses kerja kepada disabilitas, baik ketika debat kandidat maupun saat berkampanye.
Termasuk oleh Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan yang meraih suara terbanyak di Pilgub Jabar 2024. Perhatian keduanya lebih banyak difokuskan kepada temuan di penyandang disabilitas di lapangan dan juga pendidikan inklusi.
(bba/mso)