Melihat Pilkada Jabar dari Perspektif Disabilitas

Melihat Pilkada Jabar dari Perspektif Disabilitas

Bima Bagaskara - detikJabar
Kamis, 26 Des 2024 20:00 WIB
Djumono, penyandang disabilitas di Kota Bandung saat menggunakan hak pilihnya di Pilkada Jabar 2024
Djumono, penyandang disabilitas di Kota Bandung saat menggunakan hak pilihnya di Pilkada Jabar 2024. (Foto: Istimewa)
Bandung -

Dalam percakapan penuh keprihatinan, Djumono, seorang penyandang disabilitas, berbicara tentang perjalanan panjang menuju Pilkada yang inklusif dan menjunjung keadilan. Sebagai pengguna kursi roda, ia berbagi pengalamannya menghadapi berbagai kendala di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga janji politik yang sering hanya sekadar wacana.

Dengan jumlah mencapai 72.565 orang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, penyandang disabilitas menjadi suara yang signifikan. Namun sayangnya, mereka kerap hanya dianggap penting selama masa kampanye untuk menaikkan elektabilitas para kontestan.

Padahal bagi pria 59 tahun asal Kota Bandung ini, Pilkada bukan hanya ajang perebutan kekuasaan, tapi juga ladang harapan bagi kelompok masyarakat yang kerap kali terpinggirkan, termasuk seperti dirinya, penyandang disabilitas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Djumono, Pilkada 2024 masih jauh dari kata inklusif. Ia menyoroti minimnya sosialisasi yang menyasar penyandang disabilitas secara langsung di tingkat kelurahan dan kecamatan. "Sosialisasi hanya ke lembaga, tidak sampai ke masyarakat disabilitas. Ini masalah besar," ujarnya saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.

Djumono juga menggambarkan bagaimana kurangnya pemahaman petugas pemilu terhadap kebutuhan disabilitas. Belum lagi, banyak keluarga yang memilih menyembunyikan anggota keluarganya yang disabilitas saat pendataan pemilih (coklit). "Ketika tunarungu-wicara dipanggil di TPS, mereka hanya diam. Petugas tidak tahu dia adalah disabilitas," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Berbagai persoalan dihadapi Djumono saat menggunakan hak suaranya, termasuk keterbatasan akses di TPS menjadi cerita pilu yang terus berulang. Dia mengaku, seringkali dibuat malu karena harus diangkut ketika berada di TPS.

Hal itu dikarenakan masih banyaknya TPS tak akses bagi disabilitas. Djumono mencatat bahwa kendala akses tidak hanya terjadi di kota besar seperti Bandung, tetapi lebih parah di pedesaan. "Saya sering harus diangkat-angkat karena tangga di TPS tidak ramah untuk kursi roda. Ini membuat kami merasa minder," katanya.

Apa yang dirasakan Djumono, juga dialami Popon Siti Latipah, penyandang disabilitas netra asal Cidadap, Kota Bandung. Popon bercerita, masalah dalam pelaksanaan Pilkada terus berulang dan terus muncul yakni dari TPS.

Meski KPU menyediakan template braille untuk surat suara, petugas TPS sering kali tidak teredukasi tentang penggunaannya. Pengalamannya di TPS menunjukkan masih ada kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan

"Kalau disebut sudah ramah ya itu tadi, ada sosialisasi dari KPU, tapi di tempatnya di TPS itu belum ya pengalaman saya. Mereka belum menyentuh akar rumput, belum teredukasi dengan baik petugas TPS itu," ucapnya. "Pernah ada teman cerita, petugas TPS tidak membantu teman-teman disabilitas karena tidak tahu caranya, seperti pemakaian template braille," lanjut Popon.

Janji yang Harus Ditepati

Mengenai janji politik, Djumono dan Popon mengaku tetap berpikiran positif, meskipun pengalaman menunjukkan bahwa perhatian terhadap disabilitas masih sangat terbatas meski mereka kerap jadi alat kampanye oleh kontestan politik.

Dia berharap pemimpin terpilih benar-benar memahami dan menjalankan tanggung jawabnya untuk masyarakat disabilitas. Apalagi, undang-undang dan peraturan daerah terkait disabilitas sudah lama dibuat. "Kami ingin janji politik dijalankan, undang-undang diimplementasikan, dan kesejahteraan kami meningkat di segala bidang," tegasnya.

Komitmen calon terpilih terkait keberpihakan pada penyandang disabilitas dinanti oleh Djumono dan Popon. Mereka menyayangkan seringkali kebijakan yang dibuat tidak melibatkan langsung unsur dari masyarakat disabilitas itu sendiri.

Misalnya, soal pemasangan fasilitas seperti garis kuning untuk tunanetra yang kadang malah terganggu oleh tiang atau lubang di jalan. "Proyek terlaksana, tapi manfaatnya minim," kritik Popon. Dia juga menyinggung soal janji kontestan yang kebanyakan hanya berfokus pada pendidikan inklusi. Padahal, kebutuhan penyandang disabilitas jauh lebih luas, mencakup pekerjaan dan kesehatan.

"Pendidikan inklusi sudah lumayan terakomodir, tapi pekerjaan masih sulit, dan ini yang belum terlalu diperhatikan," tambahnya.

Harapan untuk Pemimpin Baru

Jawa Barat sendiri akan memiliki pemimpin baru pada sosok Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan yang meraih suara terbanyak. Kepada keduanya, Djumono dan Popon menaruh segudang harapan. "Yang dijanjikan oleh pemimpin untuk masyarakat disabilitas terkait peningkatan kesejahteraan di segala bidang betul-betul dijalankan," kata Djumono.

"Siapapun yang terpilih harus sesuai harapan khususnya seperti kami dan penyelenggaraan harus lebih ramah ke depannya sehingga masalah dari tahun ke tahun gak berulang terus. Jangan hanya berjanji ketika ingin dipilih," tegas Popon.

Dedi Mulyadi dan Pesan untuk Disabilitas

Menjadi calon dengan suara terbanyak dan akan segera ditetapkan sebagai gubernur terpilih, Dedi Mulyadi kerap menarik perhatian publik lewat interaksi langsungnya dengan masyarakat. Dari sekadar mendengar keluhan hingga memberi bantuan, Dedi tak jarang menyentuh kehidupan kelompok yang kerap terpinggirkan, termasuk penyandang disabilitas.

Salah satu momen yang mencuri perhatian terjadi pada 25 November 2024, di kawasan Patokbeusi, Subang. Dalam kunjungan tersebut, Dedi bertemu Dede Casmita (30), seorang penyandang disabilitas yang mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan.

Meski dalam keterbatasan fisik, Dede tetap berusaha mencari penghidupan dengan menjual tikar. Dengan gaya khasnya, Dedi tidak hanya memborong tikar yang dijual Dede, tetapi juga berjanji membantu pengobatannya agar bisa kembali berjalan.

Dia juga sering menyisipkan pesan-pesan motivasi dalam setiap interaksinya. Pada 28 Oktober 2024, misalnya, ia berbincang dengan seorang penyandang disabilitas di Sukabumi. Dalam unggahan di media sosialnya, ia menyampaikan pentingnya semangat untuk hidup mandiri. "Kalau hanya menunggu yang memberi, susah. Kita harus berusaha mencari jalan sendiri. Siapa yang punya keyakinan, pasti ada jalan," kata Dedi.

Baginya, keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. "Walaupun punya kekurangan, itu bukan halangan untuk hidup maju."

Dedi menegaskan, pemerintah memang bertanggung jawab menjamin hak-hak masyarakat disabilitas, orang terlantar, hingga anak yatim. Namun, ia percaya kemandirian adalah kunci keberhasilan sejati. "Kalau lebih mandiri, itu jauh lebih hebat. Saya lebih senang memberi solusi daripada hanya bantuan," tambahnya.

Sekolah Inklusi sebagai Wadah Kesetaraan

Pentingnya pemberdayaan disabilitas juga disoroti oleh Erwan Setiawan. Dalam debat perdana yang digelar KPU di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Kota Bandung, pada 11 November, Erwan menyoroti pentingnya keberadaan sekolah inklusi bagi masyarakat disabilitas.

"Tidak ada perbedaan, kita siapkan guru di sekolah tersebut dan kita bangun sekolah yang lebih ramah untuk kaum disabilitas, kita tidak bedakan hak dan kewajiban mereka, mereka harus dapatkan pendidikan yang setara," ujar Erwan.

Cerita Dedi Mulyadi dan gagasan Erwan Setiawan adalah pengingat penting bahwa inklusi bukan sekadar konsep, melainkan sebuah aksi nyata. Dalam konteks masyarakat disabilitas, keberpihakan bukan hanya soal memberi, tetapi memastikan akses yang setara dalam segala aspek kehidupan.

(bba/iqk)


Hide Ads