Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung mencatat ada peningkatan angka kasus anak dengan penyakit ginjal kronik. Meski tak signifikan, namun setidaknya ada 10-20 anak per bulan yang memerlukan cuci darah rutin.
Angka tersebut tentu cukup mengkhawatirkan, sebab cuci darah jika terjadi pada anak, maka perlu dilakukan dalam jangka waktu yang panjang alias seumur hidup. Hal tersebut diungkapkan oleh Staf Divisi Nefrologi RSHS Bandung, dr Ahmedz Widiasta.
"Untuk kasus anak dengan penyakit ginjal kronik yang perlu cuci darah rutin itu ada 10-20 anak per bulannya. Pasien-pasien tersebut telah kami rujuk ke RS daerah terdekat untuk menjalani cuci darah. Beberapa dari anak-anak tersebut juga sudah diubah menjadi cuci darah dari bawah perut atau dialisis peritoneal, sehingga bisa dilakukan di rumah dan hanya satu kali datang ke rumah sakit untuk mengambil cairan dan mengambil obat," kata dr Ahmedz pada wartawan, Rabu (31/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lalu untuk yang akut, jadi yang gangguan ginjal yang tiba-tiba terjadi padahal anaknya sehat, banyaknya penyakit-penyakit autoimun, nephritis lupus, nephritis enoxon lain, dan namanya RPGN, atau Rapidly Progressive Chromal Nephritis. Dan itu setiap bulan memang selalu ada. Karena merupakan RS rujukan di Jawa Barat adalah Hasan Sadikin, maka kami menerima kasus-kasus tersebut setiap bulan cukup banyak, sekitar 10-15 kasus baru," lanjutnya.
Setiap bulan, kata Ahmedz, yang melakukan pemeriksaan ginjal kronik di poliklinik ginjal non-hemodialisis berkisar 20-50 pasien per hari. Sementara untuk kasus yang perlu cuci darah rutin, di poliklinik hemodialisis dalam sehari melayani sekitar lima pasien.
Merebak rumor bahwa gagal ginjal ini disebabkan oleh minuman manis dan pola makan yang tak sehat. Meski hal tersebut juga bisa jadi salah satu faktor penyebab, dr Ahmedz menyebut hingga kini penyebab pastinya masih terus ditelisik.
"Penyebabnya idiopatik, itu tidak diketahui sebabnya, kami belum tahu. Sampai sekarang pun penelitiannya masih berjalan. Ternyata kalau dihubungkan, banyak sekali faktornya itu," ucap dr Ahmedz.
Di lain sisi Konsultan Nefrologi Anak RSHS, Prof Dany Hilmanto menjelaskan bahwa terjadi mispersepsi bahwa pola makan yang tak sehat menjadi penyebab utama penyakin ginjal kronis. Baik Prof Dany dan dr Ahmed yang merupakan konsultan ginjal anak, menampik hal tersebut.
"Dari tahun ke tahun, penyakit-penyakit yang disebabkan oleh junk food itu melalui tahap yang panjang. Dia harus melalui ke hipertensi dulu, diabetes mellitus dulu, obesitas dulu, yang merupakan risiko untuk penyakit ginjal kronik. Jadi untuk makanan yang manis-manis, asin-asin, junk food, perlu waktu yang cukup panjang. Perlu puluhan tahun untuk menjadi hipertensi sehingga nanti akhirnya menjadi penyakit ginjal kronik," ucap Prof Dany.
Ia mengaku angka kejadian penyakit ginjal kronik pada anak yang memerlukan cuci darah seumur hidup, itu memang ada kecenderungan meningkat. Tapi bukan karena minuman manis dan makanan yang tak bergizi lainnya.
Prof Dany mengungkap bahwa mayoritas pasien ginjal kronik pada anak, berusia di atas 5 tahun. Paling banyak akibat penyakit glomerulus atau bocor ginjal. Tapi sayangnya, Prof Dany mengungkap hingga kini penyakit glomerulus bersifat idiopatik atau tidak diketahui sebabnya.
"Jadi apabila pola makan yang salah, pola hidup yang salah dalam jangka panjang, akan mengakibatkan penyakit-penyakit yang berisiko untuk penyakit ginjal kronik pada orang dewasa. Sedangkan pada anak sebetulnya, penyakit ginjal kronik yang memerlukan cuci darah seumur hidup itu kalau dia terkena di bawah usia 5 tahun, umumnya terjadi karena kelainan struktur saluran kencingnya," ucap Prof Dany.
"Tetapi kalau pada usia di atas 5 tahun, umumnya penyakit yang sering mengakibatkan penyakit ginjal kronik itu adalah penyakit glomerulus. Itu sampai saat ini paling banyak dan idiopatik. Kita sebutnya sindrom nefrotik yang umumnya dia tidak memberikan respons yang baik kalau kita obati," sambung dia.
Meski tercatat dalam kasusnya ada peningkatan, Prof Dany mengungkap angka penderitanya dari waktu ke waktu tak begitu melonjak. Setiap tahun, perubahan angka terjadi tapi sangat sedikit.
"Ada yang mungkin dia sudah beranjak dewasa, jadi pindah umur 18 tahun, pindah ke penyakit dalam. Nah tapi datang lagi yang baru, begitu saja. Jadi ada nambah, tapi ada juga yang berkurang sehingga angka dari tahun ke tahun yang menjalan cuci darah pada usia anak 0-18 tahun itu cenderung stabil," ucap Prof Dany.
Ia pun berharap agar ke depannya lebih banyak anak yang dapat dilakukan pengecekan sejak dini, agar potensi penyebab ginjal kronik dapat dicegah. Sebab, Prof Dany juga mengungkap bahwa jika ketahuan ginjalnya bermasalah di usia kurang dari 6 tahun maka akan lebih mudah diobati.
"Dia awalnya sehat, tapi kalau terkena bocor ginjalnya biasanya di atas 6 tahun, itu biasanya potensinya kurang bagus. Tapi bocor ginjalnya sekitar usia antara 4-6 tahun, itu biasanya setelah diobati akan sembuh sendiri dan tidak cenderung ke penyakit ginjal kronik," kata Prof Dany.
(aau/tey)