Mengaji dalam Kesunyian, Kisah Ustaz Dadi dan Rumah Quran Tuli

Kota Bandung

Mengaji dalam Kesunyian, Kisah Ustaz Dadi dan Rumah Quran Tuli

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Senin, 24 Jun 2024 11:00 WIB
Ustaz Dadi, pendiri Yayasan Rumah Quran Isyaroh di Bandung.
Ustaz Dadi, pendiri Yayasan Rumah Quran Isyaroh di Bandung. (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Di sebuah gang Jalan Parakan Saat, Arcamanik, Kota Bandung terdapat satu rumah yang tak biasa. Setiap Minggu siang, rumah sederhana itu ramai didatangi anak-anak disabilitas tuli.

Rumah milik Siti Umayah itu jadi tempat belajar Al-Quran bagi para disabilitas. Tertulis di depan rumah itu sebuah spanduk bertuliskan 'Rumah Quran Isyaroh'.

Mereka mengaji dengan penuh ketenangan, minim suara selain gumaman dan bunyi kertas yang saling bergesekan. Al Islamabad (37) atau kerap dipanggil Ustaz Dadi, terlihat memandu dengan sabar para muridnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dadi juga merupakan seorang pengajar yang tuli. Tapi semangatnya untuk meraih rida dan ampunan Allah SWT begitu besar, meskipun jalannya tak mudah.

Tim detikJabar berkesempatan untuk berbincang langsung dengan Ustaz Dadi. Ia pun menceritakan kisah inspiratifnya, betapa di balik semangatnya, dulu ia pun pernah terpuruk dengan kondisinya.

ADVERTISEMENT

"Saya dulu lahir bisa dengar, sampai akhirnya saya umur 12 tahun atau kelas 6 SD, saya sedang bermain dengan teman-teman saya di sebuah proyek pembangunan pabrik. Pertamanya, saya dengar suara gemuruh. Saya tanya teman-teman saya, dengar nggak suara itu? Mereka bilang dengar. Di situ saya masih tenang," cerita pria asal Tasikmalaya itu.

"Sampai akhirnya saya pulang, sudah menjauh, suara gemuruh itu tetap ada. Terus saya tidur, paginya saya dibangunkan ayah saya. Ayah saya bicara tapi saya nggak dengar apa-apa," lanjutnya.

Padahal, pendengarannya tak cuma digunakan untuk berkomunikasi dan belajar, tapi juga untuk mendalami agama. Sebab Dadi kecil dengan pendengaran yang normal, terbiasa mendengar suara lantunan Qur'an.

Saat kejadian, Dadi ingat betul sang ayah berusaha menenangkan. Katanya, Dadi harus sabar, sebentar lagi pasti pendengarannya akan kembali pulih. Namun sampai beberapa hari kemudian, seminggu, bahkan sebulan, telinga Dadi tetap kehilangan kemampuan dengarnya.

Bahkan setelah beragam pengobatan dijalaninya, Dadi tetap tak bisa dengar. Dunianya yang mulanya penuh suara, jadi senyap tiba-tiba.

Dadi menceritakan kisahnya dengan penuh ekspresi, jarinya terlihat lincah menerjemahkan dengan bahasa isyarat. Suaranya memang terdengar sangat kecil, tapi emosi yang ia sampaikan dapat terdengar sangat jelas. Betapa Dadi kecil saat itu terpukul dan kecewa.

"Sudah ratusan kali lah berobat. Mulai dari ke dokter, puskesmas, sampai pengobatan alternatif, tetap nggak bisa dengar. Dari situ saya jadi murung, mengurung diri, nggak mau main dan sekolah karena di sekolah juga nggak tahu apa yang dibicarakan guru. Saya nggak punya semangat hidup. Saya cuma di rumah, bangun, makan, tidur, setiap hari bertanya kapan saya meninggal," kenangnya.

Kurang lebih 11 tahun lamanya, Dadi terus tenggelam dalam keterpurukan. Sampai akhirnya, Allah mengingatkan Dadi melalui satu cobaan lainnya. Sang ayah tercinta harus dipanggil Yang Maha Kuasa.

Di usia Dadi yang sudah 23 tahun, ia merasa sangat terpukul. Namun di lain sisi ia jadi tersadar, ia dan ibunya tak lagi punya sosok kepala keluarga yang mampu menghidupi mereka. Dadi juga tak ingin kehilangan ibunya dalam keadaan yang merana.

"Mama saya sudah tua, nanti makin tua mau kerja gimana? Mau makan gimana?," kata Dadi. Pertanyaan itu terus menghantuinya.

Ustaz Dadi, pendiri Yayasan Rumah Quran Isyaroh di Bandung.Ustaz Dadi, pendiri Yayasan Rumah Quran Isyaroh di Bandung. Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Kepergian sang ayah membuatnya bangkit. Dadi mencoba mencari cara untuk mengejar ketertinggalan hidupnya. Mengingat lebih dari sepuluh tahun hidupnya sempat berhenti.

"Saya terus sempat ikut Kakak ke Sumedang, di sana kursus menjahit. Tapi saya merasa lebih baik sekolah. Akhirnya saya kejar sekolah, masuk SMP SLB kelas 2. Meski saya sudah tua tapi saya tetap berusaha tuntaskan," ucapnya sambil tertawa.

"Nggak papa malu, yang penting belajar ilmu. Saya pertama kali ketemu teman-teman tuli dan saya juga nggak bisa bahasa isyarat. Dari situ saya melihat teman-teman tuli ini belum punya pengetahuan umum, mereka juga nggak punya pengetahuan agama," sambung Dadi.

Hal ini membuat Dadi sadar. Saat ia sempat mempertanyakan takdirnya, 'Mengapa harus dia yang tuli? Ada salah apa sampai Dadi harus kehilangan kemampuan dengarnya?', di lain sisi Allah SWT punya rencana mulia untuk takdir hidupnya.

Sebab sebelum Dadi jadi tuli, ia sempat mengenyam pendidikan sampai SD. Semasa sekolah, ia cukup jago dalam pelajaran matematika dan agama. Jadi saat dia masuk SLB SMP, Dadi bisa mengikuti pelajaran dengan mudah. Di antaranya baca tulis Al-Qur'an dan Matematika.

Hingga lambat laun, dengan bimbingan dari gurunya juga, Ustadz Dadi mulai mengajari anak-anak lain khususnya yang tuli seperti dirinya.

"Mungkin saya ditakdirkan tuli oleh Allah supaya bisa mengajarkan anak-anak tuli lain, sebab saya pernah sekolah umum. Ada kemampuan bahasa indonesia dan agama. Jadi kemampuan saya itu bisa membantu teman tuli untuk ngaji atau membaca Al-Quran," ceritanya.

"Saya di situ jadi bisa mensyukuri, nggak ada ngeluh-ngeluh. Terus waktu itu saya disuruh sama guru-guru untuk ngajarin temen-temen tuli di masjid. Ngajarin sholat, agama, jadi guru ngarahin saya, terus nanti saya mengajar temen-temen yang lain," lanjut Dadi.

Tak cuma itu, Dadi ditakdirkan bertemu dengan jodohnya di SLB SMA Sumedang. Saat itu Dadi mulai melihat sosok Nurul Afifah, yang kemudian dilamarnya pada tahun 2016. Setahun kemudian, keduanya menikah dan kini telah dikaruniai dua anak yang lahir sempurna.

Uniknya, Dadi mulai melihat sosok Nurul saat membaca majalah di perpustakaan SMA-nya. Ada nama Nurul sebagai juara 1 lomba melukis. Perkenalan keduanya pun sempat terhambat rasa kurang percaya diri yang hinggap di diri Dadi.

"Sampai kuliah, ketemu lagi. Nurul masuk kuliah ATC Widyatama. Di sana mulai kenal, tapi nggak lama sebab Nurul kerja di Bekasi untuk ngajar anak-anak tuli. Singkat cerita, tahun 2016 Nurul ke Bandung dan minta tolong saya untuk carikan tempat kerja. Setelah beberapa bulan, saya minta keluarga untuk melamar ke rumahnya. Kemudian 2017 kami menikah," ceritanya dengan semringah.

Setelah menikah, Dadi dan Nurul baru menjalin hubungan. Di tahun 2017 itu keduanya semakin mendekatkan diri dengan berkegiatan, merintis usaha, hingga menjadi narasumber seminar dan workshop. Dari indahnya pernikahan itu, keduanya dikaruniai dua orang anak.

"Alhamdulillah dua anak kami, usia dua dan empat tahun, keduanya bisa dengar. Jadi mereka pakai bahasa itu dua, di rumah dengan bahasa isyarat tapi kalau ke luar rumah ngobrol seperti biasa. Mereka juga jadi yang ngasih tahu kami, misalnya ada tamu yang ketuk pintu, karena mereka dengar," lanjutnya bercerita sambil tertawa.

Memperjuangkan Mushaf Al-Quran dan Wadah Belajar Ngaji untuk Teman Tuli

Ustaz Dadi, pendiri Yayasan Rumah Quran Isyaroh di Bandung.Ustaz Dadi, pendiri Yayasan Rumah Quran Isyaroh di Bandung. Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar

Belum mudah bagi Dadi mengajarkan teman-teman tuli untuk mengaji. Sebab ternyata mengubah huruf hijaiah Arab ke bahasa isyarat cukup rumit. Jika caranya masih lewat mulut atau oral, Dadi merasa metode itu tidak cocok untuk teman-teman tuli.

"Jadi bantu pake bahasa isyarat, awalnya pakai SIBI yang biasa di sekolah. Tapi prosesnya panjang dan tidak cocok. Akhirnya saya lulus SMA tahun 2015, saya pindah ke Bandung untuk kuliah, ikut organisasi, saya juga terlibat aktivitas untuk memperjuangkan hak-hak tuli," ucapnya.

"Sering kegiatan sama disabilitas lain, kenal tempat kerja disabilitas netra di Daarut Tauhid. Di sana saya ditawari untuk mengajar anak-anak tuli mengaji. Saya daftar, terus lolos diterima di Difabel Creative Center (DCC). Saya mengajar tiap malam jam habis maghrib, sampai jam 21.00-22.00, pulang malam ke Cimahi bolak-balik," sambungnya bercerita.

Mulanya, Dadi mengajar tentang agama Islam, fiqih, atau tauhid. Lambat laun mulai merambah ke pengajaran Al-Quran menggunakan abjad Bisindo. Di situ, Dadi juga masih merasa metode pengajarannya belum sesuai. Singkat cerita, pada tahun 2016 ia ikut seminar di Jakarta.

Rupanya di sana jadi kesempatan Dadi bertemu dengan banyak orang luar negeri. Ia bertemu salah satu orang Australia yang memberinya sebuah buku tentang huruf hijaiah Arab. Dia pun berusaha mempelajarinya, kemudian jadi terinspirasi untuk mengubah metode belajar Al-Quran bagi teman tuli.

"Mulai ganti jadi a-ba-ta pakai hijaiah Arab dengan proses yang berulang. Diajarkan per huruf seperti hijaiah gundul tanpa ada harokat, lama-lama bertambah memperbaiki harakat kasroh, fatah, dll. Sampai akhirnya tahun 2017, Bu Maya minta saya ngajar di sini," kisahnya.

Siti Umayah, atau biasa disapa Maya, merupakan seorang ibu anak dua. Putranya yang bernama Yudha, ditakdirkan tuli. Maya selalu berusaha agar Yudha mendapat pendidikan yang terbaik, ikut banyak kursus agar punya banyak kemampuan.

Maya mulanya merasa stres, ia tak tahu bagaimana cara membekali putranya pelajaran agama. Sampai akhirnya secara tak sengaja dan melalui proses yang panjang, Maya dipertemukan dengan Dadi.

Mulanya, Dadi hanya mengajarkan Yudha. Sampai akhirnya Maya mempersilakan rumahnya sebagai tempat les ngaji juga untuk teman-teman Yudha yang lain. Lambat laun, murid Dadi semakin banyak.

"Saya dulu sempat kuliah sampai semester 9 di Universitas Widyatama jurusan IT. Jadi saya sempat mengajar komputer, tapi saya nggak lulus kuliah karena terhalang biaya waktu itu saya bayar kuliah dengan uang lomba gitu," kenang Dadi.

"Nah saat mengajar Yudha mengaji, saya mulai pakai metode yang baru. Lama-lama temannya yang ikut semakin banyak. Saya awalnya mengajar di rumah Bu Maya di lantai bawah, terus tahun 2020/2021 mulai ada support dari kitabisa, tahun 2021 Yayasan Rumah Quran Isyaroh resmi punya badan hukum," lanjutnya.

Dadi kemudian mendapat undangan dari Menteri Agama sebab ia punya ide tentang Al-Quran isyarat. Dadi pun tergabung dalam tim penyusun Al-Quran dan melakukan musyawarah agar ada satu mushaf yang disepakati.

"Kalau dulu masih beda-beda, sesuai komunitas-komunitas. Jadi di situ saya ikut penyusunan mushaf Al-Quran, memberi ide, hingga akhirnya tahun sudah mulai ada buku pedoman," katanya sambil menunjukkan ada tiga buku pedoman tentang teori baca Al-Quran bagi tuli.

"Pada tahun 2023, akhirnya Al-Quran untuk tuli sudah ada. Al-Quran tersebut dicetak dua jilid, sebab kalau Quran biasa hanya huruf Arab, ini ada gambar tangan untuk isyarat, atau font hijaiah isyarat. Kami yang punya usul supaya huruf isyarat itu masuk font, lalu dibuat oleh orang ahli LPMQ," imbuh Dadi.

Sementara itu Maya pun bercerita, bukan hal mudah awalnya untuk Maya berusaha memberi wadah belajar bagi Yudha dan kawan-kawannya. Dari yang awalnya Maya menyediakan rumahnya untuk tempat belajar, lambat laun muridnya semakin banyak sehingga Maya membangun lantai dua rumahnya demi tempat belajar anak-anak tuli.

"Saya itu seorang ibu yang punya anak tuli, yang saya ingin anak saya setara dengan anak lain. Jadi Yudha itu saya kasih les banyak, ada komputer, sempat belajar masak bikin kue juga, dan yang paling penting ngaji. Terus saya ajak teman-temannya ikut lah di sini, lama-lama anaknya banyak jadi sempit, saya bangun lantai dua dengan biaya sendiri. Saya berusaha supaya Pak Dadi, Yudha, dan kawan-kawan lainnya punya lah tempat untuk belajar," ujar Maya.

"Sampai akhirnya saya ketemu dengan Teh Indah dari UPI, ia sedang cari tempat ngaji disabilitas. Ternyata sulit untuk cari yang spesifik, jadi saya ditawari apakah ada niat bikin yayasan? Nanti akan saya dan teman-teman bantu untuk cari dana dan lainnya," lanjutnya.

Saat itulah pada tahun 2021 terbangun Rumah Quran Isyaroh yang didirikan Ustaz Dadi dan Maya, lengkap dengan susunan pengurusnya. Muridnya pun semakin bertambah dengan umur yang bervariasi, kini murid Dadi dan teman-teman pengajar lainnya berjumlah 43 siswa.

"Biasanya jadwal ngaji itu di akhir pekan, paling ramai Minggu. Yang ikut banyak dari luar kota pun ada, paling jauh ada dari Soreang dan murid paling muda usia 5 tahun, kalau paling tua ada yang sudah kakek-kakek juga. Ya ikut aja ngaji saat ada waktu," kata Maya.

"Mereka itu semangatnya luar biasa, tapi karena jarak yang jauh jadi banyak yang minta untuk Yayasan buka pesantren. Tapi memang syaratnya cukup banyak jadi kami belum sanggup. Ya semoga segera bisa kami buka pesantren, semoga Yayasan ini bisa terus berjalan, membantu banyak orang, serta niat baik kami dipermudah Allah SWT," doanya.

Halaman 2 dari 2
(aau/iqk)


Hide Ads