Kisah Pemulung TPA Heleut, Alih Profesi demi 'Kubur' Kenangan Istri

Kabupaten Majalengka

Kisah Pemulung TPA Heleut, Alih Profesi demi 'Kubur' Kenangan Istri

Erick Disy Darmawan - detikJabar
Rabu, 05 Jun 2024 06:30 WIB
Kartawi, pemulung di TPA Heuleut.
Kartawi, pemulung di TPA Heuleut. (Foto: Erick Disy Darmawan/detikJabar)
Majalengka -

Heuleut adalah salah satu desa di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka. Desa ini menjadi lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di daerah berjuluk 'Kota Angin' itu.

Lokasi ini juga menjadi tempat Kartawi mencari sesuap nasi. Pria tua yang tak hapal dengan umurnya sendiri itu, setiap hari memulung di tempat tersebut.

Dari gundukan sampah yang tampak menggunung itu, Kartawi mengaduk sampah bak mencari harta karun. Dia memilah sampah-sampah yang mempunyai nilai jual.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"(Sampah sehari dapat berapa kilo?) Nggak tentu, kadang dapet 5-10 kilo sehari. Nyari sampah plastik, botol kaca, kayak gitu aja, yang bisa di kilo," kata Kartawi saat berbincang dengan detikJabar, Selasa (4/6/2024).

Sampah-sampah yang berhasil disortir itu nantinya dijual ke pengepul. Pengepul tempat Kartawi menjual lokasinya masih di dalam lingkungan TPA.

ADVERTISEMENT

"Kalau dijual di sini, ada pengepul. Nanti dijualnya sama pengepul ke Cirebon," ujar dia.

Dari hasil penjualan memulungnya itu, Kartawi mengaku hanya cukup untuk mengisi isi perut. Kebutuhan biaya hidup lainnya, kata bapak tiga anak itu, dibantu oleh anak-anaknya.

"Hasil dari mulung, cukup sama makan aja. Nggak bisa nabung. Kebutuhan lain mah dibantu sama anak," ucapnya.

"Pendapatan rata-rata mah sekitar Rp200 ribuan, itu tuh dalam waktu sepuluh hari lebih. Dikeureuyeuh wae (dilaksanakan aja), walaupun cukup buat makan juga," tambah dia.

Kartawi menyalami profesi tersebut terbilang baru. Sebelumnya Kartawi berprofesi sebagai petani.

"Sekitar 5 tahun (jadi pemulung). Sebelumnya jadi petani," kata dia.

Disinggung apakah menjadi petani tidak menghasilkan, Kartawi membantah. Alasan dirinya meninggalkan profesi itu karena ingin mengubur kenangan bersama mendiang istri yang sudah meninggal pada 2015 lalu.

"Kalau hasil tani, dulu bagus terus. Tapi karena istri meninggal, sawah dijual. Ingat terus sama istri jadi dijual. Sebenarnya kalau nyaman, nyaman jadi petani hidup tenang," ucap dia.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads