Di belakang rumahnya di Kampung Ciembe, Desa Padabenghar, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, pria yang dikenal dengan nama Asep Kamho kini mengurus penderita gangguan kejiwaan. Meskipun baru satu tahun, sudah puluhan orang yang ia kembalikan kondisinya menjadi pulih kembali.
"Memanusiakan manusia, ada perjalanan hidup yang saya alami dan itu luar biasa. Ini sebuah berkah dari pengalaman yang saya alami. Memanusiakan- manusia, mengembalikan jiwa-jiwa yang hilang ke keluarganya," kata Asep kepada detikJabar, Minggu (23/6/2024).
Asep menceritakan, awal perjalanan hidupnya bermula di tahun 1990, kala itu, ia membuat hati sang ibu terluka karena sebuah persoalan keluarga. Hidupnya kehilangan arah, di tengah kebimbangan ia memutuskan untuk bepergian ke daerah Banten di sana ia menemui orang bijak, kyai dan orang pintar.
"Darah muda, ego tinggi, ibu menegur saya nggak marah saat itu. Hanya ya tadi saya ego mungkin tatapan kesal, mata melotot ya hingga membuat ibu saya terluka. Pergi dari rumah, saya sendiri saat itu sedang memulai sebuah usaha sampai hancur, tidak menemukan kenikmatan hidup dan akhirnya saya memutuskan pergi ke Banten mencari orang tua bijak atau guru ya," tuturnya.
![]() |
Perjalanan Asep di Banten tidak berjalan mulus, masih dengan ego yang tinggi setiap nasihat yang masuk dari para orang tua tersebut ia indahkan. Menurutnya jawaban itu masih belum sejalan dengan hatinya.
"Setiap orang tua bijak atau guru ini menasihati saya untuk meminta maaf ke ibu, sikap dan sifat egois saat itu masih meracuni saya, akhirnya petuah-petuah itu saya abaikan. Saya terus mencari guru yang sesuai dengan keinginan saya, semua saya lakukan berjalan kaki namun semua nasihatnya sama, meminta saya pulang dan meminta maaf ke ibu," lirihnya.
Tidak puas di Banten, Asep berpikiran untuk pergi ke Garut dengan berjalan kaki. Dengan tujuan yang sama, mencari guru dan orang bijak yang bisa ia singgahi. Perjanan itu dia lakukan selama 1 tahun, ia tidak menggunakan jalanan umum ia memilih keluar masuk perkampungan jalan setapak naik turun perbukitan.
"Saya diteriaki anak-anak kecil nu gelo, dilempari. Itu beberapa bulan setelah saya memulai perjalanan ke Garut dari daerah Menes, Pandeglang Banten tujuan saya ke Sancang, Garut. Saya merasakan bagaimana kehidupan saya saat itu benar-benar merasakan berada di titik nol," kata Asep.
"Saya ceritanya di perjalanan ini menemukan uang Rp 1.000, saya mendatangi kios bakso dengan kondisi pakaian semuanya lusuh. Nah oleh si penjual bakso ini saya masih ingat disiram pakai kuah bakso karena dianggap orang gila. Saya tidak melawan, saya pergi begitu saja melanjutkan perjalanan," sambungnya.
Asep akhirnya tiba di Garut. Ia singgah di rumah warga dan memulai perjalanan spritualnya di sana. Ia tinggal selama beberapa bulan sampai akhirnya ia menemukan jati dirinya. Kemudian Asep pulang dengan perbekalan yang didapat selama menjadi buruh serbutan saat berguru di Garut.
"Saya pulang ke rumah, saya mencoba melangsungkan hidup di Sukabumi. Berbagai kesempatan kerja saya lakukan, mulai dari sopir angkot, berkebun di persemaian saya jalani serabutan. Berjualan bibit buah-buahan pakai mobil, oh ia saya juga meminta maaf ke ibu dan itu tercetak ke pemikiran saya sampai sekarang yang saya bagikan ke orang lain, jangan pernah melukai hati ibu, jagalah mereka, bahagiakan mereka, meskipun tidak dengan materi bisa dengan kasih sayang, apa yang saya jalani dahulu merupakan teguran Allah," bebernya.
Sudut pandang Asep Kamho kemudian berubah. Berbekal kemampuan spiritual yang diperoleh selama perjalanan Banten-Garut dengan berjalan kaki, membawanya kepada sebuah momen, dimana tiba-tiba salah seorang kenalannya yang mengelola panti perawatan ODGJ meminta bantuannya untuk mengurus belasan penderita gangguan kejiwaan.
![]() |
"Saat itu ada belasan ODGJ yang kesulitan mencari tempat perawatan. Dibawa oleh Dinas Sosial ke panti teman saya itu, karena penuh akhirnya dititipkan di saya. Saya meminta sedikit pengetahuan dan petunjuk dari teman saya itu, metodenya ruqyah dan akhirnya saya jalani sampai sekarang," ujarnya.
Kehidupan keluarga Asep Kamho berubah, ia merawat belasan ODGJ bersama istri dan anaknya di sebuah pondokan kecil di belakang rumahnya yang asri, seluruh kebutuhan mereka dipenuhi Asep dengan ikhlas, namun anehnya menurut Asep kehidupan itu tidak membuatnya kekurangan, rezeki selalu datang.
"Awalnya istri sempat protes, namun istri mulai paham karena ternyata kehadiran mereka itu tidak lantas mengurangi kebutuhan dapur. Ada dan tidaknya ODGJ yang kami rawat, kami tetap makan, kami tetap berusaha seperti biasa dan tidak ada kekurangan. Saya usaha wiraswasta, bengkel, perkebunan dan ternak ayam, kambing, bebek," tuturnya.
Metode ruqyah hingga mengajar ngaji dijalankan, ia menyiapkan seorang guru agama di pondok yang ia namakan Rumah Resolusi Indonesia itu. Keberadaan kebun dan ternak dijadikan cara bagaimana para ODGJ ini belajar dan suatu saat memiliki kemampuan ketika jiwa mereka yang hilang kembali.
"Mereka belajar beternak, berkebun, semua saya lakukan dengan anak dan teman-teman. Sore hingga malam belajar ngaji, pagi saya ruqyah terus saja begitu. Kenapa saya namai Rumah Resolusi, dari mereka yang sehat, kemudian sakit dan terpuruk mereka harus kembali sehat. Harus ada solusi untuk hidup lebih baik lagi ke depannya," ungkap Asep.
"Saat ini yang sekarang di pondokan ada tiga orang, mereka dibawa oleh keluarga ada yang oleh dinas sosial. Mereka yang sekarang di sini karena ada yang depresi, kemudian ada yang karena obat-obatan. Kebanyakan keluar dari sini dalam keadaan sehat, terakhir yang agak lama itu korban judi online ya hingga depresi. Catatan kami di sini tidak pernah menggunakan obat-obatan, jadi hanya memulihkan jiwa mereka dengan bantuan doa dan ruqyah," sambungnya menutup perbincangan dengan detikJabar. (sya/mso)