Benteng Gunung Sawal Simbol Gotong Royong Warga Ciamis

Unak Anik Jabar

Benteng Gunung Sawal Simbol Gotong Royong Warga Ciamis

Dadang Hermansyah - detikJabar
Rabu, 29 Mei 2024 11:30 WIB
Penampakan Benteng Gunung Sawal pembatas hutan di Ciamis
Penampakan Benteng Gunung Sawal pembatas hutan di Ciamis. Foto: Dadang Hermansyah/detikJabar
Ciamis -

Sebuah benteng membentang di Gunung Sawal dengan panjang sekitar 12 kilometer. Benteng itu merupakan pembatas antara hutan masyarakat dengan Perhutani dan suaka margasatwa. Fungsinya untuk mencegah satwa turun ke permukiman warga.

Diketahui benteng itu membentang di tiga desa di Kecamatan Cipaku, yakni Desa Cipaku, Desa Sukawening dan Bangbayang. Dibangun oleh masyarakat pada tahun sekitar tahun 80-an.

Ilham Purwa, salah seorang pegiat budaya dan lingkungan Ciamis menjelaskan, benteng tersebut dibangun masyarakat secara gotong royong. Tujuannya untuk menghalau hama seperti babi hutan turun ke permukiman. Meski secara nyatanya kurang efektif karena sewaktu-waktu masih ditemukan ada babi hutan yang turun gunung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Benteng buatan itu untuk membentengi alam pasti ada kendala. Seperti terbawa longsor atau terseret air. Sehingga seiring waktu menjadi kurang efektif," ujar Ilham yang juga dosen Kegaluhan Universitas Galuh, Ciamis, Selasa (28/5/2024).

Menurutnya, ada nilai positif yang dapat diambil dari pembangunan benteng tersebut. Benteng Gunung Sawal bisa menjadi simbol gotong royong warga Tatar Galuh Ciamis.

ADVERTISEMENT

"Di Ciamis ada nilai gotong royong yang sangat tinggi. Yang mana konsepnya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Memang sekarang budaya gotong royong itu mulai terkikis," kata Ilham.

Ilham menjelaskan, pada proses pembangunan benteng itu, semua masyarakat turut terlibat bahu membahu. Tidak memandang siapa dan latar belakang, semua untuk kepentingan masyarakat pasti dilaksanakan bersama.

Benteng Gunung Sawal itu, kata Ilham, dibangunnya juga dengan menggunakan material alami. Semennya menggunakan tanah merah yang dibakar dijadikan perekat dari susunan batu hingga menjadi benteng yang cukup kokoh.

"Sampai sekarang benteng itu masih bisa kita lihat, meski efektifitasnya sudah menurun dan tidak sesuai harapan," ungkapnya.

Mengendalikan hama atau satwa tidak hanya sekadar membangun benteng. Namun masyarakat harus memahami siklus ekologi dengan melakukan pengendalian. Harus memahami juga rantai makanan dan potensi kerentanan hama serta mengenai konservasi alam.

"Hal itu harus diketahui agar keseimbangan populasi satwa yang berpotensi hama terkendalikan," jelasnya.

Hal yang harus diperhatikan, seperti ketika membuka kawasan pertanian, perkebunan atau produksi jangan terlalu ke dalam hutan. Ada zonasi hutan yang harus dijaga sebagai hutan lindung. Pengendalian perburuan juga harus diperhatikan untuk menjaga kelestarian alam.

"Pengaplikasian green belt. Caranya dengan penanaman pohon buah-buahan hutan untuk persediaan pakan satwa. Hal itu untuk membantu satwa di hutan agar tidak masuk ke zona masyarakat," pungkasnya.

(sud/sud)


Hide Ads