Sungai Cikapundung memiiki panjang 28 kilometer dan 15,5 kilometernya membelah Kota Bandung. Sungai ini berhulu di sekitar Gunung Bukit Tunggul atau umumnya dari kawasan Lembang di utara Kota Bandung.
Nama Cikapundung berasal dari bahasa Sunda Ci Kapundung, yang artinya sungai (ci, cai: air) dan nama sejenis buah-buahan, kapundung atau kepundung (Baccaurea spp).
Cikapundung mungkin menyimpan banyak memori indah masa kecil sebagian warga Bandung di era 80-an. Namun Pegiat Sejarah, Muhammad Ryzki Wiryawan menuturkan sekitar tahun 1998-2000, Sungai Cikapundung kondisinya terlihat mulai memprihatinkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mulai banyak aktivitas peternakan dan pembangunan di kawasan Lembang, mulai ada pemukiman di Bandung Utara. Akhirnya kawasan Bantaran Cikapundung juga terpengaruh (mulai terbangun pemukiman padat penduduk). Ini sudah terlihat dari kawasan Curug Dago dan sampahnya sudah berada di sana (daerah atas). Ke daerah Baksil ya memang keadaannya sudah tercemar," kata Ryzki.
Padahal sekitar tahun 90-an awal, kebersihan Sungai Cikapundung terbilang masih terjaga. Di sekitar bantarannya memang sudah terdapat pemukiman penduduk, namun belum begitu banyak.
Saat itu juga wilayah Sabuga disebut masih merupakan areal persawahan. Cikapundung mengairi wilayah sawah tersebut dan mata air di sekitarnya juga menjadi sumber untuk kolam renang pertama Indonesia, Pemandian Tjihampelas.
"Air Cikapundung itu masih cukup sehat buat mengairi sawah itu. Dulu saya masih ngalamin waktu masih sawahan. Orang-orang yang berenang gitu ya, saya bisa melihat anak-anak tertawa berenang di sungai itu bukan pemandangan langka dulu," tutur Ryzki.
"Daerah Cihampelas juga masih wilayah Lembang Cikapundung. Di sana juga ada beberapa mata air, termasuk kawasan Babakan Siliwangi yang kemudian dijadikan kawasan konservasi. Nah salah satu mata airnya yang debit airnya cukup tinggi, akhirnya digunakan untuk mengairi Kolam Cihampelas. Itu salah satu pemanfaatan mata air di sekitar Cikapundung untuk sebagian masyarakat, salah satu kolam renang tertua dan menjadi favorit orang," lanjutnya.
Kondisi tersebut juga dibenarkan oleh Badig (47), Warga Gang Bukit Jarian, RT 6 RW 11 Hegarmanah, Cidadap, Kota Bandung. Sejak lahir, ia memang tinggal di pemukiman bantaran Sungai Cikapundung. Ia pun menceritakan sekitar tahun 1998, debit air sungai mulai berkurang dan airnya sudah tak sejernih dulu lagi.
"Dulu itu setelah berenang, mohon maaf ya, celana dalam kami saat dicuci berwarna hijau dan seperti ada kunyahan rumput yang nyangkut juga. Jadi sungai itu sudah tercemar kotoran hewan dari kawasan Lembang, kemudian warnanya tidak jernih lagi ada sampah, ujungnya daerah Bojongsoang itu sudah penuh tumpukan sampah," kenang Badig.
Di awal tahun 2000, sosialisasi mulai digalakkan Pemkot Bandung terkait dampak buang sampah ke sungai. Wilayah yang paling parah terdampak ialah di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Wiwin (51), Ketua RW 08, Hegarmanah, Cidadap, Kota Bandung mengatakan warga setempat mulai sadar tak membuang sampah ke sungai tahun 2002.
"Tahun 2002 kita deklarasi setop buang sampah ke sungai. Jadi mulai dari situ clear, ada petugas yang mengangkut sampah kita juga. Terus kita mulai belajar memisahkan sampah itu kurang lebih tahun 2007, tapi susah sekali ya sampai sekarang juga masih mungkin 40 persen," cerita Wiwin.
Bentuk Komunitas Bebersih Sungai
Baru pada tahun 2010, Wiwin dan beberapa perempuan di lingkungannya membentuk sebuah kelompok untuk bebersih Sungai Cikapundung yang bernama Bugasil, atau Ibu-ibu Gang Siliwangi. Waktu itu Wiwin tak sendiri, sudah ada sekitar 42 kelompok di bantaran sungai Kota Bandung juga terbentuk dengan misi yang sama.
Laman World Bank pada tahun 2012 juga sempat menyoroti aksi positif Wiwin cs di komunitas Bugasil. Tertulis bahwa mayoritas pencemaran sungai tersebut dari limbah domestik, industri, pertanian, dan peternakan.
"Perusahaan Daerah Air Minum di Bandung mengeluarkan Rp 28 milyar untuk menghasilkan air minum dari sungai-sungai dengan kondisi seperti Sungai Cikapundung," tulis laman World Bank tahun 2012.
Wiwin bercerita bahwa sejak Deklarasi Cikapundung Bersih di era Wali Kota Dada Rosada dan Wakil Walkot Ayi Vivananda, Bugasil yang awalnya sebagai gerakan pecinta alam semakin aktif bebersih Cikapundung.
Ia pun menunjukkan potretnya bebersih sungai bersama dengan warga setempat. Menurutnya, saat itu kegiatan bebersih sungai setiap hari Sabtu jadi hal yang menyenangkan sekaligus sosialisasi paling efektif.
"Nah, makanya ketika ada orang yang bilang, itu yang buang sampahnya orang Cikapundung, orang pinggir kali, kita marah. Karena kita sudah merintis tidak buang sampah dari dulu. Kita juga yang maju mengusulkan Teras Cikapundung (pembangunan 2013-2015), supaya tidak terbengkalai," cerita Wiwin.
"Kita dulu nggak digaji, makan udunan botram (patungan makan bareng), giat bebersih sungai itu seminggu dua kali dengan pak Ayi. Dulu dia tuh gencar sekali dan ikut turun ke kita. Sampai akhirnya tahun 2015 ya ada pak Ridwan Kamil itu bantaran ditata, bangun Teras Cikapundung, sama ada petugas sendiri ada Gober sama Jurig Cai namanya," lanjut Wiwin.
Bergeser turun dari wilayah tempat tinggal Wiwin ialah kawasan tempat tinggal Badig di RW 11. Di sana, Badig menceritakan sekitar tahun 2010-2013 betapa serunya melakukan sosialisasi dan bebersih sampah. Meskipun memang aksi ini harus konsisten dilakukan dan sudah terlalu banyak titik di sekitarnya yang jadi sumber pencemaran.
"Kalau di wilayah saya, kita biasa kukuyaan atau tubing, jadi pakai dua ban satunya untuk di badan satunya untuk karung sampah, kita ngarung sungai sambil ambil sampah. Jadi kita edukasinya pakai cara rafting, arung jeram, jadi warga juga sungkan buang sampah karena sungai itu ada aktivitas dan mereka juga ikut nyebur," kenang Badig.
"Saya juga dengan komunitas Cikapundung pernah coba bersihkan dari hulunya, di Bukit Tunggul itu kan, di sana kotornya luar biasa. Banyak kotoran hewan, binatang, rumput liar, sisa pertanian, sampah juga ada. Dari situ kita pasang tubing di daerah situ, kemudian biasa bebersih seminggu sekali. Lama-lama warga setempat ikutan," lanjut dia.
Sungai Cikapundung Mulai Ditinggalkan
Sungai Cikapundung yang melintas di Jalan Siliwangi ini mulanya terpotret sebagai aliran sungan dengan tumpukan sampah dan kumuh. Sebab di bagian bantaran, ada sekitar 108 jiwa yang menghuni bangunan permanen. Rata-rata mereka sudah menempati rumah di tanah milik negara itu selama puluhan tahun.
Beragam upaya kemudian mulai dicoba Pemkot Bandung seiring dengan bergantinya era kepemimpinan. Salah satunya di sejumlah bagian, Sungai Cikapundung juga telah dipasangi trashrack untuk menjaring sampah.
Di era kepemimpinan Ridwan Kamil dan Oded M Danial, aktivitas komunitas warga tak lagi ramai. Emil, begitu sapaan Ridwan Kamil, membentuk tim khusus untuk membersihkan dan mengontrol Sungai Cikapundung yakni adanya Gober untuk mengangkut sampah warga dan Jurig Cai untuk bebersih sungai.
"Saya waktu itu bilang ke Kang Emil, ya sudah kalau pemerintah punya petugas, kami serahkan kebersihan sungai ke bapak. Tapi lambat laun semakin sepi, pengawasannya nggak terlihat rutin. Jadi kita bukan nggak peduli lagi ya dengan sungai, tapi sudah ada yang mengurus. Dari situ lah kegiatan kami di Sungai Cikapundung sudah sangat jarang, paling kalau melihatnya kotor, kita yang malu jadi kita bersih-bersih kapan kita sempat," cerita Wiwin.
Warga bantaran sungai kemudian mulai direlokasi. Butuh waktu tak sebentar untuk membujuk warga setempat bersedia direlokasi ke Rusun Sadang Serang yang terletak di belakang Pasar Sadang Serang.
Lahan kosong bekas pemukiman warga tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH), Teras Cikapundung. Pada 27 oktober 2013, Emil dan Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Mohammad Hasan meletakkan batu pertama untuk revitalisasi Sungai Cikapundung Babakan Siliwangi.
Pembangunan sempat mangkrak selama dua tahun karena alotnya membujuk warga setempat pindah. Sampai akhirnya revitalisasi Sungai Cikapundung rampung pada tahun 2015.
Di awal pembukaan Teras Cikapundung, warga setempat ramai berdatangan. Ada yang olahraga, sekedar nongkrong, atau membeli jajanan di warung milik warga sekitar yang kala itu baru dibuka pada tahun 2018.
Namun lambat laun Teras Cikapundung kehilangan pamornya, apalagi setelah pandemi. RTH ini semakin sepi pengunjung dan wajahnya sempat terlihat tak indah lagi.
"Dulu waktu awal dibuka tahun 2018 saya jualan, rame banget. Sehari bisa dapat Rp1-3 juta, sekarang itu aktivitas sudah nggak ada, pandemi semuanya sepi, ini juga sempat kumuh dulu nggak terurus," kenang Ugi (34), salah satu pedagang di Teras Cikapundung.
"Sekarang itu paling rame Rp200-300 ribu. Kalau harian mungkin Rp100 ribu, dulu pernah sepi banget cuma dapet sehari Rp30 ribu atau malah nggak ada. Jatuh jauh banget pemasukan," lanjutnya.
Ditambah dengan komunitas warga yang biasanya giat bebersih, lambat laun telah mati suri. Badig menceritakan tak ada lagi aktivitas di Sungai Cikapundung baik pagi, siang, atau pun malam hari. Sungai itu kini sepi dan tak diperhatikan lagi.
"Warga sampai saat ini masih ada juga yang kucing-kucingan buang sampah di situ, misalnya rumahnya di bantaran bawah sementara truk sampah itu di atas gang, dia nggak mau ke atas jadi dia buang ke sungai, belum lagi limbah pabrik. Debit air juga sudah menurun karena ada pipa PDAM yang ambilnya dari Cikapundung. Jadi buat kukuyaan pun itu sudah nggak bisa," kata Badig.
Gai Suhardja dalam buku The Future of Ideas Wisata DAS Cikapundung, menuliskan bahwa Sungai Cikapundung mengalami kekurangan debit air pada saat musim kemarau. Sementara masalah pencemaran masih terus terjadi seperti adanya sampah plastik, tinja manusia, kotoran sapi, dan limbah lainnya.
"Masalah terbesar di balik aliran Sungai Cikapundung adalah masalah sosio-kultur yaitu pola hidup manusia yang sudah membudaya dengan membuang sampah ke sungai, karena memang sungai yang sudah tampak kotor penuh sampah sehingga dianggap menjadi hal yang biasa untuk dilakukan. Mereka belum dapat memikirkan bahwa nun jauh di muara Sungai Cikapundung di Citarum, sampah-sampah ini terakumulasi hingga berton-ton jumlahnya," tulis Gai dalam bukunya.
Kini, di era pemerintah Penjabat (Pj) Wali Kota Bandung, Bambang Tirtoyuliono ingin kembali merevitalisasi Teras Cikapundung. Pantauan detikJabar sejak Minggu (19/5) sampai Selasa (21/5) pengecetan dan perbaikan RTH itu dilakukan oleh tim BBWS dan Pemkot Bandung.
Seperti diketahui, Bambang punya beberapa misi baru yakni optimalisasi objek wisata dan sentra industri fesyen di Kota Bandung. Salah satunya kawasan BBWS Teras Cikapundung dapat di-reoptimalisasi.
"Kami meyakini, pemerintah, masyarakat, juga komunitas, punya cita-cita dapat menikmati suasana di Teras Cikapundung. Pekan depan, kawasan ini akan di-reoptimalisasi. Tujuannya supaya bisa dinikmati kembali oleh semua orang," kata Bambang, Minggu (12/5/2024) lalu.
(aau/sud)