Senandung Kehidupan di Sungai Cikapundung Bandung

Senandung Kehidupan di Sungai Cikapundung Bandung

Sudirman Wamad - detikJabar
Kamis, 29 Des 2022 19:00 WIB
Sungai Cikapundung tempo dulu.
Sungai Cikapundung tempo dulu (Foto: Istimewa).
Bandung -

Sungai Cikapundung bagian sejarah dari kehidupan masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya. Sungai yang membelah Bandung ini pada zaman dulu menjadi sumber kehidupan masyarakat. Sungai ini menjadi tempat bercengkrama hingga pemanfaatan untuk sumber daya listrik dan lainnya.

Namun, wajah Sungai Cikapundung berganti. Yang dulu memberi kehidupan, kini seakan dicampakkan. Sungai Cikapundung tak lagi digunakan untuk sumber kehidupan. Salah satunya di kawasan pinggiran Sungai Cikapundung di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan. Masyarakat ogah menggunakan air sungai untuk kebutuhan MCK (mandi, cuci, kakus). Sungai hanya dimanfaatkan sebatas media pembesaran ikan melalui keramba.

Dari data yang diterima detikJabar, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung menyebut indeks kualitas air sungai di Kota Bandung masuk kategori buruk pada 2021, yakni sebesar 47,5. Rinciannya adalah 21 sungai berstatus tercemar ringan, dan tiga sungai berstatus tercemar sedang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pegiat Komunitas Aleut Bandung Ariyono Wahyu Didjajadi mengatakan Sungai Cikapundung menjadi sumber kehidupan masyarakat Bandung. Airnya masih jernih kala itu.Tak sedikit warga yang berenang, memanfaatkan sungai untuk MCK, hingga berbisnis laundry.

Pria yang akrab disapa Kang Alex itu juga menerangkan perlahan kualitas air sungai terus menurun. Namun, pada 1980-an, masih ada masyarakat yang berenang.
"Sampai 1980-an masih dimanfaatkan warga untuk berenang, beberapa teman saya dulunya berenang juga. Ya walaupun kualitas airnya menurun, jadi harus bersih-bersih lagi setelah berenang," kata Alex saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (29/12/2022).

ADVERTISEMENT

Alex juga bercerita tentang warga Kota bandung yang memanfaatkan air Sungai Cikapundung untuk laundry. Hal ini dibuktikan dengan munculnya Kampung Pangumbahan. Kampung ini dulunya berada di sekitar Babakan Ciamis. Namun, jejaknya kini telah hilang. Alex mengatakan cerita Kampung Pangumbahan itu menjadi bukti kebermanfaatan Sungai Cikapundung di masa lalu.

"Kata Haryoto Kunto, di situ ada banyak dobby, dobby itu tempat laundry atau penatu. Laundry ini juga ada di beberapa sungai lain, seperti Cidurian. Sekarang jejak Kampung Pangumbahan ini sudah tidak ketahuan," ucap Alex.

Mengutip dari situs resmi Citarum Harum, Sungai Cikapundung merupakan sub-DAS dari DAS Citarum seluas sekitar 434,43 Km persegi, meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Sungai ini berhulu di sekitar Gunung Bukit Tunggul atau umumnya dari kawasan Lembang atau Bandung Utara.

Alex mengatakan nama Cikapundung itu sendiri berasal dari Ci dan Kapundung. Ci bermakna cai atau air, sedangkan kapundung merupakan nama pohon sejenis menteng.

Sementara itu, situs Citarum Harum juga menyebut pemanfaatan sungai ini utamanya sebagai drainase di Kota Bandung dan objek wisata. Terdapat sejumlah objek wisata di sepanjang aliran sungai ini seperti air terjun Curug Omas, Curug Dago, Kebun Raya, Kebun Binatang, taman dan lainnya. Selain itu juga sebagai penyedia air baku terutama di bagian hulu.

Ada dua pembangkit yaitu di Bengkok (3x1050 KW) danDago (1x 700 KW). Di sisi lain, terdapat masalah di sepanjang aliran sungaiCikapundung terutama di bagian hilir, meliputi Kota Bandung yang dipenuhi pemukiman, perdagangan, dan lain-lain yang memanfaatkan fungsi dari sungai tersebut.

Senandung Bahagia di Cikapundung

Selain bercerita soal pemanfaatan Sungai Cikapundung, Alex juga bercerita tentang masa lalu Cikapundung yang menanggalkan memori indah. Salah satunya dalam memoar Us Tiarsa yakni 'Basa Bandung Halimun', Alex menceritakan dalam memoar itu Us Tiarsa menuliskan pengalamannya saat berenang di Sungai Cikapundung.

"Cerita saat kecil yang berenang di kawasan Kebonkawung, Babakanciamis, kawasan dekat dengan pabrik KINA. Dia menunjukkan tempat-tempat yang aman untuk anak kecil berenang, tempat yang bahaya karena terlalu dalam," ucap Alex.

Alex mengungkapkan dalam memoar itu menceritakan tentang pemanfaatan Sungai Cikapundung di kawasan Tamansari, Babakanciamis, Wastukencana dan sekitarnya pada 1950-an. Selain dari tulisan Us Tiarsa, Alex juga menceritakan tentang kisah percintaan Inggit Garnasih dengan Haji Sanusi atau Kang Uci.

Kang Uci merupakan cinta pertama inggit Garnasih. Alex mengatakan kala itu, keluarga di sekitaran tepian Sungai Cikapundung masih memanfaatkan aliran sungai untuk kebutuhan MCK. Termasuk keluarga Inggit.

Kang Uci kerap memberikan hadiah kepada Inggit, tepatnya saat Inggit mandi di Sungai Cikapundung. Kang Uci punya cara yang unik. Mengantarkan hadiah melalui aliran sungai.

"Kang Uci mengirim hadiah menggunakan perahu, perahu yang dibuat dari buah kawista. Isi buahnya dikeruk, kemudian diisi hadiah," ucap Alex.

Inggit dan Kang Uci menikah. Kang Uci merupakan suami kedua Inggit. Begitupun sebaliknya, sebab perkawinan pertama Kang Uci kandas. Kemudian menikah dengan Inggit.

"Pada 1980-an, Sungai Cikapundung juga masih dimanfaatkan tuna wisma. Mereka yang tinggal di pinggiran sungai," ucap Alex.

Sementara itu, Agus (54) warga RW 15 Kelurahan Tamansari menggelengkan kepala saat menjelaskan soal kondisi Sungai Cikapundung yang kotor. Agus mengingat saat masih kanak-kanak. Ia kerap berenang dan masih banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai untuk mencuci dan mandi. "1980-an masih jernih. Pas tahun 1990-an sudah mulai keruh tuh," kata Agus.

Agus menceritakan masyarakat yang awalnya air sungai bergeser ke sumur. Perubahan aktivitas ini terjadi periode 2000. Lambat laun masyarakat mulai menggunakan PDAM. "Sudah tidak ada sama sekali yang pakai sungai. Apalagi sungainya kotor. Sudah tidak bagus lah," ucap Agus.

Sungai Cikapundung yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini berubah. Interaksi warga dengan Sungai Cikapundung tak lagi erat. Kendati demikian, Agus mengatakan warga kampung sekitar sungai aktif kerja bakti sebulan sekali.

"Ya harapannya tentu bisa jernih lagi. Tapi kayaknya sulit, soalnya sampah datang terus dari atas. Airnya juga keruh," kata Agus.

Halaman 2 dari 2
(sud/mso)


Hide Ads