Fenomena pungutan liar (pungli) sedang merebak di banyak tempat wisata di Jawa Barat. Pungutan ini tak jarang disertai aksi pemaksaan bahkan kekerasan.
Ujung-ujungnya, akibat ulah segelintir "oknum", masyarakat lain yang betul-betul bekerja dengan halal dan penuh etika di sekitar tempat wisata itu dirugikan, karena pengunjung lambat laun merasa malas untuk datang kembali.
Baca juga: Wisata Nyaman Tanpa Pungli |
Padahal, hakikat pariwisata, sebagaimana akar kata itu dalam bahasa Sansekerta "pari" yang berarti berulang-ulang, dan "wisata" yang berarti berkunjung ke suatu tempat, adalah kunjungan yang berulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena pungli saat ini berwujud dalam beragam bentuk. Ada yang meminta secara langsung, ada yang modusnya getok harga parkir mahal, atau biaya parkir yang berulang-ulang padahal di satu lokasi wisata yang sama.
Pungli sendiri, meski sedang merebak saat ini, bukanlah fenomena baru. Pungli ada sejak lama. Lalu, bagaimana asal usulnya?
Dari Bahasa Cina
Pungli ternyata bukan sekedar akronim dari pungutan liar. Namun, ditemukan pula dalam bahasa Cina yang maknanya tidak jauh berbeda dengan praktik pungli saat ini.
Soedjono Dirdjosisworo dalam "Pengantar Ilmu Hukum" (Grafindo, 2003) menjelaskan bahwa di dalam dalam bahasa Cina, kata "Pung" berarti persembahan, sementara kata "Li" berarti keuntungan. Dua kata ini jika disatukan berarti mempersembahkan keuntungan.
Kepada siapa? Hakikat persembahan, tentu saja dari yang lebih lemah kepada yang lebih kuat. Dari korban kepada pelaku.
Kamus Besar Bahasa Indonesia daring menjelaskan lema pungli. Yaitu, "meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim: oknum yang ~ sopir angkutan kota bertambah banyak"
Jonathan J. Rampengan, dkk. dalam sebuah paper berjudul "Tinjauan Hukum Mengenai Pungutan Liar oleh Aparat Pemerintah yang Terjadi di Masyarakat", di Universitas Sam Ratulangi menjelaskan, secara umum pungutan liar adalah kegiatan meminta sejumlah uang atau barang yang dilakukan dengan tidak tertata, tidak berizin resmi, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari aparat penegak hukum.
Dengan demikian, pungli merupakan pungutan yang tidak mempunyai landasan hukum. Rampengan meneruskan, pelaku pungli selalu menyertakan kekerasan atau ancaman terhadap korban.
Berkaitan dengan tempat wisata, pemerintah sejatinya telah menarik retribusi jasa wisata. Yaitu, pungutan resmi yang dibebankan kepada pengunjung tempat wisata, dengan maksud, selain sebagai pendapatan asli daerah (PAD), juga untuk perbaikan fasilitas wisata di tempat tersebut.
Jika retribusi di dalamnya telah mencakup semua fasilitas yang didapatkan wisatawan, maka tidak perlu lagi membayarkan sejumlah uang di luar itu. Jika masih ada yang harus dibayar, boleh jadi itu adalah retribusi liar alias pungli.
Dilakukan Oknum Aparat hingga Rakyat
Jika menelusur asal usulnya, pungli adalah perilaku "oknum" aparat, semua jenis aparat, baik aparatur sipil maupun aparat penegak hukum. Hal ini terjadi sebagai celah dari panjangnya rantai birokrasi.
Sebagai contoh, dahulu kala, jika seorang warga ingin mengurus berkas kependudukan seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, dan lain sebagainya, nyaris selalu harus mengantre dan perlu waktu cukup lama.
Hal ini dimanfaatkan oleh oknum aparat untuk memungut sejumlah uang sebagai "ongkos"agar pengurusan berkas-berkas itu menjadi cepat. Celah ini, tidak hanya dimanfaatkan aparat, namun juga dimanfaatkan warga yang lebih berani sebagai lapangan kerja baru, yaitu menjadi calo.
Calo bekerja sama dengan oknum aparat dalam perbuatan yang sama. Akhirnya, rakyat tidak punya banyak pilihan. Mengurus sendiri waktunya lama, mengurus via calo harus merogoh uang besar.
"Pelajaran" tentang mudahnya memungut uang dengan kerja yang ringan itu kemudian menjadi sesuatu yang membudaya di dalam sendi kehidupan masyarakat. Tak terkecuali di tempat wisata.
Namun, ada sejumlah alasan yang lebih rinci, mengapa Pungli bisa terjadi di masyarakat. Sebagaimana dijelaskan Frans Eutimus Tarigan dalam skripsi berjudul "Kajian Hukum tentang Penanggulangan Tindak Pidana Pungutan Liar di Kawasan Pariwisata Pemandian Air Panas Sidebuk-debuk Kabupaten Karo", di Universitas Medan Area (2023).
Frans menjelaskan ada dua aspek yang menjadi sebab terjadinya pungli. Pertama, aspek pribadi; Kedua, aspek organisasi.
Aspek Pribadi
Menurut Frans, aspek pribadi dari para pelaku pungli menjadi sebab mereka melakukan perbuatan pidana yang bersinggungan dengan Perpres nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar itu:
1. Lemahnya iman dan takwa. Orang yang berada dalam kondisi keimanan dan ketakwaan yang lemah, sangat mudah sekali untuk melakukan tindakan kejahatan, seperti melakukan pungutan liar.
2. Gaya hidup yang konsumtif. Dalam menjalani hidup, orang konsumtif cenderung mengikuti arus kehidupan kebanyakan orang.
3. Malas atau tidak mau bekerja. Sikap seperti ini menyebabkan orang akan mencari jalan praktis untuk memenuhi kebutuhan hidup.
4. Hilangnya sifat syukur. Yaitu, selalu merasa tidak pernah puas terhadap apa yang mereka dapatkan.
5. Penghasilan yang kurang mencukupi. Ini boleh jadi karena kurangnya lapangan kerja dan kelemahan ekonomi suatu negara. Sebagian orang putus asa dalam mencari nafkah sehingga menjadi jalan pintas.
6. Desakan kebutuhan ekonomi. Ini menjadi salah satu faktor penyebab pungutan liar yang paling menonjol. Yaitu, keinginan setiap orang untuk memenuhi standar ekonomi. Ingin mengejar standar ekonomi orang lain.
7. Pengaruh lingkungan. Hidup akan baik secara otomatis jika kita hidup bersama dalam lingkungan yang baik dan sebaliknya.
Aspek Organisasi
Selain dari faktor internal yang menyelimuti pribadi pelaku pungli, ada pula faktor organisasi yang merupakan faktor eksternal. Ini lebih kepada tauladan para pemimpin kepada rakyatnya. Frans menjelaskan:
1. Kurangnya sikap keteladanan pemimpin, yakni pemimpin tentunya berfungsi sebagai suri tauladan bagi bawahan atau pegawainya.
2. Tidak adanya kultur organisasi yang benar, kejanggalan dalam pengelolaan birokrasi dapat mengganggu kinerja organisasi, instansi, atau lembaga.
3. Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai, mengingat masih banyaknya para pejabat dan pegawai, yang tidak memahami sepenuhnya bagaimana mereka bekerja di posisi mereka.
4. Lemahnya pengawasan internal, untuk membangun dan memperkuat
birokrasi.
5. Lemahnya penegakan hukum, dapat dilihat dari kurang tegasnya oknum aparat penegak hukum.
(orb/orb)