Gempa Selatan Jawa Barat berkekuatan M 6.2 yang berpusat di Garut dinilai berpotensi memberikan peringatan akan adanya sumber gempa lain di wilayah itu. Gempa tersebut, bisa saja terjadi selain sumber gempa megathrust yang punya karakteristik menimbulkan bencana tsunami.
Pakar gempat ITB Prof Dr Irwan Meilano dalam keterangannya mengatakan, ada karakteristik sumber gempa yang merusak selain megathrust setelah gempa Selatan Jabar terjadi. Ini diakibatkan karena telah terjadi gempa di lokasi yang mirip dengan lokasi bencana pada 27 April 2024 tersebut.
"Gempa (27 April 2024) terjadi di bagian dalam dari lempeng yang masuk, bukan di bidang atasnya. Gempa di dalam lempeng memiliki beberapa karakteristik yang berbahaya. Salah satunya, lokasi lebih dekat dengan daratan sehingga potensi untuk merusak lebih besar. Berbeda dengan megathrust yang lebih selatan (lebih jauh dari daratan)," kata Irwan sebagaimana dikutip detikJabar, Rabu (1/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB itupun menyampaikan potensi peringatan yang harus mulai dimitigasi dari sekarang. Sebab, potensi gempa itu bisa terjadi kapan saja selain megathrus yang berdampak menimbulkan bencana tsunami.
"Gempa yang kemarin itu merupakan sumber gempa lain dan memberikan dampak kerusakan yang signifikan," terangnya.
Sementara mengenai durasi gempa yang terasa lama di sejumlah wilayah Kota Bandung, ia menjelaskan salah satu faktornya karena lapisan tanah di Kota Kembang yang lunak.
"Ini karakteristik yang khas dari Kota Bandung karena dibangun dari sedimen, ada sedimen danau dan sungai yang menambah durasi dari goncangan. Kalau belajar dari gempa tahun 2009, bahkan ada beberapa kerusakan yang terjadi di bagian utara Kota Bandung. Gempanya di selatan, di selatan Bandung tidak terdampak tapi di utara Bandung yang seharusnya lebih jauh justru mengalami dampak. Itu karena karakteristik lokal yang ada di beberapa wilayah Kota Bandung," tuturnya.
Saat ini, di Indonesia, terdapat dua teknologi pendeteksi tsunami. Pertama, berbasiskan deteksi gempa bumi dan kedua, melalui verifikasi kenaikan muka air laut.
"Kalau kedua instrumentasi tersebut berjalan realtime, maka kita bisa mendeteksi tsunami dengan sangat baik," katanya.
Irwan pun menyampaikan terkait potensi gempa di Indonesia. Ia mengatakan, masyarakat perlu diedukasi untuk memahami kondisi rumah saat terjadi bencana gempa bumi.
"Apakah rumah sudah cukup baik untuk menahan goncangan gempa? Di beberapa daerah, kualitas bangunannya kurang dipersiapkan untuk itu. Kita tidak perlu panik. Kita harus tetap menyadari bahwa sangat mungkin di waktu yang tidak kita ketahui kita akan mengalami gempa," ujarnya.
Selain itu, masyarakat perlu untuk memahami potensi risiko goncangan di lingkungan sekitar dan evakuasinya. "Evakuasi baru bisa dilakukan setelah goncangan selesai. jika diperlukan evakuasi, seperti kalau ada bagian rumah yang rusak, maka kita harus tahu lokasi evakuasi," katanya.
Di sisi lain, pemerintah perlu untuk meningkatkan literasi kebencanaan masyarakat dengan program-program yang relevan. Pemerintah pun harus konsisten menerapkan perencanaan pembangunan yang mulai mengatur potensi bencana, seperti membuat zona-zona kebencanaan secara khusus.
(ral/orb)