Makna 'Hana Nguni Hana Mangke' Pada Naskah Amanat Galunggung

Makna 'Hana Nguni Hana Mangke' Pada Naskah Amanat Galunggung

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Senin, 25 Mar 2024 07:30 WIB
Gunung Galunggung yang menjadi bagian sejarah tak terpisahkan dari Tasikmalaya.
Gunung Galunggung yang menjadi bagian sejarah tak terpisahkan dari Tasikmalaya. (Foto: Faizal Amiruddin)
Tasikmalaya - Gunung Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya yang megah dan tanah gunung api yang subur untuk pertanian telah memberikan penghidupan bagi manusia Tasikmalaya sejak dulu hingga sekarang.

Pohon-pohon enau yang dapat disadap niranya tumbuh di kaki Galunggung. Olahan nira menghasilkan gula merah berkualitas, terukur dari kadar glukosanya yang bagus.

Namun, kawasan subur dengan kontur berpasir itu juga mengundang "investasi" masuk dan pasirnya dikeruk sehingga lingkungan mengalami kecenderungan rusak.

Padahal, pada masanya dahulu, kawasan 'Kerajaan Galunggung' itu adalah kawasan yang tidak boleh terjamah kerusakan. Sebab, sebelum berdiri sebagai sebuah kerajaan, dialah sebuah tempat keramat yang disebut 'Kabuyutan'.

Dalam naskah 'Amanat Galunggung' (Kropak 632) dari Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut, disebutkan kehebatan dan kekayaan Kabuyutan Galunggung. Siapapun yang di kemudian hari menguasai kabuyutan tersebut, maka akan berjaya.

"Asing iya nu meunangkeun kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya heubeul nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi"

Artinya :

"Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi" (Atja & Saleh Danasasmita, 1981).

Namun, bukan sekedar informasi mengenai 'kekayaan' yang potensial di Galunggung, naskah Amanat Galunggung juga mengisyaratkan keharusan hidup yang berkelanjutan. Sehingga untuk tujuan tersebut, muncul ungkapan 'Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké' di dalam naskah itu.

Sekilas Naskah Amanat Galunggung

Situs Balai Bahasa Jawa Barat menjelaskan, naskah Amanat dari Galunggung adalah naskah Sunda Kuno yang berasal dari Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut.

Naskah ini terdiri atas tiga belas halaman dan tiap halamannya terdiri atas empat baris tulisan, ditulis dengan menggunakan huruf Sunda Kuno dan berbahasa Sunda Kuno yang menggunakan bahan tulis dari daun nipah.

Naskah ini dikumpulkan oleh JLA Brandes dan kemudian disimpan di Perpustakaan Nasional dengan kode koropak 632. Tak ada kata 'Amanat Galunggung' dalam naskah tersebut. Namun, dinamai 'Amanat dari Galunggung' oleh penelitinya disesuaikan dengan isi naskah tersebut yang berbentuk nasehat dari Rakeyan Darmasiksa, Raja Pajajaran yang memerintah pada tahun 1175-1197 kepada anak cucu dan keturunannya untuk berperilaku baik.

Pos Pengamatan Gunung GalunggungPos Pengamatan Gunung Galunggung Foto: Faizal Amiruddin/detikJabar

KF Holle, CM Pleyte, dan R.Ng. Purbacaraka adalah yang mula-mula meneliti naskah ini. Mereka berjasa dalam mengalih-aksarakan tulisan pada naskah tersebut ke aksara latin.

Atja dan Saleh Danasasmita melanjutkannya hingga selesai mulai dari transkripsi dan transliterasi ke dalam bahasa Indonesia disertai dengan keterangan dan tafsiran tentang naskah, teks, dan konteks isinya.

Hasil penelitian mereka diterbitkan pada tahun 1981 oleh Proyek Pengembangan permuseuman Jawa Barat dan kemudian diterbitkan pula oleh Proyek Sundanologi tahun 1987.

Naskah ini juga menguatkan keberadaan Kabuyutan Galunggung yang kemudian menjadi Kerajaan Galunggung, berkelindan dengan adanya prasasti Geger Hanjuang di Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya yang menjadi bukti Kerajaan Galunggung itu.

Apa itu Kabuyutan?

Pada tata ruang wilayah Kerajaan Sunda, ada wilayah khusus yang disebut Dewasasana yang secara harfiah berarti tempat semayam para dewa. Ini berupa permukiman yang dihuni kaum agamawan Hindu-Budha.

Pada Dewasasana ada dua bagian: Kabuyutan dan Kawikuan. Kabuyutan adalah tempat suci dan dikeramatkan sebagai area khusus untuk memanjatkan doa-doa dan persembahan dan diurus hanya oleh beberapa pendeta saja. Kawikuan merupakan tempat para wiku atau biksu.

Kawikuan sangat mungkin adalah permukiman kaum agamawan, mereka tinggal bersama-sama di tempat sepi, di lereng lereng gunung atau di tengah hutan. Demikian ditulis Agus Aris Munandar dalam "Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda", Jurnal Berkala Arkeologi, Vol. 14 No. 2, 1994.

Munandar menyebutkan bahwa dimungkinkan pada setiap Kawikuan ada pula kabuyutan-nya. Namun, ada pula kabuyutan mandiri, dalam arti kabuyutan yang tidak terikat pada sebuah Kawikuan.

Kabuyutan yang mandiri itu di antaranya Kabuyutan Galunggung, yang diduga berada di Leuwisari, di sekitar Gunung Galunggung.

"Ada juga kabuyutan yang berdiri sendiri sebagai tempat yang dikeramatkan, misalnya Kabuyutan Galunggung yang disebutkan dalam naskah Amanat Galunggung (Danasasmita dkk., 1987:125) dan Kabuyutan Pakuan seperti yang disebut dalam naskah Bujangga Manik (Noorduyn,1982: 419). Pada masa itu kabuyutan tentunya cukup banyak, tapi hanya disebutkan beberapa saja dalam karya sastra Sunda Kuna," tulis Munandar.

Belum diketahui bagaimana bentuk pasti kabuyutan itu, namun menurut Munandar, selayaknya tempat suci pemujaan para dewa, kabuyutan diduga kuat berupa bangunan yang didalamnya ada batur tunggal dan punden berundak. Di bagian teratas bangunan itu, ada sasaran pemujaan berupa lingga-yoni atau arca-arca lainnya.

'Hana Ngungi Hana Mangke'

Ada sebuah ungkapan di dalam naskah Amanat Galunggung yang menawarkan kesadaran utuh mengenai bagaimana seharusnya manusia mengingat masa lalu untuk mempersiapkan masa depan.

"Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna, (hana guna) hana ring demakan..."

Artinya :

"Ada dahulu ada sekarang, Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya, ada jasa ada anugerah."

Atja dan Saleh Danasasmita memberi catatan, kata 'mangké' bisa diartikan 'sekarang' atau 'nanti'. Ungkapan ini seperti memberi pelajaran tentang sebab-akibat.

Manusia yang saat ini ada adalah karena dilahirkan oleh generasi terdahulu dan disiapkan lahan hidupnya dari alam yang terjaga. Selanjutnya, ada manusia sekarang, tentu ada manusia nanti. Sebab ada jasa, maka ada anugerah. (yum/yum)



Hide Ads