Selepas menjadi gubernur Jawa Barat, 1970-1975, Solihin Gautama Purwanegara lebih banyak menghabiskan waktu di kampung. Bertani. Tapi kemudian datang kabar dari keluarga di Bandung ada surat dari Presiden Soeharto. Ketika dia pulang ke Bandung, diketahui kalau dirinya diminta menjadi Sekretaris Pengendali Operasi Pembangunan (Sesdalopbang) menggantikan Bardosono.
"Dia sebetulnya belum lama jadi Sesdalopbang tapi sudah terlibat sebuah kasus," kata Aki Ihin, demikian kami menyapa saat bertandang ke kediamannya, 5 November 2014.
Rupanya di rumah sudah menunggu Leonardus Benyamin (LB) Moerdani. Kala itu dia menjabat asisten intelijen Hankam. Benny menyarankan Solihin agar menolak jabatan itu. Alasannya, keadaan di Bina Graha sangat rumit dan tidak mungkin dia kuasai.
"Saya betul-betul tersinggung oleh ucapannya. Karena kamu menyarankan begitu, maka saya terima," kata Aki Ihin mengulang percakapannya dengan Benny.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Perkenalan Solihin dengan Soeharto tidak berlangsung di medan tempur. Tapi di tempat bencana alam. Pada Januari 1969 Gunung Merapi meletus. Saat peristiwa itu terjadi Solihin menjabat Gubernur Akademi Militer di Magelang. Dia mengerahkan para taruna akademi dan truk untuk membantu warga mengungsi. Suatu hari, Soeharto datang meninjau lokasi pengungsian dan bertemu dengannya. Ia menyapa, "Solihin ya?"
Dari perjumpaan itu, Soeharto menyarankan agar dirinya mau menerima menjadi gubernur Jawa Barat kalau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memilih. Dia tidak boleh menolak karena masih aktif di ABRI. "Padahal saya sebetulnya lebih suka pensiun," kata Aki Ihin.
Bagi Solihin, pada awalnya Soeharto merupakan Presiden terbaik di dunia. Terutama saat ia memperjuangkan Indonesia menjadi negara swasembada beras. Soeharto dikenalnya sebagai sosok yang detail sekali kalau urusan teknis penanaman, pemeliharaan, panen padi. Pokoknya dia lebih tahu daripada penyuluh pertanian.
Sebagai pribadi Soeharto itu sederhana, biasa makan apa saja dan siap tidur dimana saja. Saat kemalaman di Sukabumi, misalnya, dia tidak menolak saat ditawari tidur di restoran ikan mas.
Begitu juga saat ke pedalaman Banten, Pak Harto tak keberatan tidur di rumah warga yang tak punya kamar mandi. Cuma dia sempat tanya, "Lihin, besok kita nongkrong dimana?". Maksudnya, buang air besarnya dimana. "Ya kita sama-sama ke sungai saja, Pak," jawab Solihin.
Jadi, pagi-pagi Soeharto sudah menyelempangkan handuk di pundak. Begitu juga Solihin. Keduanya turun ke sungai untuk BAB, juga mandi. "Presiden mana di Indonesia kayak gitu. Hebatlah...! " kata Aki Ihin seraya mengangkat jempol kanannya.
Setiap sidak (blusukan), ia melanjutkan, yang mendampinginya biasanya cuma Sekretaris Militer Tjokropranolo, ajudan, dan dua prajurit polisi militer. Mobilnya pake Toyota Hi-Ace.
Oknum Dagang Kopi
Sebagai Sesdalopbang, tugas utama Solihin adalah mempelopori pembangunan di daerah-daerah yang kedodoran. Dia mengumpulkan data daerah mana saja yang kedodoran di bidang pangan, penanggulangan penyakit menular, pendidikan, macam-macam. Solihin bisa meminta bantuan para direktur jenderal dari departemen terkait. Biasanya saya bertemu Presiden pada pagi dan sore hari.
Dia pernah dikirim ke Timor Timur untuk mengecek operasi militer. Dari pengamatan dan temuan di lapangan kondisinya menyedihkan dan memalukan baginya sebagai orang yang pernah menjadi tentara. Kenapa? Karena oknum-oknum pimpinan ABRI di sana bukan perang, tapi berdagang kopi. Tapi laporan yang dia sampaikan oleh Soeharto didiamkan saja. Mungkin karena ia juga terbiasa mengumpulkan duit. Sewaktu menjadi Panglima Diponegoro Soeharto sudah menjalin bisnis dengan Liem Sio Liong atau Om Liem.
Selain kasus di Timtim itu, Solihin juga mulai tidak sreg dengan sikap Soeharto yang membiarkan anak-anaknya berbinis. "Saya boleh katakan, sesungguhnya arsitek bisnis anak-anak itu ya Soeharto sendiri. Anak-anaknya cuma pelaksana saja," ujarnya.
Waktu Tutut (Siti Hardijanti Rukmana) membuat jalan tol, Soeharto memanggil Menteri Keuangan. Dia memerintahkan agar memberikan kredit tambahan kalau ada kekurangan pendanaan proyek. Lalu anaknya yang lain, seperti Sigit dan Bambang diarahkan untuk berbisnis di bidang ini-itu.
"Saya ini bukan 'yes man'. Soeharto juga tahu kalau saya sudah tidak suka pada beberapa kebijakan dia. Ya, sudah saya say goodbye," kata Aki Ihin.
Dia terlalu sayang pada bangsa ini. Jadi kalau siapapun yang merugikan akan ditanggapinya sebagai lawan. Total Solihin menjadi Sesdalopbang selama 16 tahun.
"Sejak berhenti sebagai Sesdalopbang, saya tidak pernah bertemu lagi dengan Soeharto. Sewaktu sakit sampai meninggal pun tidak lagi ketemu," tutur Aki Ihin.
Materi ini dicuplik dari Majalahdetik edisi 10-16 November 2014.
(jat/yum)