Umurnya tak lagi muda, badannya sudah tak kekar dan tenaganya sudah tak sekuat dulu, meski demikian semangat untuk mencari nafkah tak pernah surut bagi Abah Ahum.
Pria berumur 70 tahun, kelahiran Tasikmalaya dan sudah puluhan tahun menetap di Kota Bandung ini sibuk mengayunkan kipas anyaman bambu ke ketan yang dibakar di atas bara arang.
Sesekali, Ahum juga gunakan capitan besi di tangan kanannya untuk membalikkan ketan yang dibakarnya. Jika ketan tersebut sudah berwarna kekuningan, maka sudah waktunya balik kembali agar tidak gosong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikJabar berkesempatan berbincang dengan Ahum yang kerap mangkal di dekat Pasar Cicadas. Namanya sudah sohor di kawasan tersebut dan siapapun yang mencari ketan bakarnya, warga di sekitar Pasar Cicadas pasti mengetahuinya.
Ahum mengisahkan, lulus dari bangku sekolah dasar dia langsung memantau ke Kota Bandung untuk mengadu nasib. Sebelum berjualan ketan bakar, Ahum sempat naik becak untuk mendapatkan modal untuk berjualan ketan bakar.
"Sudah lama jualan, dari sejak tahun 1972 di Cibuntu. Narik becak dulu untuk modal, narik becak 18 hari dapat modal untuk jualan ketan bakar dan mengontrak rumah, dulu ngontrak rumah Rp 30 ribu per tahun, satu rumah," kata Ahum, Senin (4/3/2024).
![]() |
Empat tahun kemudian, dari Cibuntu Ahum beserta keluarga pindah ke wilayah Punclut sekitar tahun 1976 dan profesinya masih jualan ketan. Menurutnya, pada masa itu usaha ketan bakarnya semakin meningkat dan memiliki karyawan.
"Dulu pas di Cimbuleuit, memiliki karyawan sebanyak 30 orang, jualan pakai baki diasong dari saya Rp 36 perak dijual Rp 50 perak, jualan di setiap pasar sampai Terminal Cicaheum," ungkap Ahum.
Pahit manis berjualan ketan bakar sudah dirasakannya, hingga akhirnya saat ini Ahum hanya berjualan sendiri menggunakan gerobak kesayangannya yang setiap hari setia menemaninya mencari nafkah bagi keluarga.
Menurut Ahum, penjualan ketan bakar semakin hari semakin berat, hal itu akibat meroketnya harga beras ketan di pasaran.
"Naik justru, dari Rp 14 ribu hingga Rp 22 ribu per kilogramnya. Dampak usaha? ya berdampak," ujarnya.
Akibatnya, Ahum harus berpikir keras bagaimana usahanya tetap jalan tanpa harus menaikkan harga. "Menjual tetap Rp 5 ribu, tapi sekarang agak ditipisin. Bentuk tetap, tapi agak tipis," ucapnya.
Dia terpaksa menipiskan ketan bakarnya, dibanding harus mengurangi kualitas rasa dan mencapur beras biasa ke ketan bakarnya. "Saya jual ketan murni, enggak dicampur, beda dengan yang lain ditambah beras," ucapnya.
Menurut Ahum, dalam sehari dia bisa menghabiskan 16 kilogram ketan untuk dijadikan ketan bakar. Selain itu, keuntungannya dalam menjual ketan bakar kini juga berkurang.
"Keuntungan Rp 200 ribu sehari, sebelum naik bisa lebih," ujarnya.
Ahum juga menyebut, kenaikan harga beras ini pernah terjadi di era Presiden Soeharto yang dimana kenaikan terjadi akibat harga pupuk mahal. Menurutnya, kenaikan harga beras dan beras ketan yang saat ini terjadi juga karena harga pupuk naik.
"Tahun 1991 zaman Presiden Soeharto. Pupuk naik, sekarang juga yang jadi alasan pupuk naik," pungkasnya.
(wip/yum)