Mahasiswa yang terdiri dari 11 kampus di Sukabumi menggelar aksi Kamisan di dua tempat berbeda. Tak hanya mengkritisi persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) mereka juga menyinggung adanya kemunduran demokrasi di masa Pemilu 2024.
Mahasiswa melakukan refleksi tentang kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada tahun 1997-1998. Dalam merefleksikan kasus yang terjadi pada zaman orde baru itu, mahasiswa membagikan selebaran kertas yang berisikan sejarah dan nasib sejumlah aktivis korban penculikan 1998 kepada warga dan pengguna lalu lintas di depan Universitas Nusa Putra, Cisaat, Kabupaten Sukabumi.
Koordinator Lapangan Aliansi Mahasiswa Nusaputra Arsal Ardiana Yusuf mengatakan, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998 terjadi pada masa pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) untuk periode 1998-2003.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa itu, terdapat dua agenda politik besar. Mulai dari Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden RI kedua, Soeharto.
"Kasus penculikan dan Penghilangan orang secara paksa menimpa para aktivis, pemuda dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru," kata Arsal kepada detikJabar, Kamis (11/1/2024).
Dia menilai, mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong kewibawaan negara. Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan.
"Untuk itu, kami melakukan kegiatan ini. Iya, tujuannya untuk merefleksikan agar masyarakat tahu bahwa ada kasus penculikan pada zaman orde baru di tahun 1997 dan 1998. Di sisi lain orang-orang ini masih belum ditemukan sekitar 13 orang," ujarnya.
Refleksi tersebut, kata Arsal, dinilai sangat penting karena berimbas dari persoalan negara. Untuk itu, masyarakat harus tahu tentang bagaimana perkembangan negara.
"Iya, mereka yang diculik itu merupakan aktivis yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa itu. Mereka adalah orang-orang yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah," sambungnya.
Aksi Kamisan juga digelar di wilayah Kota Sukabumi, tepatnya di Jalan R Syamsudin SH, Kecamatan Cikole. Sama halnya di Universitas Nusa Putra, mereka juga membagikan selebaran kertas yang berisi kajian potensi adanya ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia.
Koordinator aksi Kamisan, Triswanto mengatakan, melihat perkembangan demokrasi saat ini cendrung menurun. Hal itu dibuktikan dalam indeks demokrasi Indonesia sejak 2021.
"Ini jelas menunjukkan pengurangan signifikan salah satunya kebebasan sipil. Saat ini dirasakan masyarakat atau mahasiswa adanya ketakutan dalam menyampaikan kritik dan pendapatnya," kata Triswanto.
Dia menilai, sistem demokrasi Indonesia pada pemilu hari ini telah dinodai dengan putusan MK yang cenderung sangat politis. "Saya kira semua masyarakat juga mengerti dan tahu apa yang terjadi, sehingga ini menjadi catatan bagi demokrasi kita, tanda kemunduran demokrasi kita," ucapnya.
Kemudian terkait peristiwa pelanggaran HAM, Presiden Jokowi pada awal tahun 2023 menyebut ada 12 pelanggaran berat yang terjadi. Termasuk di dalamnya kasus 1965, peristiwa penembakan misterius 1982 dan rangkaian kejadian 1998, sehingga itu perlu diselesaikan.
"Pada catatan itu, kita mendorong terus dan langkah upaya konkrit dari pemerintah untuk menuntaskannya. Intinya kita mereflesikan kembali dan mengingatkan masyarakat atas peristiwa dan kondisi demokrasi hari ini," tutupnya.
Untuk diketahui aksi Kamisan ke-801 ini diikuti oleh 11 kampus. Di antaranya Universitas Nusa Putra, Politeknik Sukabumi, STH Pasundan, Stisip Syamsul Ulum, IAIS, Stisip Widyapuri Mandiri, STAI Syamsul Ulum, Universitas Linggabuana, Universitas Bina Sarana Informatika dan Yapkesbi.
(mso/mso)