Sorotan DPRD Jabar Usai Longsor Terjang Subang

Sorotan DPRD Jabar Usai Longsor Terjang Subang

Rifat Alhamidi - detikJabar
Senin, 08 Jan 2024 20:30 WIB
Warga memberi makan anaknya di posko pengungsian Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang, Subang, Jawa Barat, Senin (8/1/2024). Berdasarkan data BPBD Jawa Barat, sebanyak 49 jiwa warga terdampak longsor di Subang terp[aksa mengungsi semenatar akibat retakan tanah di area pemukiman yang disebabkan longsor yang terjadi pada Minggu (7/1/2024). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/YU
Longsor di Subang (Foto: ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI).
Bandung -

DPRD Jawa Barat ikut menyoroti bencana longsor yang menerjang Kampung Cipondok, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang, Subang. Bencana tersebut diketahui mengakibatkan 2 orang meninggal dunia.

Sekretaris Komisi II DPRD Jabar Yunandar Eka Perwira menyatakan, bahwa Subang secara geografis, punya potensi besar dalam pengembangan industri seperti pariwisata, pertanian hingga perdagangan. Namun dalam catatannya, Pemkab Subang ditengarai abai memperhatikan kelestarian lingkungan.

Salah satunya terjadi, kata Yunandar, saat Pemkab Subang pernah mengajukan alih fungsi lahan yang luasannya mencapai puluhan ribu hektare. Usulan ini, kata dia, sempat mencuat dalam pembahasan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW Jawa Barat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini salah satu contoh ketika keseimbangan itu tidak dijaga. Karena saya terakhir ingat betul ketika membahas RTRW, itu Pemkab Subang justru ingin mengalihfungsikan lahan-lahan yang tadinya kawasan hijau menjadi kawasan misalnya peruntukan industri. Mereka mengajukan puluhan ribu hektar, dan itu salah satu yang mendorong ketidakseimbangan lingkungan," katanya, Senin (8/1/2024).

Subang sendiri saat ini diketahui memiliki sejumlah kawasan wisata alam yang menjadi pusat kunjungan wisatawan di Jabar. Meski tidak bisa menampik pengembangan wisata tak terhindarkan, namun Yunandar menaruh catatan di dalamnya agar keseimbangan alam bisa tetap terjaga.

ADVERTISEMENT

"Karena di satu sisi, pembangunan itu butuh keseimbangan. Itu sebabnya dibikin di RTRW yang di dalamnya Jawa Barat harus punya lahan hutan minimal 30 persen dari seluruh daratan yang ada. Dan itu bukan sekedar hutan, tapi kita membangun kelestarian alam supaya sustainable, kehidupan itu semakin maju, berkembang, sejahtera, dan semakin mendukung kesejahteraan masyarakatnya," ungkapnya.

Setelah bencana alam ini, Yunandar menginginkan Pemkab Subang bisa berbenah. Pengembangan wisata alam di sana harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan supaya bencana seperti longsor di Cipondok tak terulang di hari kemudian.

"Wisata tidak harus berarti merusak atau merubah fungsi dari alam yang ada. Ini (longsor) terjadi menurut saya, yang namanya longsor itu, bukit-bukit yang seharusnya menjadi hutan, kawasan hijau, menjadi resapan air, itu sudah tidak difungsikan lagi seperti itu," tuturnya.

"Untuk pariwisata memang bisa. Tapi sebelumnya untuk yang tidak ramah lingkungan, misalnya di daerah ketinggian itu yang ditanam malah tanaman-tanaman semusim, seperti sayuran, tanaman pangan yang sifatnya cepat dipanen, itu sebenarnya merusak keseimbangan alam. Padahal kalau kita berpikir, era pariwisata sekarang yang banyak orang mencari yang betul-betul nature. Bisa seharusnya di situ dibangun hutan wisata, jadi tidak hanya sekedar resort, sekedar tempat wisata yang menarik orang untuk datang, tapi juga membuat lingkungannya semakin lebih baik," paparnya.

Kemudian, Pemkab Subang sendiri harus tegas dalam hal penindakan pelanggaran tata ruang. Sesuai Perda RTRW, kawasan hutan di setiap daerah di Jabar harus mencapai 30 persen dan lahan konservasi lainnya mencapai 45 persen.

"Saya berharap di Subang, termasuk di wilayah lainnya, silakan dikembalikan ke target kita secara provinsi bahwa 30 persen itu untuk hutan dan 45 persen harus tutupan lahan nonbudidaya, termasuk untuk konservasi, peninggalan sejarah sampai arkeologi," kata Yunandar.

Kemudian, ia berharap masyarakat di sekitar kawasan yang rawan potensi bencana bisa mendapat edukasi dari pemerintah. Bukan hanya soal mitigasi dalam menghadapi kebencanaan, namun pendidikan tentang kesadaran untuk bisa menjaga kelestarian alam.

"Tapi dalam jangka panjang memang harus ada edukasi, harus ada pemahaman betapa pentingnya keseimbangan alam itu. Karena kalau kita terus hanya menanggulangi kebencanaan, bicara mitigasi, tanggap darurat, ini sebenarnya sangat riskan dan merugikan kita. Soalnya kita hanya memelihara kebencanaan ini yang di satu sisi kita lalai lalai dalam menjaga lingkungan," pungkasnya.

(ral/mso)


Hide Ads