Cerita Matinya Kereta Api Jatibarang-Indramayu gegara Penumpang Gelap

Lorong Waktu

Cerita Matinya Kereta Api Jatibarang-Indramayu gegara Penumpang Gelap

Sudedi Rasmadi - detikJabar
Sabtu, 18 Nov 2023 11:30 WIB
Potret eks Stasiun Lobener yang menghubungkan kereta api relasi Jatibarang-Indramayu.
Potret eks Stasiun Lobener yang menghubungkan kereta api relasi Jatibarang-Indramayu. Foto: Istimewa
Indramayu - Staatstramweg Djatibarang-Indramajoe, demikianlah Belanda meyebutnya pada masa Hindia Belanda dulu. Kini, jalur dalam kota yang menghubungkan Stasiun Jatibarang Indamayu atau sebaliknya itu hanya tinggal kenangan. Bahkan, beberapa peninggalannya nyaris sulit ditemukan.

Jalur kereta api itu berjarak sekitar 18 sampai 19 Kilometer, dengan lebar sepur 1.067 milimeter. Sepanjang jalur ini terdapat tiga stasiun, dari Jatibarang, Lobener dan Stasiun Indramayu. Jalur yang dibangun oleh perusahaan Perkeretaapian Negara atau Staatsspoorwegen (SS) itu merupakan satu ambisi Hindia Belanda untuk memudahkan distribusi atau pengangkutan barang dan komoditas pangan.

Seperti tertulis pada buku Sejarah Singkat Kereta Api dan Trem Hindia Belanda (Korte geschiedenis der Nederlandsch-Indische spoor- en tramwegen) jalur kereta Jatibarang-Indramayu selesai dibangun pada 15 September 1912. Tepatnya empat bulan setelah jalur Cikampek-Cirebon sepanjang 137 kilometer beroperasi.

"Untuk Jatibarang Indramayu panjang lintas kurang lebih 18 Kilometer, lebar sepur sama 1.067. Ada tiga stasiun ya, stasiun Jatibarang, Lobener, dan Indramayu. Berdiri tahun 1912. Awal mulanya untuk transportasi barang," kata Manajer Humas PT KAI Daop 3 Cirebon Ayep Hanapi saat kegiatan Napak Tilas pada Rabu (15/11/2023).

Selain tiga stasiun, sepanjang trem itu juga terdapat sejumlah tempat pemberhentian atau dikenal dengan halte. Sedikitnya terdapat 11 tempat termasuk stasiun besar. Yaitu mulai dari Jatibarang, Pawidean, Kalikrasak, Lobener, Karangsembung, Pekandangan, Cimanuk, Indramayu Pasar, Pasaranyar, Karangturi, dan Indramayu.

Sepanjang perjalanan, atau sekitar tahun 1950 pascakemerdekaan, pengelolaan mengalami peralihan dari penggabungan antara DKARI dan Staatsspoorwegen (SS)/VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA). Bahkan pada 25 Mei, Djawatan Kereta Api (DKA) kembali berganti nama menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Di mana, pada masa itu, lambang Wahana Daya Pertiwi mulai diperkenalkan. Yaitu lambang yang mencerminkan transformasi perkeretaapian Indonesia sebagai sarana trasnportasi andalan untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa tanah air.

Sebelum akhirnya jalur lintasan Jatibarang Indramayu itu nonaktifkan pada 21 Juli 1973. Pemerintah kembali mengubah struktur atau nama perusahaan perkeretaapian tersebut dari nama Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang diperkirakan terjadi pada tahun 1971.

Tidak dijelaskan secara rinci waktu pemanfaatan ganda antara transportasi barang dan penumpang itu terjadi. Namun kata Ayep, ketika itu perusahaan mengalami kerugian yang cukup signifikan. Di mana, kuantitas jumlah penumpang atau operasional relatif meningkat namun jauh tidak sebanding dengan hasil pendapatan.

"Awal mulanya untuk alat transportasi barang tapi ada lama kelamaan untuk penumpang. Kemudian rugi dan 1973 ditutup. Betul (penumpang gelap). Jadi penumpang banyak tapi tidak mendapatkan pendapatan," jelas Ayep.

Sementara untuk jalur lintas Jatibarang Karangampel, juga terdapat beberapat tempat pemberhentian. Di mana jalur ini dibangun pada tahun 1920 dan mulai beroperasi pada tahun 1926. Namun, operasional di jalur ini tidak berlangsung lama. Karena saat itu Belanda mengalami depresi ekonomi pada tahun 1932, jalur tersebut kembali dinonaktifkan.

Cerita Penumpang Gelap KA Tempo Dulu

Potret eks Stasiun IndramayuPotret eks Stasiun Indramayu Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar

Berdasarkan cerita di masyarakat, bahwa benar saat jalur lintasan kereta api dari stasiun Jatibarang menuju Indramayu bukan lagi sebatas moda transportasi pengangkut barang. Melainkan juga beberapa diantaranya turut melakukan pengangkutan penumpang.

Hal itu pun dibenarkan oleh Pamong Cagar Budaya dan Museum Disdikbud Indramayu, Suparto Agustinus. Kepada detikJabar, pria yang akrab disapa Tinus itu mengaku tidak pernah mengalami secara langsung momen keseruan menikmati perjalanan menggunakan kereta api di jalur tersebut.

"Jadi secara empiris belum pernah ya. Sebab kereta api itu kan mulai tidak beroperasi sekitar 1950-an otomatis saya belum lahir. Dan, mulai di tutup secara total itu tahun 1973, (tahun) 73 itu berarti kurang lebih saya berusia 2 tahun," kata Tinus.

Kendati demikian, ia kerap mendapat cerita baik dari orang tua serta beberapa saudara kandungnya. Bahwa benar dahulu ada kereta melintas di jalur Jatibarang ke Indramayu. Bahkan, kala itu banyak diceritakan tentang cara menumpang tanpa membeli tiket alias penumpang gelap.

Mulanya, selain hanya mengangkut barang, namun pihak perusahaan sempat memberlakukan penumpang orang. Terutama untuk meraka dari kalangan priyayi atau ningrat.

"Pada saat kalangan priyayi itu masuk gerbong kereta, banyak diikuti penumpang gelap. Kenapa disebut penumpang gelap, karena pada saat ditanya mereka tidak punya karcis," ucapnya.

Diceritakan Tinus, bahwa dulu memang banyak warga dari wilayah Jatibarang sekitarnya yang bekerja di Indramayu atau sebaliknya. Sehingga, dengan menjadi penumpang gelap mereka bisa lebih cepat untuk menuju tempat kerjanya.

"ada orang yang bekerja di sini (Indramayu) kan di sini ada pelabuhan tempat bongkar muat. Orang dari Jatibarang pada kuli kesini ada juga yang kuli panggul karena ada juga tempat penggilingan padi. Otomatis mereka mencari kerja di situ," ujarnya. (sud/sud)



Hide Ads