Beda Pendapat Mahasiswa Bandung soal Tugas Akhir Pengganti Skripsi

Beda Pendapat Mahasiswa Bandung soal Tugas Akhir Pengganti Skripsi

Hanifah Salsabila - detikJabar
Jumat, 01 Sep 2023 09:30 WIB
Portrait young asian creative business person working success project with team Business people weare casual suit outfit working happy action in modern Coworking space
Ilustrasi mahasiswa (Foto: Getty Images/primeimages)
Bandung -

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim baru-baru ini mengumumkan bahwa skripsi bukan satu-satunya opsi tugas akhir mahasiswa.

Keputusan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia nomor 53 tahun 2023, terdapat beberapa pilihan untuk mahasiswa menyelesaikan studinya.

Pada pasal 18 ayat (9) disebutkan bahwa selain skripsi, mahasiswa dapat mengerjakan proyek, prototipe atau bentuk tugas akhir lainnya untuk mencapai kompetensi kelulusannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepada detikJabar, sejumlah mahasiswa menyuarakan pendapatnya tentang kebijakan baru ini.

Galuh adalah mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung. Meskipun kebijakan ini terbilang baru bagi banyak mahasiswa, Galuh menyebutkan bahwa program studi yang ia tempuh memang sudah menerapkan ini. Alih-alih menulis skripsi, mahasiswa Desain Komunikasi Visual ITB harus menyelesaikan proyek berupa karya.

ADVERTISEMENT

"Jadi sebenarnya pas aku dengar skripsi kemungkinan akan dihapus atau digantikan dengan proyek masing masing sesuai jurusan masing-masing, ya sebenarnya udah kedengeran kayak jurusanku gitu. Jadi aku kayak oh ya this works i feel like, karena ya di aku emang harusnya gitu kan kita. Kalau dikasihnya skripsi instead of itu enggak bisa dipertanggung jawabkan," jelas Galuh.

Galuh yang merupakan seorang penerima beasiswa pertukaran pelajar dari program Indonesia International Student Mobility Awards (IISMA) juga membagikan ceritanya. Mahasiswi berambut merah jambu itu mengatakan bahwa, menurut dosennya di University of Adelaide, publikasi jurnal dan pengerjaan skripsi seperti yang diterapkan di Indonesia belum dalam kapabilitas mahasiswa strata satu (S-1).

"Jadi mereka tuh kayak, kayaknya kamu belum di level yang pantas untuk bikin untuk aiming for publishing jurnal deh dan emang that's very normal gitu loh di sana, malah kayak ya tidak dianjurkan gitu. Jadi aku setuju dengan sistem mereka kayak emang menurut aku S1 belum belum di level semendalam itu yang kita bisa ditargetkan untuk publish jurnal atau skripsi yang se-level itu gitu jadi, I agree, mending dijadikan project yang sesuai dengan jurusan masing masing gitu sih," jelas Galuh.

Selain Galuh, seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA) ITB bernama Ata juga mengamini pernyataan Galuh. Ata mengatakan bahwa memang sebaiknya mahasiswa bisa memilih bentuk tugas akhirnya, mengingat adanya perbedaan kompetensi tiap-tiap mahasiswa.

"Kalau menurut aku sih setuju aja sih. Soalnya kalau kayak kebijakan itu kita tuh niru kayak pendidikan di luar negeri, soalnya nggak nuntut juga kan, kalau bikin skripsi itu orang itu bisa di bidang itu," jelas mahasiswa Fisika itu.

Seorang mahasiswi Universitas Padjadjaran juga menuangkan pendapatnya pada detikJabar. Mahasiswi yang tidak ingin disebutkan namanya itu menyebutkan bahwa kebijakan ini cocok untuk program studi praktikal, seperti program vokasi. Namun, menurutnya, pihak universitas juga perlu bijak dalam menentukan bentuk tugas akhir tiap program studi.

"Karena di saat kebijakan ini memang bagus untuk prodi yang fokusnya lebih ke kompetensi praktis, menurutku sebaiknya kebijakan ini gak diterapin di prodi yang fokusnya ke sains," menurutnya.

Sementara untuk penerapan di program studi yang ia tempuh, yang berfokus pada media massa, Ia memiliki pandangan tersendiri.

"Saranku dikasih kuota aja, jadi ada sebagian mahasiswa yang TA-nya skripsi, ada sebagian lagi yang praktik. Karena kalau praktik semua, takutnya malah perkembangan kajian medianya makin melambat," ujarnya.

Melihat adanya beberapa opsi, ketiga mahasiswa ini memiliki pilihan berbeda. Galuh memilih proyek karya seperti sebagaimana program di Desain Komunikasi Visual ITB berjalan selama ini, sedangkan Ata memilih untuk membuat prototipe instrumentasi komputasi. Sementara itu, seorang mahasiswi Unpad yang memang memiliki minat terhadap penelitian, tetap memilih skripsi sebagai tugas akhirnya sebagai mahasiswa.

(yum/yum)


Hide Ads