Kisah asmara dua sejoli beda negara pernah bersemi di Gedung Linggarjati, Kabupaten Kuningan. Bangunan bersejarah ini menjadi saksi bisu terjalinnya hubungan percintaan antara seorang janda bernama Jasitem dengan pengusaha kaya raya asal Belanda yang disebut Tuan Tersana.
Dikisahkan, Tuan Tersana jatuh hati terhadap paras rupawan Jasitem. Padahal, perempuan ini hanyalah sosok sebatang kara yang tinggal dalam sebuah gubuk reyot di kawasan Linggarjati.
Uniknya, pertemuan antara keduanya secara tidak langsung ikut mewarnai rangkaian sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Sebab, gubuk reyot milik Jasitem nantinya menjadi tempat pertemuan delegasi Indonesia dengan perwakilan Belanda untuk membahas status kedaulatan bangsa ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi, hampir seabad Gedung Linggarjati berdiri, secuil cerita tentang ikatan sepasang kekasih itu hanya menjadi angin lalu dan jarang diketahui masyarakat luas. Bahkan mungkin segelintir orang saja yang setidaknya pernah mendengar nama Jasitem di balik tercapainya Perjanjian Linggarjati pada November 1946.
Singkatnya sosok Ibu Jasitem, seorang janda rupawan dari Linggarjati yang berhasil membuat Tuan Tersana terpesona ini hingga sekarang masih menjadi misteri. Terlebih, latar belakang hingga riwayat hidupnya pun tidak banyak yang mengetahuinya.
Untuk menguak siapa sebenarnya tokoh Jasitem ini, detikJabar telah mencoba menelusuri sejumlah arsip dan literatur yang berkaitan dengan sejarah berdirinya Gedung Linggarjati. Namun hasilnya ternyata nihil.
Sejumlah arsip digital yang dipublikasikan dalam situs website Belanda, misalnya perpustakaan daring milik Universitas Leiden tak sedikit pun mencantumkan riwayat hidup dari pasangan Tuan Tersana tersebut.
Begitu pun dalam artikel-artikel lawas yang termuat pada surat kabar lama, sosok Jasitem hanya disebut sebagai seorang janda yang berhasil memikat pengusaha Belanda. Kemudian gubuk huniannya bakal beralih kepemilikan dan fungsi, sampai akhirnya menjadi Gedung Linggarjati seperti sekarang.
Minimnya arsip yang mendokumentasikan lebih rinci soal sosok Jasitem ini dinilai wajar. Pasalnya, tak lama selepas dipinang Tuan Tersana, perempuan tersebut langsung dibawa ke Belanda.
Dari penuturan Staf Juru Pelihara Gedung Linggarjati, Toto Rudianto, Ibu Jasitem merupakan seorang janda yang awalnya tinggal di Sidang Laut, Cirebon. Kemudian pada 1918, dia pindah dan menetap dalam gubuk di kawasan Linggarjati.
"Asal Ibu Jasitem ini dari Sindang Laut. Mengutip dari ceritanya Pak Ruhyat, mantan koordinator di sini. Tinggal di sini Ibu Jasitem, di tempat kita berdiri yang pernah ditinggali. Ya namanya juga gubuk, mungkin karena suasana dan kondisi saat itu tidak sama dengan saat ini," kata Toto kepada detikJabar belum lama ini.
Sepengetahuannya, Jasitem tidak memiliki keturunan. Adapun sosok tersebut dapat tinggal seorang diri di Linggarjati, Toto menduga Jasitem tergolong kaum ningrat dan punya koneksi dengan para pamong desa. Namun hal tersebut masih sebatas asumsinya saja, terlebih karena minimnya informasi yang dapat menjelaskan bagaimana riwayat hidup dari Jasitem.
"Beliau bisa di sini karena katanya dahulu ditempatkan oleh pamong desa sini. Kalau dulu banyak tokoh-tokoh. Ada kemungkinan beliau dari kalangan ningrat. Mungkin juga ada kenalan di sini. Kita tidak tahu pasti. Suatu ketika mungkin beliau punya orang kenalan di sini," jelas Toto.
Kendati masih misteri, tapi Toto yakin jika rupa Jasitem pada saat itu sangatlah cantik. Buktinya, Tuan Tersana jatuh hati dan mau meminangnya.
Bila berkaca pada kompleksitas hubungan orang pribumi dengan kaum kompeni, kisah asmara Jasitem dan Tuan Tersana merupakan sesuatu yang langka. Apalagi, usai bertemu, keduanya memutuskan menjalin hubungan serius, deski status Jasitem hanya dikawin siri, istilah dahulu disebut gundik.
"Karena tidak punya keturunan, jadi cerita tentang silsilah keluarganya buntu. Ada kemungkinan paras dari Ibu Jasitem ini cantik dan menawan. Perempuan yang cantik, ayu. Sehingga membuat seorang pengusaha Belanda tertarik untuk menikahinya," tuturnya.
Pernikahan keduanya diperkirakan berlangsung pada 1921. Saat itu gubuk tua milik Jasitem diubah menjadi bangunan semipermanen. "Saya kurang tahu pasti menikahnya itu, yang jelas tahun 1921 mulai pemugaran," kata Toto.
Siapa yang disebut Tuan Tersana? Simak di halaman selanjutnya.
Tak hanya Jasitem, latar belakang Tuan Tersana sampai sekarang masih misteri. Adapun kisah-kisah berkembang hanya sebatas informasi sejarah yang tidak menjelaskan secara runtut mengenai pengusaha Belanda tersebut.
Bila mengacu pada riwayat berdirinya Pabrik Gula Tersana di Kabupaten Cirebon, terdapat dua kemungkinan, yaitu Tuan Tersana merupakan pekerja di pabrik tersebut. Kemudian dia juga dapat dikaitkan sebagai pejabat berpengaruh di Pabrik Tersana.
Dari penelusuran detikJabar lewat arsip digital peninggalan Hindia Belanda, sosok Tuan Tersana yang memiliki nama asli Margen ini tidak pernah tercantum pada catatan manapun. Alhasil, dugaan paling kuat bahwa dia adalah seorang pekerja.
Namun begitu, menurut Toto, sosok Tuan Tersana ini disebut sebagai pemilik Pabrik Gula. "Ibu Jasitem menikah dengan orang Belanda. Tuan Margen, yang oleh masyarakat sini disebut Tuan Tersana. Karena beliau pemilik Pabrik Tersana Baru di Cirebon sana," ungkap Toto.
Meskipun hanya sedikit catatan yang dapat menjelaskan siapa sebenarnya Tuan Tersana ini, faktanya orang Belanda tersebut tetap menjadikan Ibu Jasitem sebagai selirnya.
Kisah asmara yang terjalin di antara keduanya, setidaknya telah menjadi bumbu pemanis di balik perseteruan sengit para diplomat Indonesia pimpinan Sutan Syahrir dengan perwakilan Belanda dalam Perjanjian Linggarjati pada November 1946 silam.
Jasitem Meninggal di Belanda
Toto mengemukakan sekira tahun 1935, hunian milik Jasitem dijual kepada orang Belanda yang juga kaya raya bernama JJ van Os. Berkat tokoh tersebut, Gedung Linggarjati diperluas dan pernah menjadi bangunan paling megah pada masanya.
"Baru Van Os lah yang memperluas area ini. Bangunan ini dijadikan tempat peristirahatan keluarganya, semacam Villa. Van Os ini merupakan pemborong (kontraktor) kala itu. Dari sekian banyak rumah-rumah orang Belanda di kawasan ini, gedung inilah yang paling besar dengan luas 1.052 meter persegi dan jumlah kamar tidur delapan. Terbilang megah pada zamannya," imbuh Toto.
Pasca dimiliki Van Os, seiring berjalannya waktu, Gedung Linggarjati mulai beralih kepemilikan dan fungsinya. Kemudian saat ini telah menjadi bangunan paling bersejarah di Kabupaten Kuningan.
Untuk Tuan Tersana dan Jasitem, keduanya diketahui memilih hijrah ke Belanda. Toto menyebut mereka hidup bahagia sampai ajal memisahkan.
"Setelahnya menikah, kurang lebih lima tahun berikutnya di jual ke Van Os. Ibu Jasitem dibawa oleh suaminya ke Belanda dan meninggal di sana," tutupnya.