Tanah gersang mengelilingi reruntuhan bangunan tua yang berada di Cibunar, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Bangunan itu membentang panjang layaknya sebuah tembok dan fasad mirip jendela-jendela.
Di bagian atas terdapat beberapa kata, namun yang paling jelas terbaca hanya 'Tjiboenar.' Tak jauh dari tembok tersebut ada menara seperti bekas cerobong asap yang tingginya kurang lebih mencapai 30 meter.
Letaknya sangat strategis berada di pinggir jalan menuju tempat wisata Situ Gunung. Sehingga tak jarang tempat itu menarik perhatian wisatawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak banyak aktivitas di lahan depan dan belakang bangunan tersebut. Tanahnya kering hanya beberapa petak saja yang ditanami sayuran oleh warga sekitar.
![]() |
Bangunan tua itu bukan sembarang bangunan. Ia merupakan saksi bisu bagaimana perekonomian berjalan di Sukabumi termasuk adanya tragedi pembumihangusan akibat sentimen warga pada masa agresi Belanda.
Kisah pabrik tekstil Tjiboenar ini tak lepas dari sosok pendirinya yaitu Tjiong Boen Hok. Pria tersebut lahir di Cisaat pada 1891 dari orang tua bernama Gin Tjin Tjiong dan Sioe Nio Tan.
Pabrik tersebut dibangun pada Mei 1935. Mesin tekstil yang mereka gunakan diimpor langsung dari Jepang dengan nilai sekitar 15.000 gulden (NLG). Bangunan pabrik ini berdiri kokoh dan megah dengan jumlah pekerja mencapai 1.000 orang.
Boen tak sendiri saat membangun gedung ini. Dia dibantu anaknya Tan Hiat Tin. Tan membangun relasi dan bekerjasama dengan pabrik mesin asal Jepang. Saat itu, Tan berfikir jika kerjasama dengan Jepang akan lebih menghemat pengeluaran dibanding dengan perusahaan Eropa.
Keputusan itu membuat ketar-ketir pabrik tekstil yang dikelola oleh pengusaha Belanda. Media massa kala itu menyebutnya sebagai persaingan Jepang di Hindia Belanda.
Perjalanan pabrik tekstil Tjiboenar moncer beberapa tahun selanjutnya. Akhirnya, Boen mendirikan tiga cabang pabrik di beberapa tempat. Ketiga pabrik itu yakni Tjiboenar I di Kadudampit, Tjiboenar II di Kota Sukabumi (Jalan Pelabuhan 2), dan di Jakarta (daerah Jembatan Lima).
"Bahkan karena ketenarannya, pabrik ini seringkali menjadi lokasi wisata industri, misalnya menjadi tujuan tur industri rombongan yang dipimpin Van Huisvrouwen pada Mei dan November 1941," kata Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah kepada detikJabar, belum lama ini.
Irman mengatakan, industri tekstil di Sukabumi sebenarnya sudah sejak dahulu berkembang namun terbatas pada industri rumahan dengan peralatan sederhana sehingga produksinya pun terbatas. Pada masa itu, Cisaat hingga Kadudampit merupakan salah satu sentra tenun di Sukabumi, selain wilayah Baros dan Jampang.
Pascadibangunnya Pabrik Tekstil Tjiboenar, peta pertekstilan mulai berubah. Sukabumi menjadi sentra nasional yang mendukung kebutuhan tekstil di Hindia Belanda.
Kedekatannya dengan industri di Jepang juga melindungi pabrik ini ketika Jepang masuk. Bahkan, pemerintah Jepang meminta pabrik Tjiboenar untuk memasok seragam tentara Jepang.
"Pada tahun 1943, Boen Hok Tjiong ditunjuk menjadi Ketua Tekstil Nusantara, dan Pabrik Tekstil Tjiboenar menjadi pusat tekstil nasional," ujarnya.
Irman menceritakan, bangunan tua itu ternyata dibakar pada masa agresi Belanda. Menjelang keruntuhan Hindia Belanda, muncul banyak sentimen etnis dan ideologi di kalangan masyarakat terutama di daerah-daerah.
Pabrik Tekstil Tjiboenar yang dimiliki orang Tionghoa tak luput dari sasaran sentimen tersebut. Padahal banyak warga setempat yang menggantungkan hidupnya di pabrik itu.
Hal itu didukung oleh beberapa pemberitaan Priangan tahun 1937. Di dalamnya disebutkan, selain mampu meningkatkan kesejahteraan warga, Pabrik Tekstil Tjiboenar juga menjadi pendorong mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Sentimen etnis itu mulai terlihat pada Februari 1940. Saat itu ada dua pemuda Tionghoa yang merupakan staf pabrik Tjiboenar. Mereka sempat terlibat percekcokan dengan sekelompok pemuda yang berujung dengan penganiayaan.
"Seorang pemuda memukul wajah pekerja tersebut dengan batu sehingga tulang tengkoraknya patah. Singkat cerita, si pemuda kemudian dijatuhi hukuman enam bulan penjara," ucapnya.
Sentimen sebagian orang ini berlanjut ketika Jepang masuk ke Tanah Air. Pabrik Tekstil Tjiboenar dinilai mendukung aksi penjajahan Jepang. Namun, hal ini bisa diredam karena ketatnya penjagaan Jepang dan kebutuhan sebagian warga yang bergantung dari penghasilan buruh pabrik.
![]() |
Pasca kemerdekaan, sentimen itu sempat mereda mengingat banyak warga yang masih bekerja di Pabrik Tekstil Tjiboenar. Sedangkan para pejuang masih berfokus menghadang pasukan sekutu.
Namun tepat Juli 1947, muncul imbauan dari pejuang kepada masyarakat untuk membumihanguskan segala bentuk fasilitas agar tidak digunakan oleh pasukan Belanda. Akibatnya, pabrik, toko, dan gudang menjadi target aksi bumi hangus tersebut. Tak terkecuali Pabrik Tekstil Tjiboenar.
"Warga yang yang menuding pabrik itu sebagai simbol kolonialisme merasa mendapatkan amunisi. Ibarat api yang disiram bensin, warga berbondong-bondong menghancurkan dan membakar pabrik tersebut. Tak ayal, mesin-mesin buatan Jepang yang canggih pada masanya, hancur dilalap api. Bahkan, sebagian besar bangunan pun rata dengan tanah," ungkapnya.
Total kerugian saat itu diperkirakan mencapai 20 juta NLG. Ribuan warga juga terpaksa kehilangan pekerjaannya.
Saat itu Boen masih dapat bertahan. Tahun 1949 dia mengikuti sekolah tinggi tekstil di Enschede, Belanda. Kemudian ia melanjutkan perusahaan-perusahaannya (kecuali Tjiboenar, Kadudampit) hingga tahun 1950an.
Tahun 1953, ia melakukan konsolidasi semua anak perusahaannya di bawah satu manajemen. Sebelum kematiannya tahun 1955, Boen banyak melakukan aksi sosial dengan mendonasikan hartanya.
(iqk/iqk)