Nama SDSB atau Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah masih melekat diingatan Dede S, warga Kampung Mariuk, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, kabupaten Sukabumi.
Pria berusia 44 tahun itu benar-benar kecanduan untuk memasang empat buah angka hasil rumusannya sendiri. Kala itu tahun 1993, usia Dede masih 14 tahun menurutnya saat itu ia masih duduk di kelas 1 SMP. Empat angka miliknya tembus hingga mendapatkan hadiah sebesar Rp 2,5 juta.
"Tahun 1993, nomor yang tembus saya masih ingat 2678. Itu angka dapat saya menghitung sendiri istilahnya merumus, berdasarkan angka-angka yang sudah keluar sebelumnya kemudian saya mistik lagi," kata Dede, kepada detikJabar, Senin (10/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dede tidak ingat tanggal ia memasang nomor tersebut, ia hanya ingat saat itu bulan Februari di tahun 1993. Saat masih sekolah, ia berjualan es dan uang yang terkumpul ia sisihkan untuk memasang nomor peruntungan.
"Belinya di warung karena dulu kan tahun 1990 an itu banyak sekali toko, warung sampai matrial di Sukabumi yang menjual kupon SDSB. Uangnya Rp 1000, saya pasang empat angka sebelum masuk sekolah. Besok paginya sambil berangkat saya lihat di papan warung, ternyata angka saya masuk semua," kisah Dede.
![]() |
Dede girang bukan main, sambil menggenggam kupon miliknya ia bergegas ke warung tempatnya membeli kupon untuk menunjukan angka miliknya yang tembus. Saat itu juga ia menerima uang Rp 2,5 juta.
"Berasa jadi jutawan, saya belikan motor bahro (bodong) Rp 800 ribu Astrea Grand. Sisanya saya pakai traktir teman-teman. Ya alhasil dua hari langsung habis," kekehnya.
Dede mengaku mulai kecanduan kupon itu karena sering disuruh oleh kerabatnya. Ketika ada pertandingan bola yang ditayangkan televisi, Dede juga melihat kerap ada tulisan bahwa pertandingan itu dibiayai SDSB. Ia yang penasaran kemudian mulai coba-coba pasang sendiri dengan nomor hasil olahannya.
"Ya seperti apa ya rasanya, karena kan tahun-tahun itu legal bahkan resmi dikeluarkan oleh pemerintah kan memang begitu. Ya ngolah, ngamistik istilahnya ikut-ikutan sampai beli buku mimpi segala," ungkapnya.
"Namanya masih anak-anak ya, saya pasang juga sesuai uang seadanya jadi enggak pernah pasang besar. Setelah menang itu, ya keterusan pasang lagi tapi enggak pernah lebih dari Rp 1000," tutur dia menambahkan.
Undian Porkas dan SDSB ini menghilang seiring dengan jatuhnya Soeharto pada 1999 silam. Enam tahun kemudian sempat muncul akan diterbitkannya undian serupa, tapi dengan nama Kartu Pos Olahraga (KPO) yang dikelola PT Prima Selaras pada 2005. Tapi ide itu tenggelam.
Menteri Sosial saat itu, Bachtiar Chamsyah, menolak untuk memberikan izin undian berhadiah itu. Terlebih kala itu muncul gelombang penolakan dari mahasiswa dan ormas keagamaan yang menyatakan jika kupon berhadiah itu haram hukumnya karena bernuansa perjudian.
"Kalau banyak masalah seperti ini, sakit kepala saya. Kerjaan kita banyak," kata Bachtiar seraya terkekeh dan memegangi kepalanya saat ditemui di Istana Presiden, Jakarta, 19 September 2005.