Organisasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) menolak Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023. Mereka menilai aturan itu merugikan pekerja.
Diketahui, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI mengeluarkan peraturan yang mengizinkan pengusaha berorientasi ekspor memangkas upah pekerja atau buruhnya maksimal 25%. Di Jawa Barat, seribuan pabrik yang berorientasi pada bidang usaha itu pun diprediksi bakal ikut menerapkan kebijakan tersebut.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar Rachmat Taufik Garsadi menjelaskan, perusahaan di Jawa Barat memang didominasi pabrik yang berorientasi ekspor, terutama ekspor barang ke negara Eropa dan Amerika Serikat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak sekali, karena hampir sebagian besar yang ekspor itu dari Jawa Barat. Baru kemudian dari Jawa Tengah. Jumlahnya ada lah segituan (seribuan pabrik yang akan memangkas 25% gaji buruh)," kata Rachmat Taufik kepada detikJabar, Kamis (16/3/2023)
Menanggapi itu, Mochammad Popon Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi menilai pemerintah melalui Menaker RI melakukan preseden tidak baik terhadap penegakkan hukum yang berlaku saat ini, baik dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 maupun dalam Perppu Cipta Kerja. Dimana dalam UU, waktu kerja telah diatur 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja atau 40 jam dalam seminggu.
"Sehingga apa yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja ini yang memberi ruang pengusaha untuk bisa melakukan pengurangan upah dengan berkurangnya waktu kerja yang bukan atas kehendak pekerja atau buruh. Jelas akan membuat semrawut tata aturan hukum yang berlaku. Karena mana mungkin peraturan menteri bisa melanggar atau menabrak aturan hukum yang ada di atasnya," kata Popon dalam keterangan yang diterima detikJabar, Jumat (17/3/2023).
Popon menegaskan, dalam UU jelas bahwa ketika buruh tidak bekerja atau kurang waktu bekerjanya karena bukan alasan atau keinginan buruh sendiri atau karena keinginan perusahaan atau karena sesuatu yang bisa dihindari oleh pengusaha, maka pengusaha wajib membayar upah buruh tersebut.
"Bahwa selama ini pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja selalu memanfaatkan atau selalu menggunakan diksi krisis dan sejenisnya untuk memberi pembelaan dan pemihakan terhadap para pemilik modal atau pengusaha dengan melegalkan penindasan terhadap buruh melalui aturan yang dibuat yang jelas-jelas sangat merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha," ujarnya.
"Sehingga Kementerian Tenaga Kerja RI lebih cocok disebut Kementerian Pelindung Pengusaha karena produk kebijakan yang dikeluarkannya sangat minim sekali yang memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja dan faktanya selalu membuat legitimasi untuk melakukan pembenaran terhadap dilanggarnya hak-hak normatif buruh. Yang jelas secara hukum di atasnya sudah diatur dan semestinya pemerintah menjadi pihak yang menegakkan aturan atau UU yang dibuatnya sendiri, bukan malah menjadi alat legitimasi untuk menghalalkan pelanggaran terhadap hukum atau UU yang dibuat oleh pemerintah sendiri," paparnya.
Popon curiga Permenaker 5/2023 ini dikeluarkan berdekatan dengan bulan Ramadan. Kecurigaan yang disampaikan Popon, seolah memberi ruang pengusaha untuk melakukan pemotongan upah melalui pengurangan jam kerja.
"Saya curiga, jangan-jangan sengaja dibuat untuk menyusahkan buruh yang mayoritas muslim yang sebentar lagi bulan puasa dimana kebutuhannya meningkat. Baik pada bulan Ramadan, apalagi nanti mendekati lebaran, dan dengan pengurangan upah ini jelas akan mempengaruhi konsentrasi buruh yang mayoritas muslim dalam menjalankan ibadah puasa. Sehingga sangat berpotensi akan mengganggu kekhusyukan menjalankan ibadah puasa," ungkap Popon.
Aturan itu juga dinilai membuka konflik antara buruh dan pengusaha. Posisi buruh disebut Popon selama ini lemah dan semakin dilemahkan aturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri.
"Saya melihat pemerintah melalui Permenaker 5/2023 melempar ruang konflik ke buruh dan pengusaha, dimana kita tahu sendiri posisi buruh itu lemah dan dilemahkan oleh negara atau pemerintah. Dan ujungnya buruh berpotensi sebagai korban atau pihak yang dikorbankan pemerintah. Karena Permenaker 5/2023 ini jelas - jelas sangat merugikan kaum buruh, maka SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi menolak dengan tegas pemberlakuan Permenaker 5/2023 ini," tutur Popon.
"Karena kunci pemberlakuan dari Permenaker ini adanya kesepakatan, maka kami menghimbau kepada buruh khsusnya anggota dan serikat-serikat pekerja di perusahaan khususnya yang berafiliasi dengan SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi untuk tidak melakukan kesepakatan apapun yang berdampak pada pengurangan jam kerja yang berdampak pada pengurangan upah sebagaimana yang diatur dalam Permenaker 5/2023 tersebut," pungkasnya.
(sya/orb)