Wim LB Smet, bule Belgia yang tinggal di Pantai Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran harus beradaptasi dengan berbagai adat dan budaya Sunda setelah menikahi istrinya Han Han.
Pria kelahiran 1970 itu terbang dari negaranya Belgia ke Pangandaran untuk menikahi Han Han tahun 1999. Setelah menikah, Wim harus beradaptasi dengan keluarga barunya di Batukaras, terutama dalam hal komunikasi menggunakan bahasa Sunda.
detikJabar mendatangi rumah Wim pada belum lama ini di samping Sungai Cijulang yang bermuara ke Pantai Batukaras. Di villa miliknya, ia menyewakan beberapa kamar kepada wisatawan yang hendak berlibur ke Pantai Batukaras.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wim mengalami masa transisi kebudayaan setempat yang menuntutnya harus berbaur dengan warga mayoritas suku Sunda. Tinggal di Batukaras, Pangandaran, membuat Wim disebut Bule Sunda (Bulsun) karena ia fasih berbahasa Sunda.
Berikut ini, fakta-fakta Bule Belgia yang Menikah dengan Penduduk Pangandaran
1. Mualaf Saat Menikah
Sebelum menikahi Hen-Hen, Wim didampingi ustaz dan ulama di Batukaras untuk memasuki agama Islam. Tepat tahun 1999 sebelum menikahi Hen-Hen, Wim sudah memeluk agama Islam dan memiliki nama baru Wim Adam LB Smet.
Wim mengucapkan kalimat syahadat dibantu para tokoh ulama di Batukaras dan resmi masuk islam. Keluarga Wim di Belgia menyetujui keputusannya dan memperbolehkan memeluk agama islam.
2. Disunat Sebelum Menikah
Setelah memeluk agama islam Wim disunat dan memiliki cerita unik yang dialaminya sebelum melakukan prosesi sunat.
"Teman saya di Bandung melakukan sunat dengan usia yang tak anak-anak lagi, pasca disunat malah makin parah. Awalnya saya juga takut tapi melihat teman jadi gak percaya disunat di Indonesia saat itu," kata Wim.
Ia mengatakan memilih disunat di Belgia. Saat disunat, ia dibius total agar tidak merasakan rasa ngilu.
"Usia 27 tahun saya baru disunat waktu itu," ucapnya.
3. Pulang-Pergi Belgia-Indonesia
Dalam pernikahan pertamanya Wim masih sering pulang pergi ke Belgia karena pekerjaannya. Wim bekerja sebagai seorang fotografer.
"Awal nikah memang pulang pergi Belgia Indonesia, 5 bulan kerja, 7 bulan ke Indonesia. Karena dulu nukerin uang Belgia ke rupiah jadi banyak gepokan. Makannya awet," kata Wim.
Selain fotografer Wim pernah bekerja di toko bangunan, punya kafe hingga berbagai jenis usaha. Menurutnya saat ini berhenti bekerja diluar karena di Batukaras, Pangandaran sudah mempunyai villa yang bisa disewakan.
"Saya kira ini sudah lebih dari cukup," ucapnya.
4. Masih Berstatus WNA
Ada alasan kuat saat ini Wim memilih masih berstatus WNA tinggal di Indonesia dengan menggunakan Visa Kitap. Wim mengharuskan laporan setiap 5 tahun sekali kepada kedutaan Belgia di Indonesia.
Ia mengatakan tetap menjadi WNA karena ingin dipermudah saat pulang ke negara tercintanya di Belgia. Karena kata Wim, pengurusan administrasi jika sudah WNI masuk ke Belgia cukup dipersulit.
Meskipun masuk dalam KK bersama istrinya, tapi status Wim bukan kepala keluarga. Selain itu, statusnya sebagai WNA membuat Wim tidak lagi mau mempunyai anak. Ia hanya memiliki satu anak laki-laki saja. Menurutnya urusin administrasi saat punya anak sangat lumayan sulit administrasinya karena masih status WNA.
5. Didorong Jadi Ketua RT
Selama di Batukaras, Pangandaran, Wim tidak pernah mengikuti pesta demokrasi dari mulai Pilkades, Pilkada, Pilgub, Pilpres hingga Pemilu.
"Karena status WNA, saya tidak punya hak untuk memilih dalam pesta demokrasi," ucap Wim.
Ia mengaku baru terlibat pemilihan itu saat ada pemilihan Ketua RT dan RW di Batukaras. "Kalau pemilihan RT saya pernah, bahkan pernah dicalonkan juga saya," katanya.
6. Sulitnya Beradaptasi dengan Budaya Setempat
Han Han istri Wim, mengaku pernah dibuat pusing karena suaminya yang belum terbiasa beradaptasi dengan budaya setempat.
"Misalnya dia habis dari warung, ada warga yang bertanya basa-basi. Dia suka marah. Karena budaya di sana urusanmu urusanmu, urusanku urusanku. Suka pusing sendiri dia karena orang sini basa-basi. Sudah tau saya dari warung malah ditanya. Gitu kata dia," ucap Han Han.
Ia mengatakan sempat kaget saat warga dengan mudahnya datang ke rumah tanpa janjian dulu, bahkan makan.
"Kalau di sini kan mengajak orang makan di rumah itu hal biasa. Tapi menurut dia aneh. Karena di Belgia itu orang datang ke rumah itu harus janjian," ucapnya.
Selain itu Wim merasa aneh saat di Pangandaran begitu banyaknya acara hajatan atau syukuran warga.
"Kalau di sini selalu banyak pesta, apalagi hajatan tuh tiap hari pasti ada aja. Kalau di Belgia orang datang ke pesta atau hajatan itu bisa dihitung jari. Karena di sana pesta pasti intimate, keluarga dan rekan. Kalau di sini undangan harus satu desa," kata Wim.