21 Februari 2005, sedikitnya 157 nyawa melayang dalam tragedi longsor sampah di TPA Cireundeu. Namun diyakini sebetulnya masih banyak jasad-jasad pemulung dan pekerja TPA yang tertimbun sampah namun tak bisa ditemukan.
Kenangan pahit itu masih membekas di benak masyarakat Kampung Adat Cireundeu, salah satunya Yogi. Pria yang kini jadi tokoh pemuda dan pemandu wisata di Kampung Adat Cireundeu itu juga kehilangan kerabat dalam peristiwa nahas itu.
"Saya kehilangan teman dan saudara di situ. Banyak yang belum ditemukan, sedangkan yang sudah ditemukan langsung dikuburkan," kata Yogi saat berbincang dengan detikJabar, Senin (20/2/2023).
Yogi mengatakan demi mengenang arwah kerabatnya yang sudah tiada, setiap tanggal 21 Februari, sudah 18 kali sampai saat ini ia tak pernah lewat memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Sambil melaksanakan prosesi tabur bunga sebagai bentuk penghormatan.
"Saya biasanya selalu hadir, ikut ritual. Buat mendoakan mereka. Kadang saya juga yang main karinding. Apapun yang bisa saya berikan buat almarhum, pasti saya lakukan," tutur Yogi.
Kisah kelam yang melekat erat di Kampung Adat Cireundeu, ternyata menjadi cerita yang diturunkan ke setiap generasi. Tentu tujuannya baik, sebagai penghormatan sekaligus edukasi pada generasi terkini soal kepedulian pada alam dan leluhur.
Seperti dialami Agung Bakri. Bocah 12 tahun warga asli Kampung Adat Cireundeu itu juga mengetahui soal tragedi yang terjadi tempatnya tinggal. Cerita longsor sampah itu dikisahkan oleh sang ibu padanya.
"Tahu, soalnya diceritakan sama ibu. Kalau nggak salah dari kelas 1 SD sudah diceritakan juga," ucap Agung.
Ia menjabarkan dengan cukup detil bagaimana peristiwa itu terjadi. Diawali saat hujan turun sejak beberapa hari sebelum kejadian. Lalu pada 21 Februari, tepatnya pukul 02.00 WIB, ledakan tiba-tiba terjadi pada gunungan sampah.
Saat itu, sampah berhamburan lalu longsor menggulung tubuh-tubuh pemulung dan pekerja TPA yang sedang bekerja. Ratusan orang tewas. Kini, 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
"Apalagi kan sekarang jadi tempat main anak-anak. Dulu pernah ikut peringatannya (HPSN), cuma sekarang sudah jarang. Soalnya kan biasanya lagi sekolah," ucap Agung.
Saat ditanya apa kesan yang muncul ketika mendengar cerita tersebut? Agung menjawab dengan lantang 'ngeri'. Ngeri karena longsor terjadi dan ngeri pula karena banyaknya korban berjatuhan.
"Jadi takut setelah dengar cerita, soalnya kan yang meninggal banyak. Ya kalau jadi tempat sampah lagi menolak, soalnya kan bau terus takut kejadian lagi," kata Agung.
Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya. mengatakan proses peringatan HPSN bakal terus digelar setiap tahunnya. Tentu, tujuan utamanya untuk mengenang sosok yang tewas dalam bencana kemanusiaan tersebut.
"Setiap tahun akan selalu diperingati, meskipun sebetulnya abah pribadi jadi sedih karena teringat lagi. Cuma kalau tidak begitu, mereka yang meninggal seolah-olah tidak dihormati," tutut Abah Widi.
Sayangnya, peringatan tahunan itu makin memudar kekhidmatannya. Salah satunya karena ketidak hadiran pemerintah. Kemudian banyaknya keluarga orang-orang yang jadi korban tragedi itu pindah dari Kampung Adat Cireundeu.
"Kalau boleh jujur, pemerintah sangat jarang hadir saat peringatan HPSN. Meskipun abah yakin mereka juga merasa bersalah, cuma bingung harus bagaimana. Cuma setidaknya kan ada permintaan maaf dari mereka untuk keluarga yang ditinggalkan," kata Abah Widi.
"Sekarang keluarga yang jadi korban juga sudah banyak yang pindah. Cuma abah yakin, mereka juga selalu ingat soal kejadian itu. Nggak akan lupa kejadian itu sampai kapanpun," tambahnya. (mso/mso)