16 tahun silam tepatnya 21 Februari 2005, 157 orang meninggal dunia akibat tertimbun longsoran sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cireundeu, Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Gunungan sampah setinggi 60 meter dengan panjang 200 meter itu menimbun tubuh para pemulung. Longsor terjadi usai gunungan sampah meledak akibat akumulasi gas metan.
18 tahun berselang warga Kampung Adat Cireundeu tak bosan-bosannya memperingati tragedi yang merenggut nyawa saudara mereka. Tragedi itu akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap tahunnya di tanggal 21 Februari, mereka selalu menggelar ritual adat peringatan tragedi mengenaskan itu. Pun tahun ini mereka tak absen menabur bunga dan memanjatkan doa di tebing dekat lokasi longsor sampah.
![]() |
Lahan eks-TPA Leuwigajah saat ini sudah rimbun oleh rerumputan dan pepohonan. Warga tak merasa trauma mendekati lahan yang berada di sisi tebing tepat di depan Gunung Gajah Langu.
"Hari ini kita awali dengan mengambil air dari seke atau mata air di Gunung Pasir Panji. Baru besok proses peringatan dimulai," ujar Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu Abah Widiya kepada detikJabar, Senin (20/2/2023).
Proses peringatan, kata Abah Widi, tak perlu meriah. Demi memupus kesan hura-hura di balik tragedi yang menjadi cikal bakal lahirnya HPSN. Sederhana, asal sarat makna dan tetap khidmat tanpa melupakan yang terjadi.
"Makna sebetulnya kan mengingat peristiwa itu, karena yang meninggal itu manusia. Belum lagi makhluk Yang Maha Kuasa lainnya, itu tidak terhitung jumlahnya. Lewat proses juga menyampaikan pesan moral ke pemerintah soal tragedi itu," tutur Abah Widi.
Peringatan itu juga bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Semua punya tanggung jawa yang sama atas tewasnya 157 orang. Namun Abah Widi meyakini, masih banyak jasad-jasad lain yang tak terdata dan hilang di tumpukan sampah.
"Setiap 21 Februari, buat apa dijadikan HPSN sedangkan pemerintah nggak terlibat. Jadi tujuannya apa? Kalau kita di Cireundeu kan ingin mereka (pemerintah) datang, duduk bersama, kembali ke alam, menata alam. Karena alam nggak perlu diobati manusia, mereka mengobati diri sendiri," ucap Abah Widi.
Pihaknya juga dengan tegas bakal menolak apabila ada rencana mengembalikan kawasan tersebut menjadi TPA. Ia dan warga kampung lainnya tidak ingin tragedi menyedihkan kembali terulang.
"Sudah cukup 22 tahun kami menderita karena tempat tinggal kami yang sarat budaya, adat, dan sejarah, jadi tempat sampah. Jangan ada kekosongan peringatan HPSN, karena bisa saja nanti akan kembali jadi TPA," tutur Abah Widi.
"Hari Peduli Sampah Nasional itu karena kejadian nahas di kampung kami. Dari situ kita ambil kesimpulan, sampah bukan cuma tanggung jawab pemerintah tapi tanggung jawab semua pihak," ujar Abah Widi menambahkan.
Abah Widi mewakili warga lainnya meminta kepada pemerintah daerah atau provinsi agar mendirikan monumen di bekas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah. Nama-nama 157 korban yang tewas tersapu ombak sampah itu terpatri di monumen yang dibangun.
"Kemudian, Abah minta tolong buatkan monumen untuk korban. Nggak sulit kan buat pemerintah. Tinggal bikin monumen, dicatat nama dan asal dari mana. Cuma sampai sekarang tidak ada realisasinya," kata Abah Widi.
Monumen itu pun dinilai menjadi sebagai pengingat akan tragedi kelam itu. Sebab selama ini pemerintah hanya memperingati peristiwa itu secara seremonial tanpa merasa kehilangan dan bersalah sedikitpun.
"Sementara kan mereka (pemerintah) tidak merasa (kehilangan dan bersalah). Kalau manusia kan harusnya merasa bersalah. Bagaimana mengambil hati masyarakat. Kalau monumen kan bagus, mengingatkan. Bahwa kita tidak pernah melawan lupa," tutur Abah Widi.
Saat ini mereka terus berusaha bangkit. Memang kesedihan tak perlu diperlihatkan melalui ekspresi wajah. Meskipun senyum tersungging, aktivitas berjalan normal, namun lubuk hati berkecamuk ditinggal orang tersayang.
"Mau tidak mau kan kehidupan terus berjalan. Kita di Cireundeu harus bangkit. Bukannya terpuruk setelah ditinggalkan saudara yang meninggal," kata Abah Widi.
(yum/yum)