Di masa sekarang, debus banyak dipertunjukkan sebagai bentuk kesenian dalam rangkaian menjaga kebudayaan atau adat Sunda. Diketahui Provinsi Banten sendiri baru terpisah dari Jawa Barat pada tahun 2000 silam, sehingga jamak ketika disebut seni kebudayaan itu seolah tidak terpisahkan dari tatar Pasundan.
Di era kolonial dahulu, sekitar tahun 1552 sampai 1570 saat zaman pemerintah Maulana Hasanudin debus sudah mulai dikenal luas di masyarakat bahkan dijadikan sarana syiar agama Islam kala itu. Bahkan Debus Buhun, dikenal sebagai barisan penjaga ulama dan habib di masa itu.
"Jadi debus ini dibagi menjadi dua bagian, ada seni debus ada debus buhun, kalau seni debus memang itu pun ilmu tetapi tidak seratus persen misalkan ilmu 60 persen cara atau trik 40 persen jadi lebih ke seni. Jadi yang namanya seni apapun itu monggo, konsep nya seperti apa," kata Saeful Alam, ketua Padepokan Dadali Pati kepada detikJabar, Kamis (19/1/2023).
Sementara Debus Buhun dikatakan pria yang akrab disapa Abah Alam itu nyata berdasarkan olah dan lelaku spiritual namun tetap berlandaskan kepada kaidah-kaidah agama sesuai awal lahirnya dahulu sebagai bagian dari syiar islam.
"Kalau debus buhun itu real, nyata, karenaapa kembali manusia ini tidak ada yang sakti, manusia ini enggak ada yang kebal, manusia ini enggak ada yang kuat, tapi mana kala kita meminta kepada yang maha kuasa meminta diberi keselamatan dari senjata tajam yang asalnya tajam menjadi tumpul atau yang tumpul menjadi tajam, contoh pas kita goreskan ke kulit itu tidak terjadi apa-apa tapi di balikin lagi dari tumpul menjadi tajam sehingga kenapa pas atraksi sampai ada yang terluka dan mengeluarkan darah, kalau seni debus itu tidak akan mengeluarkan darah," ujarnya.
![]() |
Alam sendiri menguasai seni debus dan debus buhun, dalam menampilkan aksinya debus buhun memang melukai diri sendiri. Tidak sedikit murid di padepokan yang terluka hingga mengeluarkan darah akibat senjata tajam, namun anehnya luka itu hilang begitu sesepuh padepokan mengusap atau memberikan percikan air.
"Kalau buhun itu pasti mengeluarkan darah, karena bisa dilihat tadi antara luka dan tidak luka, setelah luka itu bisa kembali ke semula itu saja," imbuh Alam.
Baca juga: Amukan Cikapundung Lumpuhkan Bandung |
Soal kisah debus pengawal ulama dibenarkan Alam, sekitar tahun 1800-an menurutnya para pelaku debus banyak terlibat dalam menumpas para penjajah.
![]() |
"Pertama syiar islam, saat itu para kyai para ulama menyebarkan agama islam di tengah mayoritas penduduk yang masih menganut (aliran) kepercayaan. Para pelaku debus ini terlibat langsung menjaga ulama dan kyai ini saat syiar, seiring berjalannya waktu juga menjadi alat untuk melawan penjajah," ujar Alam.
"Cenderung untuk syok terapi mempertontonkan bahwa pelaku debus itu kebal kuat dari senjata apapun, itu bagi para penjajah cukup menjadi momok yang menakutkan ternyata orang Indonesia itu tidak gampang dikalahkan, karena dianggap sakti. Menggelorakan semangat perjuangan rakyat, meskipun bersenjata bambu runcing," ungkap Alam.
Alam banyak mendengar kisah Debus melawan penjajah dari buyut, kakek dan ayahnya asli berasal dari Cibaliung, Ciboleger, Banten yang juga pegiat debus. Sebagai generasi keempat ia berupaya melestarikan seni budaya itu agar tidak lekang dimakan zaman.
"Kalau saya bisa dibilang ada titisan keturunan, buyut dan kakek salah satu dedengkot Debus Banten. Ada abah Kasmeri kakek saya, kemudian kalau buyut dikenal nama Mbah Oyang, buyut saya terlibat langsung saat melawan penjajah bahkan sampai diseret namun tidak mempan dan malah bumi yang dipijak itu goyang," kisah Alam menutup perbincangan dengan detikJabar.
(sya/yum)