Tahun 2017, merupakan awal bagi Farida Mahri (48) membangun sebuah lembaga pendidikan di salah satu dusun di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Melalui lembaga pendidikan tersebut, ada sebuah visi besar yang dibawa oleh Farida. Ia bercita-cita dapat membangun desa dengan meningkatkan kemampuan masyarakatnya.
Melalui lembaga pendidikan itu, Farida ingin mengajak anak-anak di desa setempat untuk ikut belajar. Mulai dari belajar menulis, membaca, hingga belajar mengelola sumber daya alam yang ada di sekitar. Semua masyarakat dipersilahkan ikut belajar tanpa ada pungutan biaya sepeser pun alias gratis.
Lembaga pendidikan yang didirikan Farida Mahri itu bernama Sekolah Alam Wangsakerta. Lokasinya berada di Dusun Karang Dawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekadar informasi, Dusun Karang Dawa, Desa Setu Patok ini merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Cirebon yang cukup jauh dari pusat pemerintahan dan belum tersentuh oleh sarana transportasi umum.
Pada awal berdirinya, Sekolah Alam Wangsakerta hanya berupa gubuk dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Namun seiring berjalannya waktu, lembaga pendidikan itu lambat laun mengalami perkembangan. Beragam fasilitas dihadirkan demi menunjang kegiatan belajar anak-anak desa setempat.
"Sebenarnya kita fokusnya itu ke pengembangan desa. Jadi kita punya visi bagaimana mengajak masyarakat untuk mewujudkan desa yang mandiri. Baik dari sisi pangan, energi, informasi, dan bisa mengembangkan teknologi sendiri. Jadi visi besar kita seperti itu," kata Farida saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (27/10/2022).
Farida menyadari betul jika untuk mengembangkan sebuah desa, tentunya harus didukung oleh tingkat pengetahuan masyarakatnya. Oleh karena itu, melalui Sekolah Alam Wangsakerta, ia pun mengajak anak-anak di desa setempat untuk ikut belajar guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
Menurut Farida, tidak sedikit anak-anak di Dusun Karang Dawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu yang mengalami putus sekolah dengan beragam alasan berbeda.
"Untuk menuju ke sana (membangun desa), tentunya membutuhkan gerakan pendidikan masyarakat. Kebetulan di kampung ini banyak anak-anak yang putus sekolah. Penyebabnya macam-macam. Ada yang karena faktor ekonomi, karena tidak ada transportasi, dan lain-lain," kata Farida.
Keputusan Farida untuk mendirikan Sekolah Alam Wangsakerta ini berawal dari perbincangan dalam sebuah grup diskusi bersama beberapa rekannya. Dalam forum itu, mereka membahas terkait dengan pengembangan sebuah desa.
Tidak ingin hanya menjadi sekedar wacana, ibu dua anak itu pun akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan dengan memanfaatkan lahan seluas 7.000 m2 milik salah seorang temannya.
"Tahun 2016 itu kita mulai diskusi-diskusi. Tapi kalau diskusi terus ya kita enggak kemana-mana kalau enggak direalisasikan. Terus ada temen yang menawarkan lahan, luasnya 7.000 m2. Kita enggak beli atau sewa, lahan ini kita pinjam secara cuma-cuma," kata Farida.
"Kita dulu awalnya bikin gubuk kecil. Sampai akhirnya kan ga nyaman yah kalau hanya gubuk kecil. Anak-anak kan butuh ruang imajinasi untuk mereka belajar. Terus kita menggalang donasi dari teman-teman yang peduli untuk membangun ini. Waktu itu terkumpul sekitar Rp 20 juta. Tentu itu jumlah yang sedikit untuk membangun tempat belajar yang luas," ucap Farida.
Meski begitu, proses pembangunan lembaga pendidikan ini pun tetap dilakukan. Beberapa warga desa bahkan turun tangan langsung untuk bergotong-royong membantu proses pembangunan Sekolah Alam Wangsakerta.
Hingga saat ini, kegiatan belajar mengajar di Sekolah Alam Wangsakerta masih berjalan dengan beragam fasilitas yang disediakan. Kini, Sekolah Alam Wangsakerta telah mendirikan sebuah Green House dan ruang pengering sebagai fasilitas untuk menunjang kegiatan belajar mengajar dalam bidang pertanian.
Lebih dari itu, murid-murid di Sekolah Alam Wangsakerta juga dibekali ilmu untuk melakukan pemetaan di suatu wilayah maupun beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan pengembangan sebuah desa.
"Aktivitas anak-anak dulu itu luar biasa. Sampai mereka bisa membantu kampungnya sendiri untuk punya air. Dulu kan kampung ini selalu mengalami kekeringan setiap tahunnya. Akhirnya kita bersama anak-anak itu melakukan pemetaan. Kita hitung berapa jumlah penduduk, berapa jumlah rumah. Jadi kita bisa menghitung kebutuhannya. Dan itu yang kemudian dijadikan bahan untuk bicara dengan pemerintah desa. Hingga akhirnya mereka bisa mendapatkan program pengadaan air bersih," kata Farida.
Dalam kegiatan belajar mengajar, Sekolah Alam Wangsakerta sendiri memiliki sebuah program khusus yang berlangsung selama tiga bulan. Dalam program yang diberi nama 'Ngenger' itu, setiap murid diwajibkan untuk mengikut proses pendidikan selama kurun waktu yang telah ditentukan.
Tidak hanya anak-anak desa setempat, progam Ngenger yang diadakan oleh Sekolah Alam Wangsakerta juga dibuka untuk anak-anak dari daerah lainnya.
Selama tiga bulan, setiap murid akan dibekali dengan beragam pengetahuan dan keterampilan. Di bidang pertanian misalnya, setiap murid nantinya akan diajari bagaimana mengolah lahan hingga cara membuat pupuk organik.
"Jadi selama tiga bulan murid itu harus mondok di sini. Bebas aja siapa aja yang mau ikut belajar. Tapi syaratnya dia harus mondok selama tiga bulan di sini," kata Farida.
"Awal-awal itu murid akan belajar soal pangan. Selain itu, mereka juga harus membuat catatan lapangan dan membaca buku-buku yang sudah disediakan. Setelah itu selesai, mereka kemudian akan belajar soal pembuatan sumber energi. Misalnya membuat arang sekam," kata dia menambahkan.
Selain dari dua hal itu, setiap murid yang mengikuti program Ngenger di Sekolah Alam Wangsakerta juga akan diajari bagaimana cara melakukan pemetaan pada suatu wilayah.
"Nanti tugas akhirnya itu mereka akan membuat laporan dan melakukan presentasi," ucap Farida.
Selepas menyelesaikan program Ngenger yang berlangsung tiga bulan, setiap murid kemudian akan diberi kesempatan untuk mengikuti ujian paket A,B maupun C. Khususnya bagi murid-murid yang sebelumnya mengalami putus sekolah.
Dalam hal ini, Sekolah Alam Wangsakerta bekerja sama dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau PKBM Argojati di Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon.
Kisah Farida Mahri yang memiliki visi membangun desa melalui lembaga pendidikan yang ia dirikan mungkin bisa menjadi contoh bagi generasi muda untuk mengimplementasikan semangat Sumpah Pemuda di era sekarang.
Di momen peringatan Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 2022, Farida sendiri bahkan mengajak kepada generasi muda agar bisa berkontribusi untuk membangun desanya masing-masing.
"Kalau bisa pemuda-pemuda itu kembali ke desa dan membangun desanya. Lakukan sesuatu untuk desanya," kata Farida.
Simak Video "Video: 'Selamat Hari Sumpah Pemuda' Menggema di X"
[Gambas:Video 20detik]
(dir/dir)