Cara Greenpeace Kampanye Krisis Iklim dari Sudut Pandang Meja Makan

Cara Greenpeace Kampanye Krisis Iklim dari Sudut Pandang Meja Makan

Rifat Alhamidi - detikJabar
Sabtu, 22 Okt 2022 22:45 WIB
Diskusi Greenpeace soal krisis iklim di Bandung.
Diskusi Greenpeace soal krisis iklim di Bandung (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar).
Bandung -

Greenpeace menggelar agenda diskusi tentang krisis iklim yang saat ini sedang terjadi di Indonesia. Menariknya, diskusi ini melibatkan para anak-anak muda supaya memiliki kesadaran mengenai perubahan alam melalui sudut pandang dari meja makan.

Diskusi ini digelar sebagai rangkaian agenda Greenpeace untuk mengkampanyekan kesadaran krisis iklim kepada publik. Kampanye ini juga turut memuat upaya dari Greenpeace melalui agenda bertajuk Chasing The Shadow atau CATS dengan cara bersepeda dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya hingga ke Bali.

Setelah kick off di Jakarta dengan mengunjungi Marunda dan Muara Gembong, Bekasi, tim pesepeda Greenpeace tiba di Bandung. Mereka turut membagikan pengalaman selama perjalanan tentang bagaimana kesaksian dampak krisis iklim mengancam sejumlah wilayah di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan, krisis iklim tak hanya berdampak bagi perubahan alam. Hal itu juga mengancam kelangsungan pangan di Indonesia, yang tentunya merupakan bagian dari kerusakan lingkungan.

"Tidak ada satu pun wilayah di dunia yang bisa lolos dari ancaman krisis iklim, termasuk Indonesia. Pilihan-pilihan kita akan gaya hidup, jenis energi yang kita gunakan, dan juga sistem ekonomi telah membawa dampak kerusakan lingkungan dan pemanasan global," katanya dalam diskusi di salah satu cafe di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/10/2022).

ADVERTISEMENT

Ia berpendapat aksi untuk melindungi lingkungan bisa dimulai dari diri masing-masing. Contoh kecilnya dengan mengurangi penggunaan bahan plastik sebagai alat untuk makan di rumah maupun di tempat nongkrong anak-anak muda.

Setelah kesadaran itu bisa dilakukan para generasi muda, Greenpeace tinggal melihat keseriusan pemerintah dalam upaya nyata melindungi kerusakan lingkungan. Sebab menurutnya, Indonesia punya potensi yang besar dalam mengembangkan energi bersih dan terbarukan seperti tenaga surya, angin maupun air, sebagai energi pengganti berbahan fosil seperti batu bara.

"Aksi individu penting untuk dilakukan. Namun, itu tidak cukup untuk mengatasi situasi krisis iklim saat ini. Diperlukan perubahan skala besar yang harus dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dibuat,"ucapnya.

"Dan Pemerintah harus segera melakukan aksi iklim nyata dan serius. Tak ada alasan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak mempercepat transisi energi sebagai solusi untuk keluar dari krisis iklim sekarang ini," katanya menambahkan.

Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran Hardian Eko Nurseto mengatakan dampak krisis iklim terhadap penurunan produksi pangan mungkin tidak langsung terasa. Sebab, saat ini bahan pangan masih bisa diperoleh oleh publik dengan membelinya di pasar maupun supermarket.

"Tapi gimana nasib nelayan yang tidak bisa melaut karena gelombang tinggi, petani yang menunggu hujan untuk mulai menanam padi karena sawahnya mengering? Sebaliknya, petani cengkeh juga menangis karena hujan yang enggak berhenti-berhenti sekarang ini yang mengakibatkan mereka gagal panen," kata pengajar bidang kajian makanan dan kebudayaan di Unpad tersebut.

Seto, sapaan akrabnya, juga menyinggung mengenai krisis iklim karena permintaan pangan yang tidak ada hentinya dari masyarakat perkotaan. Kondisi itu pun kata dia, berdampak kepada degradasi lahan-lahan pertanian di pedesaan.

Salah satu solusi yang Seto tawarkan yaitu setiap orang harus bisa memproduksi pangan secara mandiri. Caranya bisa dilakukan dengan berkebun di rumah masing-masing.

"Itu salah satu solusi kecil, dan itu sudah saya praktekan. Susah memang, tapi kalau tidak dilakukan, kita akan terus berkontribusi terhadap kerusakan alam yang ada saat ini. Jadi menurut saya, saatnya kita beradaptasi untuk produksi pangan yang berkelanjutan," ujarnya.

Tak hanya pangan berupa padi, kopi sebagai komoditas perkebunan juga terancam terganggu panennya akibat krisis iklim. Itu yang sudah dirasakan Farida Dwi, inisiator Lady Farmer Coffee Roastery-komunitas di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang komunitasnya beranggotakan perempuan petani kopi.

Dalam diskusi itu, Farida turut mengutip laporan Laporan Stockholm Environment Institute. Dimana menurutnya, kopi Arabica berpotensi mengalami penurunan produktivitas hingga 45 persen akibat suhu yang kian menghangat.

"Jadi kalau rasa kopi dalam cangkirmu sudah berbeda, jangan salahkan petani dan hujan. Salahkan diri kita sendiri di kehidupan sebelumnya. Manusia itu akan menuai apa yang ditanam," seloroh Farida yang disambut gelak tawa renyah dari audience diskusi kali ini.

Sementara, Gina Gegana Saleha dari Komunitas Solar Generation mengungkap bahwa kebutuhan pangan tanpa disadari menjadi penyumbang emisi karbon yang turut menyebabkan krisis iklim. Sebab menurutnya, mulai dari proses produksi, pendistribusian, penyajian, hingga penyelesaian sisa makanannya itu terdapat emisi karbon di dalamnya.

Komunitasnya pun beberapa waktu ke belakang terus menggulirkan kampanye energi sehat hingga kelompok masyarakat paling bawah. Salah satunya yang pernah mereka lakukan yaitu mengedukasi para petani di Purbalingga dan Kulonprogo untuk mulai beralih dari tenaga listrik konvensional ke panel solar.

"Sebagai anak muda yang tidak punya banyak kuasa dalam pengambilan kebijakan, kami hanya mengupayakan apa yang kami bisa lakukan, salah satunya mendorong penggunaan energi bersih dalam proses produksi pangan. Seperti yang kami lakukan di Purbalingga dan Kulonprogo yaitu dengan menggunakan solar panel," katanya.

"Dan sebetulnya, solusi dari krisis iklim itu sudah ditemukan. Sudah tersebar dan mayoritas orang di dunia tahu akan hal ini. Tapi untuk melakukannya, butuh tindakan yang nyata dari pada sekedar paham. Jadi, mulai dari diri kita, kebiasaan itu harus dilakukan untuk melindungi alam dari krisis lingkungan," ujarnya.

Halaman 2 dari 2
(ral/mso)


Hide Ads