Seusai hujan reda, ia segera menyemprot pelat berbahan alumunium dengan cat semprot warna putih. Ia kemudian menaruh pelat itu di atas sebuah bangku kecil dan menjemurnya di bawah terik matahari.
Anggi adalah pemuda tersebut. Pria berusia 25 tahun ini sudah menekuni bidang pembuatan pelat nomor sejak 2015. Dirinya berjualan persis di samping lampu merah di pojokan Jalan Palasari, Kota Bandung.
"Awalnya jualan bareng sama saudara. Jadi ganti-gantian juga jaga tokonya. Tapi udah beberapa tahun ke belakang ini saya sendiri jualnya," ungkap Anggi pada detikJabar, Sabtu (22/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggunaan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) atau biasa dikenal dengan pelat nomor sendiri merupakan salah satu syarat berkendara yang wajib dipatuhi seluruh pengendara.
Aturan tersebut diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012.
Berdasarkan UU tersebut, pelat nomor yang dapat digunakan secara legal hanyalah yang dikeluarkan oleh Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT). Kendati demikian, mengapa masih banyak masyarakat yang menggunakan jasa tukang pelat nomor?
"Biasanya yang paling sering mah minta direparasi. Selain itu sih paling ada yang pelatnya hilang tapi belum sempat diurus ke SAMSAT, atau nggak karena pelatnya patah. Tapi paling banyak mah reparasi," kata Anggi.
Anggi sendiri mematok harga reparasi sebesar Rp50.000 untuk motor dan Rp90.000 untuk mobil. Harga tersebut berlaku untuk dua buah pelat nomor. Jika hanya ingin mereparasi salah satu akan diberi harga setengahnya.
Sementara itu, biaya pembuatan pelat diberi harga Rp100.000 untuk motor dan Rp170.000 untuk mobil.
Meski berjualan pelat nomor 'palsu', Anggi tetap mematuhi aturan yang berlaku dan tidak membuat replika sempurna dari pelat buatan SAMSAT.
"Bedanya kalau pelat di sini sama dari SAMSAT itu pertama ketebalan pelatnya. Dari SAMSAT itu 1 mm, kalau di sini paling 0,7-0,8 mm. Terus kalo dari SAMSAT kan ada logo polisinya tuh, kalau di sini nggak ada, jadi polos aja gitu," jelasnya.
Berprofesi sebagai tukang pelat nomor, Anggi menyadari pentingnya kehadiran TNKB pada sebuah kendaraan. Oleh karena itu, ia juga merasa bertanggung jawab atas sebuah kendaraan.
"Ngerasa tanggung jawab juga saya. Kalau ada yang bikin ke sini saya selalu minta liat STNK-nya. Kalau dia nggak bawa STNK, saya minta nomor polisinya terus saya cek dulu ke aplikasi SAMBARA (SAMSAT Mobile Jawa Barat) itu," ungkap Anggi.
"Kalau sama polisi sih nggak pernah ada masalah, paling sebatas diberi tahu untuk waspada sama motor bodong atau yang hasil curanmor itu," tuturnya.
Setiap harinya, Anggi yang berjualan dari jam 10 pagi hingga 10 malam ini dapat menerima setidaknya tiga pesanan pelat nomor. Namun, dirinya mengaku sempat mengalami juga tidak ada penjualan sama sekali dalam satu hari.
Anggi mengungkap pemesanan dan reparasi pelat nomor paling banyak terjadi menjelang Hari Raya Lebaran. Dugaannya adalah banyak masyarakat ingin pelatnya terlihat bagus dan bersih saat hari raya.
"Paling banyak pesanan itu pas mau Lebaran. Biasanya minta tolong untuk di cat ulang supaya bagus," ucapnya.
Proses pengerjaan pembuatan pelat sendiri tidak berlangsung lama. Jika matahari sedang terik, Anggi dapat menyelesaikan pesanan tersebut dalam waktu 2 jam saja.
"Kalau lagi panas mah minimal 2 jam selesai, tapi kalau mendung gitu biasanya lebih lama karena nunggu catnya kering. Untuk huruf sama angkanya itu saya press sendiri itu pakai alat sama cetakan gitu," tutup Anggi.
(mso/mso)