Gedung Sate yang saat ini difungsikan sebagai kantor gubernur Jawa Barat memiliki daya tarik tersendiri. Selain menjadi ikon Jabar, Gedung Sate juga sempat hendak diproyeksikan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda pada masa kolonial.
Di balik kemegahannya, Gedung Sate memendam kisah kelam tentang pengorbanan 7 pemuda di bangunan yang saat itu menjadi kantor jawatan Pekerjaan Umum dan Pengairan. Sebagian dari mereka, jasadnya bahkan ikut terkubur dalam kemegahan Gedung Sate.
Ketujuh pemuda yang namanya diabadikan itu yakni Rio Susilo, Mochtaroedin, Subenget, Soerjono, Soehodo, Didi Hardianto Kamarga dan Ranu. Nama mereka yang bukan berasal dari kalangan militer Ini pun diabadikan sebagai sosok pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang mau direbut kembali oleh penjajah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikisahkan pada Sabtu, 24 November 1945, tentara sekutu Belanda dari Gurkha (Royal Gurkha Rifles Divisi Mahratta 23 yang berasal dari Nepal) dan NICA (Nederlands Indie Civil Administration), tiba di Bandung untuk merebut kembali Kemerdekaan Indonesia.
Dengan kekuatan penuh, mereka kemudian menargetkan Gedung Sate sebagai target invansinya ke Indonesia. Sebelum direbut Bangsa Indonesia, Gedung Sate pernah menjadi Pusat Pemerintahan (Shucho) Wilayah Jawa Barat kala Jepang menjajah Tanah Air.
Kedatangan Tentara Gurkha ini juga dibekali senjata yang lengkap. Mereka membawa kukri, jenis parang khas Nepal dan senapan laras panjang Lee Enfield MK I dan MK II asal Inggris, plus kendaraan perang yang seketika membuat nyali warga Bandung yang mendengarnya dilanda kecemasan.
Namun dari sekian para pegawai Gedung Sate, ada 21 pemuda yang berani memberikan perlawanan. Mereka ini siap mengorbankan jiwa dan raganya supaya Indonesia tidak dijajah kembali oleh bangsa lain.
Dengan tekad yang tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan, 21 pemuda ini sudah berniat memberikan perlawanan terhadap tentara sekutu. Mereka lalu pergi ke markas Madjelis Dewan Perdjoeangan Priangan (MDPP) di Gang Asmi pada tanggal 29 November 1945 untuk meminta restu sekaligus perbekalan senjata.
Mulanya, keinginan ke-21 pemuda itu sempat ditahan dengan alasan situasi revolusi yang belum stabil. Sebagaimana yang diceritakan, saran itu dilontarkan Sutoko, Ketua MDPP yang memberi nasihat untuk mundur dan dianjurkan untuk mempertahankan kota Bandung Selatan.
Namun akhirnya, setelah melalui lobi-lobi, ke-21 pemuda itu disetujui untuk melakukan perlawanan terhadap tentara sekutu di Gedung Sate. Keberangkatan mereka hanya dibekali senjata seadanya untuk melawan pasukan lengkap dari Tentara Gurkha dan NICA.
Singkatnya, pada 3 Desember 1945 pukul 11.00 hingga 14.00 WIB, pasukan Gurkha dan NICA menyerbu masuk Gedung Sate. Pertempuran tidak seimbang akhirnya terjadi saat 21 pemuda PU itu melawan satu kompi pasukan Gurkha.
Pertempuran yang berlangsung selama 4 jam ini pun akhirnya dimenangkan pasukan Gurkha. Mereka berhasil menguasai Gedung Sate sepenuhnya. Satu persatu pemuda PU yang melawan bertumbangan. Tujuh orang gugur, sementara 14 orang lainnya harus mundur dan meninggalkan Gedung Sate.
Jasad ketujuh pemuda ini lalu dikubur dalam satu lubang oleh tentara sekutu di halaman belakang Gedung Sate, tepatnya sekarang menjadi lapangan tenis. Setelah tentara sekutu hengkang dari Tanah Air, jenazah ketujuh pemuda itu lalu dilakukan pencarian.
Pada Agustus 1952, penggalian makam ketujuh pemuda PU itu lalu dilakukan. Tiga jenazah atas nama Soehodo, Didi Hardianto dan Mochtaroedin ditemukan lalu dipindah ke Taman Makam Pahlawan Cikutra. Sementara 4 jenazah pemuda PU lainnya yaitu Rio Susilo, Subenget, Soerjono, Kamarga dan Ranu tetap berada di area Gedung Sate. Proses pencarian lalu dihentikan pada 2017.
Untuk mengenang pengorbanan para pejuang ini, pemerintah membuat sebuah prasasti batu di depan Gedung Sate. Prasasti itu berisi tulisan yang menggambarkan bagaimana heroiknya perjuangan ketujuh pemuda tersebut dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia hingga mengorbankan jiwa dan raganya.
"Dalam mempertahankan Gedung Sate terhadap pasukan Gurkha tanggal 3 Desember 1945, tudjuh pemuda gugur dan dikubur oleh pihak musuh di halaman ini. Bulan Agustus 1952 diketemukan djenazah Suhodo, Didi dan Muchtaruddin yang dimakamkan di Taman Pahlawan Tjikutra. Djenazah Rana, Subengat, Surjono dan Susilo tetap berada di sini. Bandung, 31 Agustus 1952," demikian tulisan di prasasti tersebut.
"Tjita-tjitamu adalah tjita-tjita kami. Baktimu teladan bagi kami untuk berdjoang. Bekerdja membangun guna mewudjudkan tjita-tjita Indonesia jang adil dan makmur," bunyi tulisan di bawah prasasti itu lengkap dengan logo Kementerian PUPR. Hingga sekarang, batu prasasti ini masih berdiri kokoh di depan halaman Gedung Sate sebagai penanda perjuangan ketujuh pemuda PU tersebut.
(ral/iqk)