Dinilai Mengancam Lingkungan, PLTU Tanjung Jati A Cirebon Didesak Dibatalkan

Dinilai Mengancam Lingkungan, PLTU Tanjung Jati A Cirebon Didesak Dibatalkan

Rifat Alhamidi - detikJabar
Kamis, 15 Sep 2022 19:16 WIB
Koalisi masyarakat sipil di Jabar yang terdiri dari Walhi, LBH Bandung dan Karbon mendesak rencana proyek PLTU Tanjung Jati A Cirebon dibatalkan.
Koalisi masyarakat sipil di Jabar yang terdiri dari Walhi, LBH Bandung dan Karbon mendesak rencana proyek PLTU Tanjung Jati A Cirebon dibatalkan (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar).
Bandung -

Koalisi masyarakat sipil di Jawa Barat menggugat izin lingkungan atas rencana proyek pembangunan PLTU Tanjung Jati A, Cirebon. Mereka menilai pemerintah sengaja mengabaikan regulasi yang nantinya berpotensi menimbulkan emisi karbon.

Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, LBH Bandung serta Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon). Mereka mendesak proyek PLTU ini supaya dibatalkan dengan beberapa pertimbangan.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki Paendong mengatakan sejak akhir Juni 2022, Walhi sudah menggugat izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A. Selain menimbulkan dampak terhadap 273 petani tambak garam, proyek ini juga bisa menimbulkan kerusakan lingkungan serta perubahan iklim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah mengabaikan fakta bahwa kontribusi PLTU terhadap perubahan iklim semakin mengkhawatirkan. Ini membuktikan bahwa ternyata mereka mengabaikan regulasi tentang perubahan iklim, dengan tidak melakukan pencegahan di setiap kegiatan usaha yang menghasilkan emisi GRK (gas rumah kaca). Ini nggak bisa kita anggap sepele," kata Meiki saat menyampaikan press rilis di Sekretariat LBH Bandung, Jalan Terusan Jakarta, Kamis (15/9/2022).

Berdasarkan catatan Walhi, ada 230 hektare tambak garam di Cirebon yang terancam tergusur imbas proyek PLTU Tanjung Jati A. Belum lagi, selain petani tambak, masyarakat yang bermukim di sana sebagai nelayan juga akan terkena dampak dari proyek yang rencananya dibangun di Desa Pangarengan, Kabupaten Cirebon.

ADVERTISEMENT

Ditambah, dalam sidang lanjutan gugatan di PTUN Bandung pada Rabu (14/9/2022), Meiki menyebut saksi ahli dari pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyatakan bahwa tidak ada regulasi yang mengharuskan paparan emisi karbon dan perubahan iklim dimasukan dalam analisis dampak lingkungan (Amdal).

Keterangan saksi dari Kementerian LHK ini pun dianggap bertentangan oleh Walhi adanya Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat No 1 tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penataan Hukum Lingkungan. Regulasi ini juga sudah disampaikan pada sidang sebelumnya di persidangan oleh Walhi dkk pada 8 September 2022.

"Regulasi itu jelas menuliskan bahwa pemprov wajib melakukan pelestarian fungsi atmosfer, salah satunya dengan melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Namun apa yang diamanatkan oleh regulasi ini yakni dampak emisi karbon dan perubahan iklim tidak dimasukkan dalam izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A," tuturnya.

Meiki menambahkan pertimbangan Walhi menggugat izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A karena peduli pada keuangan negara. Pembangunan PLTU menurut dia, berpotensi merugikan negara akibat adanya mekanisme take or pay yang jika dibandingkan dengan kondisi kelistrikan di Jawa-Bali sudah mengalami oversupply.

"Skema ini akan membuang anggaran negara untuk pengeluaran yang tidak perlu dan apabila negara tidak bisa membayar, masyarakat yang akan menjadi korban. Selain membebani negara dengan skema take or pay, pengabaian pemerintah terhadap dampak dari emisi GRK akan menjadikan keuangan hancur akibat bencana krisis iklim yang semakin sering terjadi," ucapnya.

Kuasa hukum tim Advokasi Keadilan Iklim LBH Bandung Abdul Muit Pelu mengatakan rencana pembangunan PLTU Tanjung Jati A merupakan kebijakan yang bertolak belakang dengan komitmen negara tentang perubahan iklim. Di mana, kata dia, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menyampaikan kepada publik internasional untuk menurunkan emisi karbon pada 2030 dan emisi nol karbon pada 2060.

Ia turut menyebutkan aturan baku mutu emisi PLTU Tahun 2008 sudah mengatur pemantauan lepasan karbon dalam operasional PLTU. Sedangkan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 21 Tahun 2008 mengatur pelaku usaha PLTU harus melakukan pemantauan lepasan emisi CO2.

"Karenanya sangat aneh jika pemerintah menyebut tidak ada regulasi soal pelepasan karbon sehingga izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A ini mengabaikan analisis dampak emisinya bagi iklim terutama dan terpenting bagi warga di sekitar pembangkit," kata Muit.

Di tempat yang sama, perwakilan Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon) Adhinda Maharani menyatakan keberadaan PLTU di Cirebon sudah mengganggu mata pencaharian masyarakat sekitar. Sebelum adanya proyek PLTU Tanjung Jati A, ada PLTU I dan II Jawa yang keberadaannya berdampak kepada petani tambak garam hingga nelayan di sana.

"Mereka tergusur karena kualitas air yang tercemar, ada juga indikasi munculnya penyakit kulit dan pernapasan. Paparan emisi karbon dari pembangkit ini bukan saja menurunkan kualitas hidup bagi mereka yang tinggal di sekitar PLTU, tapi juga bagi warga di kota Cirebon dan sekitarnya," ungkapnya.

"Kami dari anak-anak muda Cirebon berharap pembangunan PLTU Tanjung Jati A dihentikan. Kerusakan lingkungan akan semakin parah jika pembangunan PLTU baru ini tidak dihentikan dan kami sebagai anak muda yang akan merasakan dampaknya di masa depan," ujarnya.

Halaman 2 dari 2
(ral/mso)


Hide Ads