Kecelakaan lalu lintas yang merenggut 6 nyawa terjadi di Jalan Cianjur-Sukabumi, tepatnya di Kampung Cipadang, Desa Bangbayang, Kecamatan Gekbrong, Cianjur, Jawa Barat. Jalur lokasi kecelakaan itu memiliki nama lain yang sering disebut masyarakat sebagai 'Jalur Tengkorak.'
Lalu mengapa ada sebutan Jalur Tengkorak?
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mengatakan, ada alasan di balik penamaan Jalur Tengkorak. Dia merujuk pada ragam kejadian kecelakaan di ruas jalan penghubung Sukabumi-Cianjur tersebut.
"Beralasan sekali jika jalur Gekbrong-Warungkondang disebut Jalur Tengkorak mengingat sejak masa kolonial hampir tiap tahun terjadi kecelakaan yang tak jarang merenggut nyawa," kata Irman kepada detikJabar, Senin (15/8/2022).
Dia mengatakan, jalur tersebut sudah ada sejak lama. Konon, jalan tersebut sudah dilewati oleh rombongan zaman kerajaan hingga zaman Belanda.
"Lama banget, konon zaman Tarumanegara saja sudah dilewati rombongan Resi Manikmaya Raja Suryawarman, zaman VOC dijadikan jalur pengangkut kopi, sempat jadi jalan militer sejak zaman Daendels," katanya.
Misalnya pada Januari 1920, sejarah mencatat peristiwa kecelakaan. Kendaraan yang digunakan seorang Tionghoa tak sengaja menabrak bocah laki-laki yang sedang menyebrang.
"Anak itu luka parah. Mobilnya juga terbalik dan rusak seketika tapi pengemudinya selamat," ujarnya.
Beralih pada tahun 1924, kondisi jalan yang kini disebut Jalur Tengkorak itu sempat berlubang dan kerikil dimana-mana. Menurutnya, itu pun menjadi salah satu penyebab banyaknya kecelakaan.
"Tapi sesudah perbaikan tetap saja terjadi kecelakaan karena rata-rata di jalur menurun itu laju kendaraan sangat kencang, sehingga sering terjadi lolos rem atau kaget jika ada yang menyebrang," tutur Irman.
Kemudian pada Desember 1926, kecelakaan kembali terulang di mana pengemudi melaju kencang dari arah Warungkondang berpapasan dengan Sado. "Tepat di belakang Sado ada perempuan yang langsung tertabrak dan tewas seketika," ucapnya.
Irman juga menyebutkan salah satu kejadian kecelakaan pada Januari 1929. Saat itu, cuaca hujan dan jalan licin, sebuah kendaraan yang dikemudikan seorang wanita tergelincir dan berputar hingga menabrak sebuah truk.
Saat itu, lurah diperintahkan untuk membuat pos yang bisa memberitahu wilayah tersebut merupakan rawan kecelakaan. Selanjutnya, Juni 1934 sebuah mobil yang dikendarai pejabat BPM (Bataviaasch Petroleumm Maaschapij) atau perusahaan minyak zaman Belanda juga terlibat kecelakaan di sana.
"Mobilnya melaju kencang dan tiba tiba terbalik. Mobilnya hancur, namun pengemudinya bisa keluar dan selamat," kata dia.
Tak hanya warga sipil, kecelakaan pun menimpa kendaraan militer seperti yang terjadi pada September 1934. Irman menyebut, sebuah truk militer dari arah Bandung yang membawa trailer dan dapur lapangan terbalik di Bangbayang.
"Seorang petugas kavaleri yang melompat terluka parah, sedangkan sopir terjebak dan meninggal, seorang sersan warga Eropa dan dua pembantunya juga terluka parah. Mereka dilarikan ke rumah sakit Gemeente Sukabumi," jelasnya.
September 1941, truk Venduhuts Kippers yang melaju ke arah Cianjur melaju kencang dan mengalami kecelakaan. Seorang kuli pribumi tewas, tiga lainnya termasuk sopir terluka parah.
Tempat Pemakaman Ratusan Pejuang
Jalur Tengkorak juga memiliki sejarah di masa revolusi fisik. Di sana terjadi pertempuran untuk menghadang pasukan sekutu dan Belanda, sehingga konon ratusan pejuang yang menjadi korban dimakamkan di dekat sisi kanan kiri jalan.
"Hal ini terkait bantuan pasukan Inggris dan NICA saat pecah Bojongkokosan Desember 1945. Mereka mengirim bala bantuan sebanyak 124 truk dari Bandung, namun naas mereka di hadang di Cijoho dan Gekbrong dengan kekuatan 10.000 orang," ucap Firman.
Dia mengatakan, perang itu berlangsung selama 5 jam. Terakhir, di tempat yang sama pada Maret 1946 serangan kembali terjadi dengan sebutan peristiwa Perang Kionvoi II atau Perang Konvoi Cianjur-Sukabumi 1945-1946.
(yum/yum)