Kisah Warga Pesisir Cipatuguran Dihantui Abrasi Ekstrem

Kabupaten Sukabumi

Kisah Warga Pesisir Cipatuguran Dihantui Abrasi Ekstrem

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Rabu, 23 Feb 2022 19:53 WIB
Pantai Cipatuguran Sukabumi
Pantai Cipatuguran Sukabumi (Foto: Video: Syahdan Alamsyah/detikcom)
Kabupaten Sukabumi -

Abrasi ekstrem terjadi di kawasan pesisir Kampung Cipatuguran, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Kawasan wisata yang dulunya indah, kini menjadi korban abrasi. Sejumlah pohon kelapa yang menjadi 'sabuk' penahan abrasi satu persatu bertumbangan.

Terdamparnya tongkang di kawasan itu ternyata bukan satu-satunya penyebab abrasi. Jauh dari lokasi tongkang, warga menuding pihak PLTU 2 Jawa Barat Palabuhanratu berada di balik kerusakan ekosistem tersebut, pembangunan dermaga untuk sandar tongkang menjadi pemicu perubahan pola arus di pesisir Teluk Palabuhanratu.

"Ini permasalahan sesudah adanya dermaga PLTU yang dipakai bersandar kapal tongkang yang membawa baru bara untuk kebutuhan PLTU, ini abrasi terjadi mengikis Kampung Cipatuguran dari tahun 2011," kata Ujang Sudira, Ketua RW 21 Kampung Cipatuguran, kepada detikJabar, belum lama ini.

Warga tidak tinggal diam. Upaya mereka lakukan salah satunya menyuarakan keluhannya ke wakil rakyat. Pada 13 Agustus 2020, warga berduyun-duyun menghadap ke DPRD Kabupaten Sukabumi. Mereka menceritakan kondisi di lingkungan mereka saat ini, dimana abrasi mulai menggerogoti lahan darat.

"Tahun 2020 itu terjadi banjir rob, sudah mendekati pemukiman. Akhirnya kami mendatangi pihak DPRD dan bertemu dengan salah seorang anggota Komisi II, beliau berjanji akan mengawal permasalahan ini sampai tuntas. Alhamdulillah dari Komisi II mengawal akhirnya mendapatkan bronjong," tutur Ujang.

Bronjong kini hancur terkikis ombak. Abrasi terus menekan hingga kini semakin mendekati pemukiman warga. Pohon kelapa satu persatu tumbang karena landasan pasir terkikis. Beberapa warung wisata juga sudah siaga menghindari abrasi yang 'memakan' daratan. Kini, harapan warga beralih ke pemerintah. Mereka ingin dibuatkan pemecah ombak atau break water.

"Kami sudah mengupayakan ke pihak PLTU 2 Jabar, kami sangat menunggu. Ingin asa solusi permanen tidak hanya sekedar tanggul yang kemudian hancur lagi dihantam ombak. Kami dapat kabar, katanya ini harus diajukan ke tingkat provinsi karena ini harus pake dana pusat yaitu untuk pemecah ombak atau breakwater yang permanen, kalau dari PLTU ini sifatnya hanya untuk sementara saja," ujar Ujang.

Pantauan detikJabar, pemukiman warga berderet hanya sejauh kurang lebih 50 meter dari bibir pantai, belum lagi di RW 20 bangunan rumah warga sudah di ujung tebing pasir akibat abrasi. Ada ribuan kepala keluarga yang kini terancam kampungnya hilang dihantam abrasi.

"Kami berharap pihak pusat memperhatikan keinginan warga masyarakat Cipatuguran yang sekian banyaknya, dari 3 ke-RW-an ada 1.500 KK, dari Desa Jayanti RW 6, kemudian RW 21 dan RW 20. Kami berharap perhatian supaya masyarakat tenang nyaman dan tentram," ucap Ujang.

Ia memastikan kondisi kapal tongkang yang kini kandas di sekitar perkampungan warga hanya menambah abrasi semakin parah. "Jadi, persoalannya bukan sekadar kapal tongkang, tapi juga kondisi abrasi yang terus terjadi setiap tahunnya," kata Ujang.

Tanggapan PLTU

Dikonfirmasi terpisah, pihak PLTU Jabar 2 Palabuhanratu selaku Supervisor K3 dan Lingkungan Asep Tresna Lukman Hakim mengatakan persoalan abrasi sudah terdeteksi sebelumnya dalam kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dikeluarkan pihak LIPI.

"Pada dasarnya, ini terkait fenomena abrasi dan akresi, sudah terdeteksi dalam kajian lingkungan berupa amdal yang dikeluarkan LIPI. Kami tentu dibantu di situ, ada statement bahwa area pantai selatan ini cukup tinggi potensi abrasi dan akresinya. Kemudian juga dengan adanya breakwater, itu memang ada perubahan pola arus laut yang mengakibatkan juga peningkatan intensitas," tuturnya.

"Jadi dalam artian bukan domain utama karena breakwater, tapi memang intensitas abrasi yang sebelumnya. Fenomena itu sudah ada di pantai selatan ini, dari situ muncul kewajiban rencana kelola dan pantau lingkungan dari adanya pendirian PLTU Palabuhanratu," ucap Asep menambahkan.

Terkait abrasi dan akresi, pihak PLTU memantau selama periode enam bulan berkaitan dampaknya. Pemantauan itu juga rutin dilaporkan secara resmi kepada unit PLTU hingga ke tingkat Kementerian Lingkungan Hidup.

"Semenjak berdirinya PLTU dan mulai operasi 2012 itu pemantauan abrasi dan akresi ada di situ. Termasuk juga, selain kewajiban pemantauan, muncul kewajiban pengelolaan dari pihak PLTU. Kami harus melaksanakan untuk dampak abrasi dan akresi berupa penanaman pohon-pohon yang memang notabene untuk mencegah dan mengurangi abrasi," ujar Asep.

Di wilayah Patuguran, menurut Asep, potensi abrasi dan akresi cukup tinggi. Sebab itu, pihak PLTU pada 2013-2014 melakukan penanaman pohon kelapa dengan masyarakat.

"Kemudian kami juga mencoba menanam pohon mangrove, juga di antaranya penanganan dengan pembuatan tanggul pasir. Itu pernah dicoba untuk mencegah dan mengurangi dampak abrasi. Namun memang pada faktanya di lapangan, proses tersebut belum efektif dan di tahun 2019 kami mencoba membangun bronjong, kemudian dilanjutkan dengan pembangunan geobag," ucap Asep.

Bronjong tidak dilanjutkan karena efektivitasnya tidak maksimal. "Kami terus melakukan apa yang menjadi kewajiban kami. Namun memang, sifatnya itu sementara. Karena untuk solusi permanen itu perlu melibatkan stakeholder yang lebih luas," tutur Asep.




(sya/bbn)


Hide Ads