Sa'id bin Amir bin Hidzyam al-Jumahi al-Qurasyi al-Kinani merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang senior, paling menonjol, dan terhormat di kalangan umat Islam awal. Kisah Sa'id bin Amir menginspirasi banyak orang karena dedikasinya yang luar biasa dalam memperjuangkan agama.
Ia masuk Islam sebelum Pertempuran Khaibar, menunjukkan keberaniannya dalam memeluk kebenaran di tengah tekanan masyarakat Quraisy. Setelah itu, Sa'id bin Amir ikut serta dalam Pertempuran Khaibar bersama Nabi Muhammad dan terus berpartisipasi dalam berbagai pertempuran sesudahnya, membuktikan loyalitasnya yang tak tergoyahkan.
Khalifah Umar bin Khattab mengangkatnya sebagai gubernur Aleppo serta daerah-daerah sekitarnya di Syam, posisi yang ia jabat hingga akhir hayatnya pada tahun 20 H. Kisah Sa'id bin Amir ini tidak hanya mencerminkan kepemimpinan yang adil, tetapi juga menjadi teladan bagi generasi Muslim selanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah Sa'id bin Amir Gubernur yang Miskin
Terdapat kisah menarik tentang Sa'id bin Amir yang meskipun menjabat sebagai gubernur dengan kekuasaan besar di wilayah Syam, ia tetap hidup dalam kesederhanaan yang luar biasa. Ia lebih memilih untuk menolak segala kemewahan duniawi.
Dikutip dari buku 101 Sahabat Nabi yang disusun Hepi Andi Bustoni, Beberapa lama setelah Sa'id bin Amir memerintah di Homs, sebuah delegasi dari penduduk kota itu datang menghadap Khalifah Umar bin Khattab di Madinah. Delegasi ini ditugaskan oleh Umar sendiri untuk mengamati jalannya pemerintahan di provinsi tersebut.
Dalam pertemuan itu, Khalifah Umar meminta daftar nama fakir miskin di Homs agar dapat diberikan santunan dari baitul mal. Delegasi pun segera mengajukan daftar yang diminta, dan di dalamnya tercantum nama-nama orang-orang miskin, termasuk Sa'id bin Amir al-Jumahi.
Khalifah Umar meneliti daftar tersebut dengan seksama. Ia lalu bertanya, "Siapa Sa'id bin Amir yang kalian cantumkan?" Delegasi menjawab, "Gubernur kami!"
Umar terheran-heran dan bertanya lagi, "Betulkah gubernur kalian miskin?" Mereka menjawab meyakinkan, "Sungguh ya Amirul Mukminin! Demi Allah, seringkali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak)."
Mendengar penjelasan itu, air mata Umar pun mengalir membasahi jenggotnya. Ia segera mengambil pundi-pundi berisi seribu dinar dan berkata lirih, "Kembalilah ke Homs. Sampaikan salamku kepada Gubernur Sa'id bin Amir. Uang ini saya kirimkan untuk dia guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya."
Setibanya di Homs, delegasi langsung menghadap Sa'id dan menyampaikan salam serta uang kiriman dari Khalifah Umar. Namun, setelah melihat pundi-pundi itu, Sa'id segera menjauhkannya sambil mengucapkan, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."
Mendengar ucapan itu, istri Sa'id keluar karena mengira ada marabahaya besar. Ia bertanya khawatir, "Apa yang terjadi hai Sa'id? Meninggalkah Amirul Mukminin?" Sa'id menjawab sedih, "Bukan. Lebih besar dari itu."
Istri Sa'id kembali bertanya, "Apakah tentara Muslimin kalah perang?" Sa'id menjawab, "Jauh lebih besar dari itu." Lalu ia melanjutkan, "Dunia telah datang merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita."
Dengan tegas, istri Sa'id berkata, "Bebaskan dirimu daripadanya." Sa'id bertanya, "Maukah engkau menolongku berbuat demikian?" Istrinya menjawab semangat, "Tentu!" Sa'id pun segera membagikan seluruh uang itu kepada kaum fakir miskin melalui istrinya.
Perdagangan Akhirat yang Menguntungkan
Dikisahkan dalam buku Biografi 60 Sahabat Nabi oleh Muhammad Khalid, Sa'id bin Amir dikenal memiliki kedermawanan yang luar biasa, bahkan ketika ia hendak berangkat ke Homs, Suriah untuk menjabat sebagai wali kota. Ia dan istrinya menerima bekal yang cukup banyak dari Khalifah Umar bin Khattab untuk kehidupan mereka di sana.
Sesampainya di Homs, istrinya berniat menggunakan bekal tersebut untuk membeli pakaian layak dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, Sa'id mengusulkan ide yang lebih baik dengan mengatakan bahwa negeri itu sangat pesat perdagangannya, sehingga lebih menguntungkan jika harta tersebut dijadikan modal usaha.
Istrinya setuju setelah Sa'id menjamin bahwa jika perdagangan rugi, ia akan bertanggung jawab. Sa'id kemudian hanya menggunakan sebagian kecil bekal untuk membeli kebutuhan dasar dan pakaian sederhana bagi dirinya dan istrinya.
Sisanya yang masih sangat banyak, Sa'id serahkan sepenuhnya kepada fakir miskin hingga habis tak tersisa. Perdagangan yang dimaksudkannya ternyata adalah perdagangan akhirat yang pasti menguntungkan, bukan usaha duniawi.
Beberapa waktu kemudian, istrinya menyadari bahwa seluruh harta bekal telah disedekahkan kepada orang-orang miskin. Ia pun menangis sedih karena merasa kehilangan kesempatan untuk hidup lebih nyaman di negeri baru.
Sa'id kemudian menenangkannya dengan berkata bahwa ia memiliki rekan-rekan sahabat yang telah lebih dulu menghadap Allah dan ia tidak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan seluruh dunia beserta isinya. Akhirnya, istrinya pun ikut meniti jalan kezuhudan seperti suaminya, meninggalkan keterikatan pada harta duniawi.
(hnh/inf)












































Komentar Terbanyak
Innalillahi, Ketua Takmir Masjid Jogokariyan Meninggal Dunia
Innalillahi, Muazin Masjid Nabawi Wafat Setelah 25 Tahun Kumandangkan Azan
Hati-hati, Muslim yang Pelihara Anjing Pahalanya Akan Berkurang Tiap Hari