Dalam sejarah Islam, banyak kisah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi pelajaran. Salah satu kisah yang menggambarkan betapa luasnya rahmat Allah SWT adalah kisah Abu Lubabah bin Abdul Mundzir, seorang pengkhianat yang kemudian bertaubat.
Abu Lubabah adalah seorang sahabat Anshar dari kabilah Aus yang sempat melakukan kesalahan besar, namun kemudian bertobat dengan sungguh-sungguh hingga mendapatkan ampunan langsung dari Allah SWT.
Kisah Abu Lubabah bahkan menjadi sebab turunnya surat Al-Anfal ayat 27,
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ lā takhụnullāha war-rasụla wa takhụnū amānātikum wa antum ta'lamụn
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Dikutip dari buku Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu karya Syaikh Muhammad, kisah Abu Lubabah bin Abdul Mundzir Al-Anshari menjadi salah satu kisah yang menggambarkan makna taubat sejati.
Abu Lubabah adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang sempat melakukan kekhilafan, namun kemudian bertobat dengan tulus hingga diampuni langsung oleh Allah SWT.
Kisah ini bermula pada saat Rasulullah SAW mengepung Bani Quraizhah, salah satu suku Yahudi yang berkhianat kepada kaum Muslimin dalam Perang Khandaq. Pengepungan ini berlangsung selama 21 hari.
Ketika kondisi mereka semakin terdesak, Bani Quraizhah meminta kepada Rasulullah agar diberi perjanjian damai seperti yang pernah diberikan kepada Bani Nadhir, yakni diizinkan pergi ke Syam.
Namun, Rasulullah SAW menolak tawaran tersebut dan menyatakan bahwa hukum akan ditentukan oleh Sa'ad bin Muadz, seorang sahabat yang adil dari kalangan Anshar.
Bani Quraizhah merasa gentar terhadap keputusan Sa'ad bin Muadz. Mereka lalu memohon agar Abu Lubabah diutus menemui mereka, karena ia dikenal sebagai penasihat mereka dan memiliki hubungan kekerabatan serta harta di kalangan mereka.
Rasulullah SAW pun menyetujui permintaan itu dan mengutus Abu Lubabah.
Sesampainya di benteng Bani Quraizhah, mereka bertanya kepadanya, "Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus menerima keputusan hukum dari Sa'ad bin Muadz?"
Abu Lubabah, karena merasa kasihan dan memiliki hubungan pribadi, mengisyaratkan dengan jarinya ke leher, seolah-olah mengatakan bahwa keputusan itu adalah eksekusi mati. Isyarat itu bukan perintah Rasulullah dan disampaikan tanpa izin.
Begitu sadar akan kekhilafannya, Abu Lubabah berkata, "Demi Allah, kakiku belum selesai melangkah keluar dari tempat itu, aku sudah sadar bahwa aku telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya."
Setelah kembali ke Madinah, Abu Lubabah tidak menemui Rasulullah SAW. Sebaliknya, ia langsung pergi ke Masjid Nabawi, lalu mengikat dirinya sendiri di tiang masjid sebagai bentuk penyesalan. Ia bersumpah:
"Demi Allah, aku tidak akan makan, minum, atau melepaskan diriku, hingga Allah menerima taubatku, atau aku mati di tempat ini."
Abu Lubabah tetap terikat di masjid selama tujuh hari, tanpa makan dan hanya diberi minum sesekali oleh keluarganya di waktu malam. Tubuhnya menjadi lemah dan kurus.
Akhirnya, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW bahwa taubat Abu Lubabah telah diterima. Ketika kabar itu disampaikan, para sahabat ingin melepaskannya, namun Abu Lubabah berkata:
"Aku tidak akan melepaskan diri sampai Rasulullah SAW sendiri yang melepaskannya."
Maka datanglah Rasulullah SAW ke masjid dan melepaskan ikatan tersebut dengan tangannya sendiri.
Setelah diampuni, Abu Lubabah ingin menyempurnakan taubatnya. Ia berkata:
"Sebagian dari sempurnanya taubatku adalah meninggalkan tempat terjadinya dosa dan meninggalkan hartaku."
Namun Rasulullah SAW bersabda, "Cukuplah engkau menyedekahkan sepertiga dari hartamu."
Hal ini menunjukkan bahwa dalam bertaubat, tidak hanya cukup dengan penyesalan, tetapi juga disertai tindakan nyata dan kesungguhan untuk tidak kembali pada kesalahan.
Peringatan Rasulullah tentang Bahaya Khianat
Kisah Abu Lubabah menjadi pengingat bahwa khianat adalah dosa besar. Rasulullah SAW memperingatkan dalam haditsnya,
"Tidak ada dosa yang disegerakan balasannya di dunia selain memutus silaturrahim, khianat, dan dusta. Dan pahala ketaatan yang paling cepat diberikan adalah silaturrahim." (HR. Abu Bakrah)
Rasulullah SAW juga menyebut khianat sebagai ciri kemunafikan, sebagaimana sabdanya,
"Tiga tanda orang munafik: jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika dipercaya, ia berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW juga menyebutkan bahwa menjamurnya pengkhianatan adalah salah satu tanda kiamat,
"Hari Kiamat tidak akan terjadi hingga amanat disia-siakan; orang yang dipercaya berkhianat dan orang yang khianat justru diberi kepercayaan..." (HR. Ahmad)
Wallahu a'lam.
(dvs/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Serukan Setop Penjarahan: Itu Bentuk Pelanggaran Hukum
Berangkat ke Mesir, Ivan Gunawan Kawal Langsung Bantuan untuk Gaza
BPJPH Dorong Kesiapan Industri Nonpangan Sambut Kewajiban Sertifikasi Halal