Asal-usul Anting, Berawal dari Kecemburuan Sarah Istri Nabi Ibrahim

Asal-usul Anting, Berawal dari Kecemburuan Sarah Istri Nabi Ibrahim

Hanif Hawari - detikHikmah
Kamis, 16 Jan 2025 11:45 WIB
Closeup of attractive mid 20s blond woman putting on some makeup in front of large bathroom mirror. Shot from behind, focus is on her reflection. Softly toned and desaturated.
Ilustrasi anting (Foto: iStock)
Jakarta -

Kisah kecemburuan istri Nabi Ibrahim, Sarah dan Hajar, menjadi salah satu cerita penuh hikmah dalam sejarah Islam. Cerita ini menggambarkan sisi manusiawi para nabi dan keluarganya, sekaligus mengajarkan kebijaksanaan dalam menghadapi konflik rumah tangga.

Dalam tradisi Islam, kecemburuan Sarah terhadap Hajar melahirkan sebuah peristiwa bersejarah yang berujung pada terciptanya simbol unik, yaitu anting. Kisah ini tidak hanya sarat dengan pelajaran, tetapi juga menjadi cermin bagi umat manusia dalam menyikapi emosi dan hubungan antar sesama.

Kecemburuan Sarah

Dikutip dari buku Orang yang Jatuh Cinta dan Rasa Cemburu karya Al-Imam Syamsyud Din, Al-Waqidi telah meriwayatkan dari Muhammad bin Shalih, dari Sa'd bin Ibrahim, dari 'Amir bin Sa'd, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa pada suatu masa, Sarah, istri Nabi Ibrahim AS, tinggal bersama suaminya selama bertahun-tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski mereka telah lama bersama, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Siti Sarah yang penuh kasih dan ingin suaminya bahagia, akhirnya memutuskan untuk menghibahkan budaknya, Hajar, kepada Nabi Ibrahim agar dinikahi.

Keputusan ini awalnya penuh niat baik, tetapi kemudian malah menimbulkan konflik dalam hati Sarah.

ADVERTISEMENT

Setelah beberapa waktu dalam pernikahannya, Hajar mengandung anak dari Nabi Ibrahim AS yang kemudian melahirkan Nabi Ismail AS.

Kabar ini awalnya membawa kebahagiaan, tetapi lambat laun, kecemburuan mulai menguasai hati Sarah. Hari demi hari, perasaan itu semakin membara hingga akhirnya Sarah meluapkan emosinya.

Dalam kemarahan, Sarah bersumpah dengan lantang, "Aku akan memotong tiga bagian tubuh Hajar!"

Ibrahim yang mendengar sumpah itu terkejut. Ia mendekati Sarah dengan bijak dan juga penuh ketenangan dan bertanya, "Tegakah engkau benar-benar melakukan itu, wahai Sarah?"

Sarah menundukkan pandangannya, tetapi emosinya masih saja meluap-luap. "Apa yang harus kulakukan? Lisanku telah terlanjur mengucapkan sumpah ini," jawabnya dengan nada bingung.

Nabi Ibrahim lantas berpikir sejenak, lalu berkata lembut, "Kalau begitu, ada cara agar sumpahmu tidak menjadi kehancuran. Lobangilah kedua daun telinga Hajar dan khitanilah dia."

Sarah yang masih dikuasai emosinya mengikuti saran tersebut untuk melubangi daun telinga istri kedua dari suaminya itu.

Hajar pun menjalani apa yang disarankan suaminya Nabi Ibrahim. Setelah kedua telinganya dilubangi, Hajar memutuskan untuk memasang anting-anting di sana. Tidak disangka, anting-anting itu malah semakin memancarkan kecantikan Hajar.

Ketika melihat Hajar dengan anting-anting yang indah itu, Sarah menghela napas panjang dan berkata dengan nada getir, "Sesungguhnya apa yang kulakukan hanya membuat dia semakin cantik saja."

Namun, setelah kejadian tersebut kecemburuan di hati Sarah tetap tidak surut. Setiap kali ia melihat kedekatan Ibrahim dengan Hajar, hatinya kembali bergolak.

Pada akhirnya, Sarah meminta agar Hajar tidak tinggal bersamanya lagi di rumah yang sama. Ibrahim yang bersikap baik memahami perasaan Sarah dan segera memutuskan untuk memindahkan Hajar ke Makkah.

Meski telah berpisah jarak, hati Ibrahim tetap penuh cinta kepada Hajar. Setiap hari, ia menempuh perjalanan dari Syam ke Makkah dengan mengendarai Buraq, semata-mata karena kerinduannya yang sangat mendalam.

Baginya, meski jarak memisahkan, ia tidak sanggup untuk tidak melihat Hajar, walau hanya untuk sehari.

Demikianlah kisah keluarga Nabi Ibrahim, yang meski dipenuhi cinta, juga diwarnai dengan emosi manusiawi seperti kecemburuan. Namun, dari cerita ini pula terdapat pelajaran berharga tentang cara menghadapi konflik dengan penuh kebijaksanaan.

Cemburu adalah emosi manusiawi yang wajar dirasakan oleh siapa pun. Namun, bagaimana seseorang mengelola dan menyikapi rasa cemburu itulah yang akan menentukan apakah masalah dapat terselesaikan dengan baik atau justru semakin membesar.

Wallahu a'lam.




(hnh/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads