×
Ad

Siapa yang Wajib Menafkahi Anak Setelah Bercerai?

Salsa Dila Fitria Oktavianti - detikHikmah
Minggu, 21 Des 2025 14:00 WIB
Ilustrasi perceraian. Foto: freepik/Freepik
Jakarta -

Nafkah anak setelah bercerai merupakan kewajiban yang tetap melekat meskipun ikatan pernikahan antara ayah dan ibu telah berakhir. Dalam Islam, kepentingan dan kesejahteraan anak menjadi prioritas utama yang tidak boleh diabaikan.

Nafkah anak setelah bercerai dibahas secara tegas dalam Al-Qur'an dan literatur fikih, yang menegaskan bahwa hak anak harus tetap terpenuhi tanpa dipengaruhi oleh konflik atau perpisahan orang tuanya.

Dalil Kewajiban Nafkah Anak dalam Islam

Kewajiban nafkah anak ditegaskan dalam Al-Qur'an, di antaranya dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 yang menyebutkan bahwa ayah berkewajiban memenuhi kebutuhan anak, termasuk dalam masa penyusuan.

Ketentuan ini menunjukkan bahwa tanggung jawab nafkah anak tetap melekat pada ayah meskipun terjadi perceraian dengan ibu anak tersebut.

Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 233:

وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Latin: Wal-wālidātu yurḍi'na aulādahunna ḥaulaini kāmilaini liman arāda ay yutimmar-raḍā'ah(ta), wa 'alal-maulūdi lahū rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma'rūf(i), lā tukallafu nafsun illā wus'ahā, lā tuḍārra wālidatum biwaladihā wa lā maulūdul lahū biwaladihī wa 'alal-wāriṡi miṡlu żālik(a), fa'in arādā fiṣālan 'an tarāḍim minhumā wa tasyāwurin falā junāḥa 'alaihimā, wa in arattum an tastarḍi'ū aulādakum falā junāḥa 'alaikum iżā sallamtum mā ātaitum bil-ma'rūf(i), wattaqullāha wa'lamū annallāha bimā ta'malūna baṣīr(un).

Artinya: Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 233)

Adapun landasan wajibnya memberikan nafkah yang bersumber dari hadits Nabi, sebagaimana sabda beliau pada waktu haji wada' berikut:

اتقوا الله في النساء ، فإنكم أخذتموهن بكلمة الله ، واستحللتم فروجهن بكلمة الله ، ولكم عليهن ألا يُوطئن فرشكم أحدا تكرهونه ، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مُبَرَّح ، ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف

"Takutlah kepada Allah terkait perempuan. Sesungguhnya kalian. telah mengambil mereka dengan kalimat (ikatan perjanjian) Allah dan kemaluan mereka dihalalkan bagi kalian dengan kalimat Allah. Hak kalian yang harus mereka penuhi adalah mereka tidak boleh mempersilahkan seorang pun yang tidak kalian sukai berada di ranjang kalian. Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras (sebagai pelajaran). Dan hak mereka yang harus kalian penuhi adalah member mereka makan dan pakaian dengan selayaknya." (HR. Muslim)


Kedudukan Nafkah Anak dalam Islam Setelah Perceraian

Dikutip dari buku Ketahanan Keluarga dalam Perspektif Islam: Pandangan Komisi Pemberdayaan Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia karya Majelis Ulama Indonesia dkk., putusnya perkawinan tidak menghapus kewajiban orang tua terhadap pemenuhan hak nafkah anak. Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak-anaknya meskipun telah terjadi perceraian. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 105 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam yang menempatkan tanggung jawab nafkah anak pada ayah.

Namun demikian, apabila dalam praktiknya ayah tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetapkan agar ibu turut memikul biaya nafkah anak. Prinsip ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak anak merupakan tanggung jawab bersama kedua orang tua.

Ketentuan tersebut juga selaras dengan berbagai instrumen hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi di Indonesia, yaitu Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak Pasal 18 ayat (1) serta UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi, yang pada pokoknya menegaskan bahwa pengasuhan dan kesejahteraan anak tetap menjadi tanggung jawab kedua orang tua tanpa memandang status perkawinan mereka.

Prinsip tersebut juga diperkuat sebagaimana dikemukakan dalam buku Urgensi Pemberian Mut'ah Pasca Perceraian dalam Perspektif Hukum Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia karya Titin Triana dkk., yang menjelaskan bahwa kewajiban nafkah anak timbul setelah terjadinya perceraian.

Dalam praktiknya, kewajiban ini tetap dapat dituntut melalui mekanisme hukum, termasuk dalam perkara cerai gugat, sehingga orang tua yang mengasuh anak berhak mengajukan tuntutan pemenuhan nafkah anak demi menjamin keberlangsungan hak dan kesejahteraan anak pasca perceraian.

Batasan Kewajiban Nafkah Anak Menurut Mazhab Fikih

Berdasarkan pembahasan dalam kitab Fiqh 'alā al-Madzāhib al-Arba'ah yang dikutip melalui buku Fikih Munakahat dalam Perspektif Perbandingan Mazhab karya Muhammad Syarif Hidayatulloh dan Muhammad Taufiq, para ulama fikih memiliki perbedaan pendapat mengenai ruang lingkup kewajiban nafkah anak di luar aspek pendidikan.

Perbedaan tersebut tidak hanya berkaitan terhadap prinsip umum, tetapi juga mempertimbangkan kondisi dan keadaan anak secara spesifik.

Perbedaan pandangan para ulama tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor, misal usia anak (belum baligh atau sudah baligh), kemampuan ekonomi anak, jenis kelamin, kapasitas finansial ayah, status kemerdekaan anak, serta kondisi khusus tertentu, misalnya sakit, cacat, atau sedang menempuh pendidikan dan menuntut ilmu.

Menurut mazhab Hanafiyah, kewajiban nafkah terhadap anak laki-laki berlaku selama ia belum mencapai usia baligh dan berada dalam keadaan tidak mampu secara ekonomi.

Apabila anak laki-laki telah baligh dan dalam kondisi sehat, kewajiban nafkah dari ayah pada dasarnya gugur. Namun demikian, kewajiban tersebut tetap ada apabila anak mengalami sakit, memiliki keterbatasan fisik, atau sedang menuntut ilmu syar'i.

Sementara itu, nafkah anak perempuan menurut mazhab Hanafiyah tetap menjadi tanggung jawab ayah selama anak tersebut belum menikah dan berada dalam kondisi fakir, baik ia masih kecil maupun telah dewasa.

Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa nafkah anak laki-laki wajib diberikan selama ia masih kecil atau telah baligh tetapi memiliki cacat fisik atau gangguan akal.

Apabila anak laki-laki telah baligh, sehat, dan mampu bekerja, maka kewajiban nafkah ayah dianggap gugur dan tidak kembali, sekalipun di kemudian hari anak tersebut jatuh sakit.

Adapun nafkah anak perempuan tetap menjadi kewajiban ayah hingga ia menikah. Jika setelah menikah anak perempuan tersebut bercerai atau suaminya meninggal dunia dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka kewajiban nafkah dapat kembali dibebankan kepada ayahnya.

Dalam pandangan mazhab Syafi'iyah, nafkah anak laki-laki menjadi kewajiban ayah apabila anak tersebut masih kecil atau telah baligh tetapi tidak mampu bekerja karena gangguan jiwa atau cacat.

Sebaliknya, jika anak laki-laki telah baligh, sehat, dan mampu bekerja, maka kewajiban nafkah dari ayah tidak lagi berlaku. Untuk anak perempuan, nafkah tetap menjadi tanggungan ayah sampai ia menikah.

Dalam kasus anak perempuan yang menunda pernikahan padahal memiliki kemampuan untuk menikah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi'iyah, meskipun pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa kewajiban nafkah ayah tetap berlaku.

Mazhab Hanabilah menyatakan bahwa kewajiban nafkah terhadap anak, baik laki-laki maupun perempuan, ditanggung oleh ayah apabila anak berada dalam kondisi fakir dan tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, serta ayah memiliki kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.

Apabila keadaannya berbalik, yakni anak memiliki kecukupan harta sementara ayah berada dalam kondisi fakir, maka anak dapat dibebani kewajiban untuk menafkahi ayah dan anggota keluarga lainnya.

Secara umum, para ulama sepakat bahwa kewajiban nafkah anak berada di pundak ayah, bukan ibu. Jika anak memiliki harta sendiri, maka pemenuhan kebutuhannya didahulukan dari harta tersebut. Selain itu, kewajiban nafkah tetap berlaku bagi anak yang mengalami cacat atau tidak mampu bekerja meskipun telah dewasa, serta bagi anak perempuan sampai ia menikah dan menjadi tanggungan suaminya.



Simak Video "Video: Calon Hakim Agung Lailatul Ungkap Solusi Turunkan Angka Perceraian"

(lus/lus)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork