- Peran Ayah dalam Islam Menurut Al Qur'an 1. Ayah sebagai Pendidik dan Mengajarkan Tauhid 2. Ayah sebagai Teladan Iman dan Ketaatan 3. Ayah sebagai Pemberi Nasihat Akhlak dan Ibadah 4. Ayah sebagai Penjaga Keselamatan Akhirat Keluarga 5. Ayah sebagai Pemimpin dan Penanggung Jawab Keluarga
- Kemuliaan Seorang Ayah dalam Islam
- Perintah Memuliakan Ayah Semasa Hidup dan Setelah Wafat
Ayah memiliki peran besar dalam keluarga. Dalam Islam, peran ayah tidak hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga menjalankan tanggung jawab besar lainnya.
Dikutip dari buku Piagam Jejak karya Ham Stroll, Islam menempatkan ayah bukan hanya sebagai penyedia nafkah, melainkan juga sebagai pendidik, pelindung, dan teladan yang mengajarkan nilai-nilai keimanan dan akhlak mulia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peran Ayah dalam Islam Menurut Al Qur'an
Peran ayah dalam Islam ditegaskan dalam berbagai ajaran Al-Qur'an dan hadits, yang menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan keluarga sangat dipengaruhi oleh keteladanan seorang ayah.
1. Ayah sebagai Pendidik dan Mengajarkan Tauhid
Allah SWT berfirman dalam surah Luqman ayat 13:
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Artinya: (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, "Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar."
Menurut Tafsir Kemenag, ayat ini menggambarkan nasihat Luqman kepada anaknya yang disampaikan secara bertahap dan penuh kesungguhan. Larangan mempersekutukan Allah SWT menjadi inti pendidikan yang pertama, karena syirik merupakan bentuk kezaliman terbesar, yaitu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya dengan menyamakan makhluk yang lemah dengan Allah SWT sebagai Pencipta dan Pemberi seluruh nikmat.
Tafsir ini menegaskan bahwa memberi nasihat dan pelajaran tentang tauhid merupakan kewajiban orang tua, khususnya ayah, agar anak-anaknya berada di jalan yang benar dan terhindar dari kesesatan. Cara Luqman dalam mendidik anaknya yaitu dengan nasihat yang lembut dan berulang, menjadi teladan bagi setiap ayah muslim dalam menanamkan akidah yang lurus serta mewariskan nilai keimanan dan akhlak mulia kepada generasi penerusnya.
2. Ayah sebagai Teladan Iman dan Ketaatan
Allah SWT berfirman dalam surah As-Saffat ayat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar."
Menurut Tafsir Kemenag, ayat ini menggambarkan ujian keimanan yang sangat berat yang Allah SWT berikan kepada Nabi Ibrahim AS, yaitu perintah untuk menyembelih putranya sendiri melalui mimpi. Ketika Ismail AS telah mencapai usia remaja dan mampu membantu ayahnya, Nabi Ibrahim AS menyampaikan perintah tersebut dengan penuh kesedihan, kelembutan, dan keterbukaan, serta meminta pendapat anaknya.
Sikap Nabi Ibrahim AS menunjukkan keteladanan seorang ayah dalam ketaatan kepada Allah SWT sekaligus kebijaksanaan dalam mendidik anak. Ia tidak memaksakan kehendak, tetapi mengajak anaknya berdialog dalam menghadapi perintah Allah SWT.
Sementara itu, jawaban Ismail AS mencerminkan hasil pendidikan iman yang kuat, yaitu kepasrahan, ketaatan, dan kesabaran dalam menerima ketetapan Allah SWT. Dari ayat ini dipahami bahwa ayah berperan sebagai teladan iman dan ketaatan, yang pengaruhnya akan membentuk sikap taat dan sabar dalam diri anak.
3. Ayah sebagai Pemberi Nasihat Akhlak dan Ibadah
Allah SWT berfirman dalam surah Luqman ayat 17:
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
Artinya: "Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan."
Menurut Tafsir Kemenag, ayat ini memuat wasiat Luqman kepada anaknya tentang tiga hal pokok, yaitu mendirikan salat secara sempurna dan konsisten, mengajak kepada perbuatan yang makruf serta mencegah kemungkaran, dan bersabar atas segala cobaan yang dihadapi. Salat ditekankan sebagai ibadah utama yang menjaga kebersihan jiwa dan mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Tafsir ini menegaskan bahwa mengajarkan amar makruf nahi mungkar merupakan bagian dari pendidikan akhlak, meskipun dalam pelaksanaannya akan menghadirkan berbagai ujian. Karena itu, kesabaran menjadi sikap yang harus ditanamkan sejak dini.
Ketiga nasihat itu disebut sebagai perkara penting dan tidak boleh diabaikan karena membawa manfaat besar bagi kehidupan dunia dan akhirat. Dari ayat ini dipahami ayah bertanggung jawab membimbing anak dalam ibadah serta membentuk akhlak dan keteguhan jiwa melalui nasihat yang berlandaskan keimanan.
4. Ayah sebagai Penjaga Keselamatan Akhirat Keluarga
Allah SWT berfirman dalam surah At-Tahrim ayat 6:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Menurut Tafsir Kemenag, ayat ini merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka dengan cara menaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Menjaga keluarga tidak cukup hanya dengan keselamatan lahiriah, tetapi juga mencakup pembinaan rohani agar mereka tidak terjerumus ke dalam murka Allah SWT.
Tafsir ini menegaskan bahwa keluarga adalah amanah yang harus dipelihara kesejahteraannya, baik jasmani maupun rohani. Cara menjaga keluarga dari api neraka dilakukan dengan mengajarkan ketaatan kepada Allah SWT, memerintahkan salat, menanamkan kesabaran, serta melarang perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Perintah ini menuntut peran aktif kepala keluarga, khususnya ayah, dalam membimbing, menasihati, dan mengarahkan anggota keluarganya agar tetap berada di jalan yang benar.
Dengan demikian, ayah memikul tanggung jawab besar sebagai penjaga keselamatan akhirat keluarga, yaitu memastikan bahwa kehidupan rumah tangga berjalan dalam ketaatan kepada Allah SWT sebagai bekal keselamatan di dunia dan di akhirat.
5. Ayah sebagai Pemimpin dan Penanggung Jawab Keluarga
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 132:
وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ
Artinya: Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya'qub, "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim."
Menurut Tafsir Kemenag, salah satu sebab tingginya kedudukan Nabi Ibrahim AS adalah keteguhannya dalam Islam, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Keteguhan iman tersebut tidak hanya beliau amalkan secara pribadi, tetapi juga beliau wariskan melalui wasiat kepada anak-anaknya. Demikian pula Nabi Ya'qub yang mewasiatkan kepada putra-putranya agar tetap berpegang teguh pada agama yang telah Allah SWT pilih, yaitu Islam, dan tidak meninggal kecuali dalam keadaan berserah diri kepada-Nya.
Tafsir ini menegaskan bahwa wasiat tersebut menunjukkan betapa pentingnya pewarisan iman dalam keluarga. Penggunaan kata "wasiat" menandakan bahwa ajaran Islam merupakan perkara mendasar yang tidak boleh diabaikan, terutama dalam pendidikan keluarga.
Wasiat itu ditujukan langsung kepada anak-anak, karena keluarga merupakan lingkaran pertama dan utama dalam menjaga keberlangsungan agama dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian, ayah berperan sebagai pemimpin dan penanggung jawab keluarga yang bertugas mewariskan nilai iman dan Islam kepada anak-anaknya, memastikan mereka tetap berada dalam agama yang diridai Allah SWT hingga akhir hayat.
Kemuliaan Seorang Ayah dalam Islam
Ayah juga menjadi sosok yang mulia. Dalam buku Dekati Surga, Jauhi Neraka: Amal-Amal Calon Penghuni Surga karya Khalid Abu Syady terdapat hadits yang menjelaskan hal ini.
Rasulullah SAW bersabda, "Ayah adalah pintu surga yang paling tengah." (HR Ahmad, Al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Al-Hakim dari Abu Al-Darda' RA. Shahih Al-Jami')
Hadits ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan seorang ayah dalam Islam. Para ulama menjelaskan bahwa kiasan pintu surga yang paling tengah bermakna pintu yang paling utama, paling baik, dan paling tinggi derajatnya. Dengan kata lain, berbakti dan menaati ayah merupakan wasilah terbaik yang dapat mengantarkan seorang anak menuju surga.
Sebagian pensyarah hadits menerangkan hadits tersebut bisa bermakna jenis, sehingga mencakup ayah dan ibu sekaligus. Namun, jika hadits ini dipahami secara khusus tertuju kepada ayah, maka kemuliaan ibu tetap lebih kuat dan lebih utama, sebagaimana penjelasan dalam dalil-dalil lain tentang birrul walidain.
Kemustahilan seorang anak untuk membalas seluruh jasa ayahnya digambarkan Rasulullah SAW dengan sangat jelas dalam sabdanya, "Seorang anak belum dikatakan membalas (kebaikan) orang tuanya, kecuali jika ia mendapati ayahnya sebagai seorang budak, lalu ia membelinya dan memerdekakannya."
Makna hadits ini menegaskan seorang anak pada hakikatnya tidak akan pernah mampu membalas seluruh kebaikan ayahnya. Pembebasan dari perbudakan digambarkan sebagai pemberian kehidupan baru, sebab seorang budak tidak memiliki kuasa atas dirinya. Maka, jika seorang anak mampu memerdekakan ayahnya, hal itu seakan-akan ia menghidupkannya kembali.
Meski demikian, keadaan tersebut hampir mustahil terjadi, sehingga semakin menegaskan bahwa membalas jasa ayah secara sempurna adalah perkara yang tidak mungkin dicapai.
Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT, "Dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf: 40), yang menggambarkan sesuatu yang mustahil terjadi.
Karena begitu agungnya kedudukan ayah, para ulama salaf pun menaruh perhatian besar terhadap pemenuhan hak-haknya.
Diriwayatkan bahwa Mujahid pernah ditanya, "Jika azan telah dikumandangkan untuk salat, sementara ayah memanggilku, mana yang harus aku dahulukan?" Ia menjawab bahwa panggilan ayah harus dipenuhi. Ibn Munkadir bahkan menyatakan apabila seorang ayah memanggil anaknya saat ia sedang salat sunnah, maka hendaknya ia menjawab panggilan tersebut.
Adab terhadap ayah juga tampak dalam kisah yang diriwayatkan dari Abu Ghassan. Ia pernah berjalan di bawah terik matahari sementara ayahnya berada di belakangnya. Ketika Abu Hurairah RA melihat hal tersebut, ia menegurnya dan menjelaskan bahwa berjalan di depan ayah tidak sesuai dengan adab yang diajarkan Sunnah.
Seorang anak hendaknya berjalan di belakang ayahnya atau di sampingnya, tidak memisahkan diri darinya, serta menjaga sikap dalam duduk, tidur, memandang, dan mendahuluinya dalam berbagai keadaan.
Perintah Memuliakan Ayah Semasa Hidup dan Setelah Wafat
Dikutip dari buku Agama Membuat Kaya karya Miftahul Chair, dijelaskan bahwa Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukāsyafatul Qulūb Al-Muqarribu ilā Ḥaḍratil 'Ālamil Ghuyūb menegaskan pentingnya memuliakan ayah sebagai bagian dari amal utama seorang anak.
"Selalu ada timbal balik kebaikan ('iwadhul birri) jika seseorang berbuat yang terbaik untuk sang ayah. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, 'Berbuat baiklah kepada ayah kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbuat hal yang sama." (HR Al-Hakim 4/134 dan dishahihkannya)
Para ulama menegaskan kemuliaan ayah tidak berhenti pada pengakuan lisan, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan amal nyata.
Kedudukan ayah yang begitu agung menjadikannya sebagai pintu utama menuju surga. Seorang anak tidak akan sempurna amal-amalnya apabila ia mengabaikan ketaatan kepada ayahnya. Berbagai bentuk ibadah dan kebaikan akan kehilangan nilainya apabila tidak disertai dengan bakti dan penghormatan kepada ayah, karena ayah merupakan salah satu pintu surga yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh.
Hal ini kembali ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya ayah merupakan pintu yang paling tengah dari pintu-pintu surga. Maka jika engkau mau sia-siakanlah pintu tersebut atau engkau jaga pintu itu." Penegasan ini mengandung peringatan agar seorang anak tidak meremehkan hak ayah, sebab menyia-nyiakannya berarti menutup salah satu jalan menuju surga.
Oleh karena itu, memuliakan ayah wajib dilakukan sejak ia masih hidup, terlebih ketika ia berada dalam keadaan lemah atau sakit. Memberinya perhatian, pelayanan, dan kebahagiaan merupakan bentuk bakti yang sangat bernilai. Pepatah Arab menyebut segala sesuatu memiliki tanda-tandanya; maka ketika usia ayah semakin menua, itulah saat seorang anak meningkatkan pengabdian dan kasih sayangnya sebelum datang penyesalan.
Adapun setelah ayah wafat, kewajiban berbakti tidak terputus. Seorang anak dianjurkan untuk merawat jenazah ayahnya dengan penuh kelembutan, mengkafaninya dengan rasa hormat, menunaikan salat jenazah dengan khusyuk, menguburkannya dengan penuh pelajaran dan kesadaran, serta terus mengirimkan doa-doa kebaikan. Ziarah kubur, memohonkan ampunan, dan menghadiahkan amal saleh menjadi bentuk bakti yang mengalir meski ayah telah tiada.
(kri/kri)












































Komentar Terbanyak
Sosok Pria Muslim Hentikan Penembakan Massal Yahudi di Pantai Bondi
Doa Bulan Rajab Sesuai Sunnah Rasulullah SAW: Arab, Latin dan Artinya
Bolehkah Rujuk Tanpa Menikah Ulang Setelah Talak 1?