- Status Anak Hasil Zina Menurut Islam
- Hukum Anak Hasil Perzinaan menurut Islam 1. Tidak Memiliki Hubungan Nasab dengan Ayah Biologisnya 2. Tidak Ada Hak Waris antara Ayah dan Anak 3. Tidak Memiliki Wali dari Ayah Biologis
- Fatwa MUI tentang Anak Hasil Zina
- Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak Hasil Perzinaan
Dalam fikih Islam, masalah nasab anak hasil zina termasuk topik yang sensitif dan butuh penjelasan yang hati-hati. Para ulama telah membahas ketentuan ini secara rinci agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapannya.
Untuk memahami ketentuannya, perlu dilihat bagaimana hukum Islam memandang nasab, hubungan biologis, serta batas-batas yang ditetapkan syariat. Berikut uraian lengkap mengenai aturan penetapan nasab anak hasil zina menurut fikih.
Status Anak Hasil Zina Menurut Islam
Dikutip dari buku Hukum Islam Dalam Kehidupan Modern: Kajian Tentang Perkawinan, Kesehatan oleh Umi Khusnul Khotimah, dalam hukum Islam, nasab dipahami sebagai hubungan kekerabatan yang diakui antara seorang anak dengan ayah atau ibunya yang lahir melalui pernikahan yang sah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun anak yang terlahir dari perzinaan hanya disambungkan nasabnya kepada ibunya, karena tidak ada ikatan pernikahan yang sah yang menjadi dasar hubungan tersebut.
Dengan demikian, anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab syar'i dengan ayah biologisnya. Ketentuan ini bersandar pada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.
نَصُّهُ: الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ." رواه البخاري ومسلم
Artinya: "Anak itu milik (hasil) dari tempat tidur (suami istri), sedangkan bagi pezina adalah kerugian (keburukan)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut menegaskan bahwa anak yang lahir dari perbuatan zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, karena hubungan yang menjadi sebab kelahirannya tidak sah menurut ketentuan syariat.
Konsekuensinya, laki-laki yang menjadi ayah biologisnya tidak memikul tanggung jawab maupun memperoleh hak-hak yang biasanya melekat pada seorang ayah dalam Islam, seperti hak waris, hak asuh, maupun hak perwalian.
Islam sendiri secara tegas telah melarang perbuatan zina, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Isra' ayat 32.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Latin: Wa lā taqrabuz-zinā innahū kāna fāḥisyah(tan), wa sā'a sabīlā(n).
Artinya: Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk. Al-Isrā' [17]:32
Larangan ini menunjukkan betapa besarnya dampak negatif zina, tidak hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi status hukum anak yang lahir dari perbuatan tersebut.
Hukum Anak Hasil Perzinaan menurut Islam
Status nasab atau kedudukan anak yang lahir dari perzinaan dalam Islam memiliki sejumlah konsekuensi hukum yang berbeda dibandingkan dengan anak yang terlahir melalui pernikahan yang sah.
Adapun beberapa ketentuan penting mengenai hukum anak hasil zina dalam perspektif Islam dikutip dari buku Hukum Keperdataan Anak di Luar Kawin karya Karto Manalu adalah sebagai berikut:
1. Tidak Memiliki Hubungan Nasab dengan Ayah Biologisnya
Anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan sah tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tetapi hanya memiliki nasab dengan ibunya.
Hal ini berarti ayah biologis tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk memberikan nafkah kepada anak tersebut walau ayah tersebut adalah ayah kandungnya sendiri.
2. Tidak Ada Hak Waris antara Ayah dan Anak
Anak hasil zina tidak memiliki hak waris terhadap ayah biologisnya. Begitu pula sebaliknya, ayah biologis tidak dapat mewarisi dari anak tersebut. Hak waris hanya berlaku antara anak dan ibunya, serta dengan kerabat dari pihak ibu, seperti saudara perempuan dari ibu.
3. Tidak Memiliki Wali dari Ayah Biologis
Jika anak hasil zina adalah seorang perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan, ayah biologisnya tidak dapat bertindak sebagai wali dalam akad nikah. Dalam kasus ini, peran wali dapat digantikan oleh wali hakim.
Fatwa MUI tentang Anak Hasil Zina
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menetapkan fatwa berkaitan dengan status anak hasil zina menurut Islam yang diatur dalam fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Isi fatwanya sebagai berikut:
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman (ta'zir) kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
- Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut.
Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Anak Hasil Perzinaan
Dikutip dari buku Hukum Islam Dalam Kehidupan Modern: Kajian Tentang Perkawinan, Kesehatan karya Umi Khusnul Khotimah, dijelaskan bahwa meskipun anak yang lahir dari hubungan zina tidak memiliki nasab dengan ayah biologisnya, laki-laki tersebut tetap memiliki tanggung jawab moral untuk membantu merawat dan memenuhi kebutuhan anak, terutama dalam aspek nafkah.
Kewajiban ini merupakan bentuk kepedulian kemanusiaan yang tidak boleh diabaikan, meskipun secara hukum syar'i anak tersebut tidak memperoleh hak-hak seperti warisan dari ayahnya.
Sementara itu, ibu yang melahirkan anak hasil zina memikul tanggung jawab yang lebih besar dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Islam menetapkan bahwa ibu memiliki hubungan nasab yang sah dengan anaknya, sehingga hak dan kewajiban seorang ibu tetap berlaku sepenuhnya sebagaimana ibu kandung pada umumnya.
Dengan demikian, Islam tidak menggugurkan tanggung jawab orang tua hanya karena anak tersebut lahir dari perbuatan zina. Sebaliknya, kedua orang tua dituntut untuk lebih berhati-hati, bertanggung jawab, dan memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang baik serta memperoleh pendidikan yang layak.
Memahami aturan nasab ini penting agar tidak terjadi kekeliruan dalam menetapkan hak dan kewajiban. Dengan mengikuti panduan syariat, kita dapat menjaga keadilan sekaligus kehormatan setiap pihak.
(inf/inf)












































Komentar Terbanyak
MUI: Nikah Siri Sah tapi Haram
Daftar Besaran Biaya Haji Reguler 2026 Tiap Embarkasi Daerah
Menag: Orang Arab Harus Belajar Islam di Indonesia